Intan jaya merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Pania pada tahun dua ribu delapan lalu. pada saat itu Sugapa, Hitalipa dan beberapa daerah lainya di Intan Jaya masih di atur oleh pemerintah daerah Kabupaten Paniai. Pada awal tahun 1989-1990 datanglah beberapa orang barat yang menamakan diri Tim Survei. Tim survei ini diantar oleh anak pekabaran Injil di Distrik Hitalipa, yakni Jani mala, panggilan yang akrab dipakai oleh masyarakat setempat, nama sebenarnya adalah John Cutts.
Mereka datang dari Timika menggunakan Helikopter milik Airfast, setelah tibah di pos misionaris Kingmi Distrik Hitalipa mereka melanjutkan perjalanan ke Sungai Hiyabu yang letaknya tidak jau dari Pos misionaris tersebut. Setelah tibah di sungai tersebut mereka mengambil sampel berupa pasir, air dan batu-batuan dari sungai tersebut. setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ke muarah sungai Hiyabu dan Dogabu lalu melanjutkan perjalanan ke muara sungai Wayabu dan Wabu dan melanjutkan perjalanan ke beberapa anak sungai dari kali Wabu. Mereka mengambil semua sampel dari sungai-sungai tersebut berupa pasir, air dan batu- batuan.
Di sungai wabu John Cutts sempat bertemu dengan sala satu warga setempat, yakni Stevanus Sondegau di Wandoga, yaitu di Wonemiggi talipa atau kali wonemiggi. John dan teman-temanyan terus melanjutkan perjalanannya ke muara sungai Tigabu dan mengambil sampel pasir,air dan batu-batuan lalu mendulang pasir. Saat itu John sempat bertemu dengan sala satu warga setempat, yakni Ojegoa Tawa Mbole Belau, nama setempat atau Didimus Belau. Didimus Belau merupakan warga Desa Bilogae Distrik Sugapa yang hari-harinya berladang Ubi, Keladi dan tanaman lainnya disepanjang sunagai Tigitalipa. Seperti biasanya John Cutts menggunakan bahasa setempat, yakni bahasa Moni, ia memberikan Informasi kepada Didimus mengenai kegiatan yang di jalaninya saat itu.
Kata John Cutts kepada Didimus dalam bahasa Moni “ A me,..mepao,..mendaga kaneta taliago kaya, Hitalipagemaya tali ne,..du ne,..homa ne,.. inigiao dia digio,. usua naga ndogo- Timika ge inua noa nggaga inuapa dutima dia diggiyo,.data kapage go wabu ge dega-dega data homeyo pialiggiyo dipage go Timika puapaya tutur John” artinya: mepa saya ikut orang-orang ini jalan ambil air, batu dan pasir dari Hitalipa untuk dilihat dalam laboratoriumTimika, dari sini kami akan melanjutkan perjalanan mengikuti hulu sungai Wabu lalu ke Distrik Homeyo dan selanjutnya kami akan ke Timika. John Cutts yang selalu di sapa masyarakat setempat Jani Mala bersama rombongan Tim Survei menuju Distrik Homeyo.
Setelah beberapa bulan kemudian tepatnya tanggal 28 september 1991 John Cutts mewakili PT. Freeport berkunjung yang kedua kalinya ke Sugapa Intan Jaya. Tujuan John Cutts adalah untuk bertemu dengan kepala Distrik Sugapa dan Para kepala suku untuk menyampaikan kegiatan PT. Freeport yang akan beroperasi di Distrik Sugapa dan Beberapa Distrik lainya di Intan Jaya.
Di saat itu pertemuan diadakan di kantor Camat Sugapa dan dihadiri oleh Hombore B. A selaku kepala Camat Sugapa saat itu dan unsur Tripika Kecamatan serta beberapa tokoh masyarakat pemilik ulayat ikut hadir dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh John Cutts di kantor tersebut. tokoh- tokoh masyarakat Moni pemilik ulayat yang hadir dalam pertemuan itu antara lain: Paulus Japugau, Yuliu Sani, Adolof Belau, Oktopianus Sondegau, Samuel Japugau, Andreas Tipagau, dan Bony Sondegu dan beberapa tokoh lainya, setelah mereka mendengar penjelasan dari John Cutts tokoh-tokoh masyarakat malah bingung dan tidak mengerti tujuan John untuk melakukan Eksplorasi (Survei) di daerah mereka, sehingga masyarakat langsung pulang kerumah mereka “tanpa menyepakati atau menyetujui” keinginan John Cutts untuk melakukan eksplorasi di daerah mereka.
John Cutts memanfaatkan keterbatasan pengetahuan dan ketertinggalan masyarakat Intan Jaya dan memasukan PT. Freeport dengan inisiatif sendiri tanpa melakukan “Perjanjian Kerja Sama / MOU ” dengan masyarakat pemilik ulayat. Walaupun “Perjanjian Kerja Sama / MOU ” belum dibuat, namun John Cutts tetap memaksakan keinginananya dengan mendatangkan PT. Freeport beroperasi di Sugapa dan beberapa tempat lainya di Intan Jaya. Cara John Cutts Ibarat perampok dan Pencuri di Siang Hari.
Cara John Cutts ini menjadi kesempatan bagi PT. Freeport untuk melakukan Eksplorasi di Sugapa, Hitalipa dan beberapa Distrik lainya di Intan Jaya, sehingga masyarakat tinggal menerima apa adanya lalu masyarakat hanya “mengusulkan kepada PT. Freeport tanpa tertulis” memperbolehkan melakukan aktifitas Eksplorasi, tetapi sebagai ganti rugi pepohonan yang ditebang oleh PT. Freeport untuk helipad, drillpad, material pad dan lain- lain harus menerima masyarakat setempat sebagai karyawan di sugapa saat itu, tutur sala satu tokoh masyarakat pemilik ulayat yang dipercayai di kampung itu.
Begitu menerima beberapa pemuda dari kampung sebagai karyawan lokal untuk bekerja sebagai karyawan PT. Freeport di Sugapa, namun mereka mengalami banyak hambatan. Meraka tidak tau apa yang harus mereka buat. Setiap pagi pukul 04. 30 subuh mereka sudah harus menyiapkan bahan dan alat untuk membangun base camp, membongkar tanah dan karyawan lainya naik turun ke hutan tempat dimana akan dibangun Halipad, Drillpad, Materialpad dan Landing site. Hari berganti- hari minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan karyawan lokal menerima upah mereka dalam jumlah yang sangat kecil.
Helikopter yang di sewa untuk eksplorasipun pergi pulang Timika tanpa henti-hentinya untuk mengantar makanan para karyawan lokal di sugapa Intan Jaya. Begitu Eksplorasi di sugapa mulai Tumbuh . Camp Manager PT. Freeport menerima TNI/POLRI yang saat itu bertugas di kecamatan Sugapa untuk mengamankan situasi setempat. Untuk membangun camp tentu perusahaan membutukan bahan bangunan, sehingga perusahan meminta masyarakat setempat untuk menyiapkan papan dan kayu buah dengan perjanjian akan dibayar,yaitu papan runcing, dengan harga RP. 15.000;- perlembar, kayu buah yang besar RP. 10.000;- dan kayu Buah sedang sebesar RP. 5.000;- perbuah. Mendengar informasi itu masyarakat setempat menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan.
Namun sangat disedihkan, bagi masyarakat setempat karena dalam pembayaran bahan-bahan lokal yang disiapkan masyarakat dibayar tidak sesuai dengan perjanjian yang sudah ditetapkan oleh PT. Freeport, malah harus ditawar lagi menjadi harga yang paling rendah dan dibelinya. Dalam transaksi tersebut masyarakat ada yang protes, maka akan berhadapan dengan TNI/POLRI untuk mengamankan masyarakat.
Apabila ada masyarakat yang masih protes, maka persoalan tersebut akan diproses oleh TNI/POLRI yang bertugas disitu, apabila ada yang masih protes dengan harga yang sudah ditetapkan oleh perusahaan, maka TNI/POLRI akan memukul warga setempat tanpa segan-segan sampai muka masyarakat babak belur, seperti salah satu warga setempat yang protes, yakni Linus Sondegau, namun sayangnya dia dipukul sampai babak belur dan terjadilah perkelahian masal antara TNI/PORI dan karyawan lokal.
Melihat hal itu masyarakat setempat tak kuasa untuk melalkukan protes lagi terhadap penipuan yang dilakukan oleh PT. Freeport di Sugapa Intan Jaya. Sedangkan John Cutts entah kemana perginya, setelah dia mendatangkan orang-orang yang tidak tau kasih itu. Karyawan lokal hanya menerima semua itu dengan berkepala dingin, karena mereka belum siap menjadi karyawan. Masyarakat setempat yang diterima sebagai Tim Hoist banyak yang jatu dari hilikopter, karena belum dibekali pengetahuan tentang keselamatan kerja.
Beberapa karyawan lokal jatuh dari hilikopter saat terjun dari udara dengan tali pengikat, seperti sala satu karyawan yang tersangkut dipohon yang letaknya dipundak gunung Wabu-Sugapa. Karyawan itu tidak tertolong namun untungnya helikopter melepaskan tali pengikat, sehingga karyawan yang bernama Didimus Japugau tersangkut di atas dahan pohon.
Kebun-kebun masyarakat setempat rusak ulah dari angin hilikopter saat mendarat membawa alat-alat perusahaan ke lokasi kerja. Pemilik kebun menuntut agar membayar semua kebun yang dirusakan oleh helikopter milik PT. Freeport, namun apa boleh buat karena prosesnya diahlikan ke pihak TNI/POLRI di Kecamatan Sugapa saat itu. Sehingga masyarakat menerima semua ketidakadilan itu dengan lapang dada.
Kegiatan Eksplorasi dilakukan di tempat-tempat sasaran masyarakat, seperti tempat berburuh, tempat mencari rotan, tempat mencari kayu, maupun tempat berkebun. Base Camp Bilagae- Sugapa dijaga ketat oleh TNI/POLRI dan melarang masyarakat berkeliaran siang dan malam hari di base camp. Babi masyarakat desa Bilogae diburuh 2- 3 ekor oleh keamanan yang menjaga base camp tanpa memberitahu kepala desa bilogae terlebi dulu, separuh daging diminta begitu saja oleh anggota, kata mereka mengganti peluruh yang hilang, sehingga mau-tidak mau pemilik babi menerima semua itu dengan lapang dada, karena takut dipukul atau tembak oleh aparat.
Malam hari base camp bilogae (Wabu) memanfaatkan kesempatan untuk membawa gadis- gadis kampung yang masih dibawah umur lalu melakukan hubungan setubuh selayaknya suami istri, bahkan beberapa istri orang diperlakukan hal yang sama. Dilain kesempatan karyawan lokal diajar bermain judi dan hal-hal negatif lainya. Apabila karyawan lokal ingin mengunjungi kelurgannya yang sakit malah dibentuk, Ayo kerja atau mau kelur, inilah julukan untuk para karyawan lokal di Wabu Intan Jaya.
PT. Freeport masuk Eksplorasi dengan sebebas-bebasnya di atas Tanah, Hutan dan Sungai di Wabu Intan Jaya ibarat Tanah dan Hutan Tanpa Tuan atau dalam bahasa Engros Tobati mengatakan “ Land and Forest Without a Master”.
Ganti rugi Flora dan Fauna sampai detik ini belum dibayar kepada Masyarakat Pemilik Ulayat. Akibat PT, Freeport merusak Alam dimana tempat-tempat perlindungan bagi hewan, tumbuhan dan tanaman masyarakat setempat, maka semua makluk yang menghuni didalamnya mengungsi ketempat-tempat yang dapat hidup lebih baik dan aman. Begitulah kisah PT. Freeport yang masuk wilayah Kabupaten Intan Jaya dan meng-Anggap Alam intan Jaya tidak mempunyai “Tuan” sehingga PT. Freeport melakuan semua kegiatan Eksplorasi semua-nya dan seenak-nya.
Demikian Kisah Penipuan, Pembodohan, dan Pencurian Terhadap Alam dan Masyarakat Intan Jaya, ini kami dibuat dengan sesungguhnya untuk diperhatikan dan ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak terkait demi menyelamatkan tanah dan manusia setempat dari bahaya investasi yang akan mengancam kelangsungan hidup masyarakat setempat.
Jayapura, Selasa 17 Mei 2011
== ORA ET LABORA ==
SALAM PERUBAHAN,…!!!
“APA YANG ENKAU TABUR KINI, ENGKAU AKAN MENUAINYA”