MEKANISME PEMILIHAN BUPATI KABUPATEN INTAN JAYA

MEKANISME PEMILIHAN BUPATI KABUPATEN INTAN JAYA

POLITIK TANPA MANI POLITIK APAKAH BISA,.?
Salah satu keprihatinan publik yang sangat mendalam saat ini adalah merebaknya praktik politik uang (money politics) dalam kehidupan politik di Tanah Air. Politik uang ini benar-benar dikembangkan oleh para politisi dan parpol dalam setiap aksi politiknya,
 baik dalam hal membeli kekuasaan maupun dalam hal merebut suara rakyat dengan uang. Inilah yang membuat rakyat menjadi ketagihan sehingga sulit keluar dari perangkap yang disebut perangkap money politics tersebut. Politik uang ini memang, seperti yang dikatakan ahli politik Frederic Charles Chaffer (2007), terjadi di semua negara demokratis, termasuk Amerika Serikat, atau di semua negara yang mempraktikkan demokrasi dalam sistem politik dan pemerintahannya.
 Tetapi, bagi Indonesia, politik uang itu semakin kerap dilakukan secara terbuka, bahkan mulai diterima sebagai suatu kewajaran politik. Inilah yang membuat praktik politik uang di negeri ini semakin “ibarat virus ganas yang sulit dicegah dan dimatikan”. Mengapa? Karena uang yang dikeluarkan di jalan perebutan kekuasaan akan dikembalikan ketika berkuasa. Ada banyak indikasi betapa semaraknya money politics dalam demokrasi yang melahirkan pemerintahan korup. Banyak kepala daerah yang korup karena telah membayar mahal kursi kekuasaan ketika kampanye pemilihan.
Demokrasi Berbiaya Mahal
Karena begitu maraknya politik uang, diambah dengan pemilu atau pilkada yang berbiaya mahal, tercuatlah aneka kritik soal mahalnya biaya demokrasi di era reformasi. Demokrasi yang begitu mahal tidak sebanding dengan hasil kesejahteraan atau perbaikan nasib bangsa yang merupakan tujuan final demokrasi. Sistem demokrasi yang sudah disepakati untuk dijalankan di negeri ini memiliki tujuan, yakni menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kesepakatan publik politik di Tanah Air untuk menjalankan demokrasi dalam sistem politik dan pemerintahan ini disebabkan pada masa Orde Baru terlihat otoritarianisme gagal memajukan kesejahteraan rakyat seluruhnya. Di masa itu, hanya segelintir orang yang dapat menikmati “kue ekonomi” yang sangat besar, tetapi hanya bertumpuk di pusat kekuasaan, sedangkan rakyat kebanyakan yang berada jauh dari pusat kekuasaan tidak mendapat kebagian.
Keadilan dan kesejahteraan yang dicita-citakan tatkala dibangunnya kontrak politik di awal kemerdekaan pun hanyalah impian. Negara seolah-olah berjalan sendiri tanpa rakyat. Negara hadir, ibarat seorang politisi, setelah terpilih menjadi pemimpin, secara serta-merta meninggalkan rakyat dan melupakan seluruh janji politiknya. Di samping itu, dengan berdemokrasi, terlahir kebebasan pers yang bisa menjadi pengontrol jalannya roda pemerintahan. Segala kebobrokan pemerintahan dapat dibersihkan seminimal mungkin lewat kritik dan kontrol pers yang bebas.


“BERTOLAK DARI DIRI KEMBALILAH KE JATI DIRIMU”
Budaya merupakan kebiasaan yang selalu dilakukan ulang-ulang disuatu daerah atau wilayah.  Budaya itu sudah ada sejak nenek moyang suatu suku bangsa diciptakan dan ditempatkan oleh Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Kuasa. Budaya menujukan suatu suku Bangsa disuatu derah atau wilayah.  Demikian pula dengan budaya suku Moni yang menunjukan suku bangsa Moni di Intan Jaya.
Budaya Moni selalu mengutamakan dan mengajarkan nilai-nilai luhur harga diri seseorang sebagai manusia yang Utuh.  Hal ini dilihat dari “belas kasihan” seseorang kepada seorang yang lain, seperti dalam perang, seorang musuh akan menyerahkan  tali busur dan anak panah kepihak lawan ketika tali busurnya putus atau anak panahnya habis. Walaupun dalam keadaan yang sangat berbahaya di medan perang budaya Moni mengajarkan“ KASIH”.
             “Budaya ini terkikis habis-habisan dengan perkembangan jaman ini” yang mengutamakan korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya.  Korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya ini merupakan “budaya melayu indonesia”  yang sudah darah daging diberbagai kalangan.
Budaya Ini menujukan bahwa budaya suku bangsa orang lain yang “dipaksakan”   untuk menjadikan  budaya-nya, sehingga berbagai kalangan menjadi Gila, Binggung, Nafsu yang akhirnya membuat diri mereka tidak bisa tenang.  Sehingga mengantar mereka kejurang Kegelapan dan Hawa Nafsu.
Peran budaya membawa ajaran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam tata etika politik dan perubahan sosial disuatu derah atau wilayah, apabila itu dilihat, ditekuni, diterjemakan dan diterapkan  dengan “Hati dan Kasih sesuai dengan Jati Diri Suku Bangsa Itu”.
Kembalilah  kepada  Jati Dirimu, yakni  “MIGANI”  yang artinya “Mene Ngane Duwile” kasihanilah sesamamu, jadi apa adanya, artinya sudah cukup dengan apa yang ada pada kita.  Kita tidak boleh Mencuri bagian dari orang lain atau Merampas Hak orang lain.  “MIGANI” inilah sesunggunya “Jati Diri Suku Bangsa MONI”.
Kembali kepada Jati Diri, bukan ajakan untuk menarik diri dan bersembunyi.  Kembali kepada Jati Diri dilakukan dalam rangka untuk dapat keluar menampilkan diri lebih bijaksana dalam mengikuti jalan Tuhan. Kembali ke jati diri agar dapat melangka lebih baik;  mundur sesaat untuk dapat melangka maju lebih bijak.  Kembalilah kepada jati diri. Mengapa kita harus melarikan diri dari jati diri kita untuk mencari setumpuk kesenangan yang membawa kita kejurang kegelapan dan hawah nafsu.
Seseorang yang benar-benar dapat menyelami “Kasih dan kebenaran” akanmengenal jati dirinya. Orang yang mengenal jati dirinya akan mengenal YAHWEH ELOHIM (Tuhan Allah) Yang punya kuasa atas langit dan bumi secara baik dan tulus.
Kembali kepada jati diri bukan sekedar ingin melarikan diri dari kenyataan rumit hidup, melainkan untuk memiliki cakrawala yang lebih luas agar dapat mengarahkan diri dalam langka hidup yang lebih baik dan benar,yaitu semakin memahami, mengerti, menerima, memperhatikan serta menerapkan apa yang terkandung dalam nilai-nilai  “MIGANI”  itu sendiri.

 Semua Daerah telah terbukti bahwa melalui mekanisme Demokrasi telah menimbulkan Korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya, ini merupakan “budaya melayu indonesia”  yang sudah darah daging diberbagai kalangan yang akhirnya akar rumput yang menjadi korban politik dan korban pembangunan.
Elit – elit itu ibarat manusia serigala berbuluh domba yang menjadi pemangsa sesama manusia melalui cara dan gaya yang diberikan oleh negara sehingga mereka menjadi boneka yang harus mengikuti tuannya. elit – elit dipapua seperti televisi dan pemegang remotnya adalah tuan – tuan mereka dijakarta.
Hal ini menandakan bahwa orang papua bisa dibeli, bisa disogok, bisa dirayu dengan mudah.
Sekarang yang menjadi pertanyaan kami adalah apakah agama duluan atau budaya duluan,…? Kalau menurut saya budaya lebih dulu lalu agama dan kemudian pemerintah. Sehingga elit – elit yang membunuh sesamanaya dikatakan sudah melangar budaya dan agama, ibaratnya mereka Perkosa Mama mereka karena budaya adalah mama.
untuk pemilihan Bupati Kabuparen Intan Jaya yang akan dilakukan beberapa bulan kedepan harus dan harus memakai mekanisme budaya atau bakar batu (kenoga saiggiya), jadi masyarakat memasak daun dengan memberi tanda setip  calon- calon Bupati kabupaten Intan Jaya.
 Bakar batu mulai dari masing - masing kampung (Desa) dengan menyebutkan nama-nama calon Bupati Kabupaten Intan Jaya. Hasil dari tiap kampung itu akan dimasak  tiap- tiap Distrik dan hasil dari tiap-tiap Distrik dimasak di Kabupaten. Hal ini dilakukan  untuk megetahui calon Bupati siapa yang dinyatakan terpilih secara alamia ,orang yang terpilih secara alamia  itulah yang akan memimpin dikabupaten Intan Jaya.

 suarah akar rumput Intan Jaya harus menjadi mutlak untuk diberikan kepada orang yang dipilih secara alamia itu (kenoga sagiya) karena  demokrasi modern itu bisa saja terjadi hal-hal yang kita tidak inginkan bersama, yakni demokrasi itu dikibiri, bisa dibayar, bisa disetting demi kepentingan semata, bisa dimainkan sesuai kemauan manusia tertentu atau kelompok tertentu.

Apabila mekanisme “bakar batu atau kenoga sagiya” ini tidak dilaksanakan pada pemilihan Bupati kabupaten Intan Jaya, maka akan melahirkan dua persoalan besar, yaitu:
1.      Pemilihan Ulang Kepala Daerah
2.      Perang Marga atau Perang Suku yang dilahirkan dari para politikus kabupaten Intan Jaya.
Apabila kedua persoalan diatas muncul, maka siapa yang untung dan siapa yang rugi,…? Yah,..yang jelas yang diuntungkan tetap untung dan yang dirugikan tetap rugi dan konflik terus berkepanjangan.

Terbukti bahwa mekanisme demokrasi ala barat yang gunakan selama ini tidak memberikan manfaat bagi rakyat dibelahan dunia mana saja, karena pemimpin yang dilahirkan melalui mekanisme demokrasi modern itu kurang mampu melakukan terobasan karena pemimpin itu diangkat oleh kehendak manusia, dan belum tentu pemimpin yang diangkat melalui demokrasi modern ini dikehendaki oleh alam secara alamiah.

Mekanisme bakar batu (kenoga sagiya) ini memiliki keunikan tersendiri, yakni pemilihan pemimpin lahir secara alamiah (murni) tanpa adanya unsur kepentingan, tanpa adanya unsur politik uang, tanpa adanya usur pilih kasih.  Inilah yang dikatakan demokrasi alamiah  atau demokrasi sejati,..Semoga,..!!!

                                                      Maisini Sege – Ju, Holandia, Selasa 13 September 2011


“ ORA ET LABORA”
SALAM PERUBAHAN,…!!!
“APA YANG ENGKAU TABUR KINI, ENGKAU AKAN MENUAINYA”