Maknet Buatan Manusia Membunuh Unsur-Unsur Budaya Migani Di Intan Jaya

BUDAYA-MIGANI-Tuhan Allah yang dalam bahasa Migani menagatakan Emmoo menempatkan setiap suku bangsa di tiap-tiap dearah/wilayah dengan budaya mereka masing-masing demikian juga budaya suku migani di tanah Migani. 

Yakius Hagisimijau dan Daban Duwitau
Budaya Migani di berikan  cuma-cuma oleh Emmoo kepada moyang migani untuk di teruskan dari generasi ke generasi. Budaya migani tidak dibeli atau tidak belajar di sekolah- sekolah maupun di universitas, namun budaya itu pemberihan cuma-cuma oleh Emmoo kepada nenek moyang migani untuk diteruskan dari generasi ke generasi, tentang bagimana cara menyanyi, cara membuat rumah, cara membuat pagar, cara membuat koteka, cara membuat cawat dan cara lain-lainnya.

Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya (KOMISI) Berdasarkan pantauan KOMISI di Intan Jaya, Nabire, Timika maupun ditempat-tempat dimana orang migani berada ternyata Budaya-budaya migani terkikis habis-habisan, karena dipengaruhi oleh  budaya lokal dari luar intan jaya. Sehingga “moralitas dan mentalitas anak adat yang dilahirkan dan dibesarkan dalam budaya migani sudah kehilangan jati diri atau kehilangan budaya mereka” dan saat ini generasi migani “SUSAH” menerapkan budaya MIGANI, sehingga mereka selalu meniru dan menerapkan budaya suku  bangsa orang lain.

Generasi mudah migani yang tidak tahu budaya ini  ibaratnya pucuk pohon cemarah yang selalu ikut arah angin, sehingga generasi mudah migani tidak mampu membedakan mana yang harus di lakukan,.? Mana yang Tidak boleh di lakukan,.? Mana yang baik dan mana yang tidak baik,.? Karena gaya dan cara generasi mudah migani mengikuti pucuk pohon cemarah yang selalu ikut arah angin.
Hal  ini terutama dilihat dari mudah -mudi migani yang selalu dan selalu menerapkan budaya suku bangsa orang lain, bahkan saat ini orang -orang Tua Migani pun mengikuti budaya orang lain. Hal ini membuktikan bahwa manusia migani Mungkin sudah tidak mengenal “Jati Diri atau Budaya” migani. Sesuai pantauan Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya (KOMISI) telah melihat generasi migani maupun Orang Tua Migani saat ini tertarik dengan sebuah maknet buatan manusia atau lagu sapusa. 

Karel Sondegau
Maknet buatan manusia atau lagu sapusa begitu dinyanyikan oleh seseorang, maka semua orang yang mendengar lagu sapusa akan terjerumus, terbius dan akan dibius betul-betul oleh lagu sapusa, sehingga semua orang yang mendengarkan lagu sapusa tidak bisa menahan diri, karena irama lagu sapusa memang benar-benar ibarat sebuah MAKNET yang dapat menarik semua orang yang mendengarkan lagu sapusa untuk masuk TERPERANGKAP di dalam lagu yang dinyanyikan.

Irama lagu sapusa ibarat sebuah maknet yang dapat menarik sebuah benda yang sangat besar, sehingga semua orang yang mendengar akan terbius dan dibius betul-betul.

Begitu semua orang sudah tertarik, terperangkap, terbius dan dibius oleh irama lagu sapusa, maka semua orang yang menyanyi lagu sapusa akan menggerakan seluruh anggota tubuh sambil tangan mereka menunjuk-nunjuk apapun yang ada disekitar mereka. Nah disinilah para penyanyi lagu sapusa mempunyai kesempatan untuk main-main kode berupa Mata, Tangan dan Otak mereka untuk saling panas-memanaskan antara satu sama yang lain, sehingga seluruh anggota tubuh dari para penyanyi akan tergerak untuk merabah-rabah, menunjuk-nunjuk apapun yang ada disekitar mereka dan disaat itu otak dan mata mereka sudah melayang-layang, bagaikan layang-layang yang ikut arah agin, sehingga dengan mudah mereka meraba-raba apapun yang mereka inginkan untuk menimbulkan dan meningkatkan hawa nafsu mereka. Inilah yang dikatakan KOMISI maknet buatan manusia penghancur unsur-unsur budaya migani.


Generasi Migani harus sadar bahwa; Tuhan Allah atau Emmoo tidak berikan budaya Sapusa pada moyang migani, namun generasi migani bawa/dapat budaya sapusa dari mana? Dan apakah ada keuntungan dari lagu sapusa? Atau apakah tidak ada efek samping yang menghancurkan nilai-nilai budaya migani?


Pada jaman dahulu moyang migani biasa menyanyi “Miga  Jamo  atau nyanyian khas suku migani” saat ini sudah jarang dinyanyikan lagi dan pakaian berupa Gosaga atau koteka dengan menggunakan Sila Mbisi dan Koe Mbisi serta Walamu sudah tidak namapak lagi saat ini. Padahal orang tua migani biasanya menggunakan Kulit kayu khusus dari Toge Ala, Kuli Ala dan Dewa Ala, sedangkan orang tua wanita Migani biasanya memakai pakaian berupa Sabo atau cawat.  Sabo/cawat biasanya menggunakan kulit kayu khusus berupa Soabutu Sabo, Pugi Sabo, mbunegge Sabo, Dale Sabo, Butala Sabo dan Mani Sabo. Namun semua unsur-unsur budaya migani tidak nampak dalam segala aktivitas saat ini.

Generasi migani saat ini sudah tidak ada kesadaran dan mereka akan kehilangan kesadaran untuk meneruskan warisan budaya dari nenek moyang migani seperi  Miga  Jamo, miga I  ,  Sila Mbisi, Koe Mbisi, Toge Ala, Kuli Ala, Dewa Ala, Soabutu Sabo, Pugi Sabo, mbunegge Sabo, Dale Sabo, Butala Sabo dan Mani Sabo, maka semua ini akan di telan oleh bumi ini.

Saat ini generasi migani harus sadar dan kembali pada jati diri atau budaya migani yang telah diwariskan oleh moyang migani. Jika saat ini generasi migani tidak meneruskan dan tidak menerapkan unsur-unsur budaya migani, maka budaya migani akan di TELAN Oleh Bumi ini.

KOMISI melihat unsur-unsur budaya migani yang lain  sudah  mulai ditelan oleh bumi ini, jika generasi migani saat ini tidak punya kesadaran untuk menerapkan dan meneruskan  unsur-unsur budaya migani, maka budaya migani sedang menuju  pemusnahan dan jika generasi migani tidak melestarikan budaya migani, maka budaya migani akan di telan oleh bumi ini. Maka disinilah akan tercatat sebuah Sejarah bahawa nenek moyang migani pernah menggunakan/memakai nyanyian adat, pakaian adat dan rumah adat dan unsur-unsur budaya lainnya seperti ini, namun semuanya “TELAH DITELAN” oleh Bumi ini.

Salam Perubahan…!!!