Apa itu Kebenaran?


Hari ini kita akan membahas ajaran Yesus di Matius 4:17, "Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" Di Matius 3:15, ayat yang diuraikan di dalam khotbah tentang "Penundukan", Yesus berkata, "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah." Dan Yohanespun menuruti-Nya
Yesus berkata, "Biarlah hal itu terjadi". Ketika Yohanes mencoba untuk mencegah Yesus menerima baptisan, Yesus berkata, "Terimalah Aku untuk dibaptis." Yesus menundukkan diri-Nya pada baptisan Yohanes. Yang lebih tinggi menundukkan diri pada yang lebih rendah. Dengan demikian Yesus menunjukkan inti dari kebenaran, yaitu sikap penundukan demi Allah untuk menggenapkan seluruh kebenaran.
Di pesan yang membahas Matius 4.17, kita akan memusatkan perhatian pada kata 'righteousness (kebenaran)' ini. Yesus berkepentingan untuk menggenapkan seluruh kebenaran, bukan hanya sebagian atau sebagian besar kebenaran, tetapi seluruh kebenaran. Apa artinya? Apakah arti kebenaran di dalam Alkitab? Apa arti menggenapkan seluruh kebenaran? Pada dasarnya, kata itu berarti menggenapkan seluruh perintah atau kehendak Allah bagi kita. Namun kebenaran tidak boleh sekadar dipahami sebagai pelaksanaan perintah eksternal saja.

Kebenaran adalah kata yang sangat praktis di dalam Alkitab, bukan satu istilah teologis yang kabur. Kehidupan terdiri dari berbagai macam hubungan. Dan kebenaran berkaitan dengan kehidupan dan hubungan-hubungan kita. Kebenaran di dalam Alkitab berkaitan dengan hubungan yang benar dengan Allah dan sesama manusia. Ini adalah hal yang sangat penting untuk dipahami.

Yesus berkata bahwa segenap perintah Allah dapat dirangkum di dalam satu kalimat, yaitu "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kalimat itu merangkum segenap kebenaran. Dari sini kita melihat bahwa kebenaran itu adalah hubungan yang benar. Alkitab mendefinisikan hubungan yang benar itu sebagai ungkapan kasih - mengasihi Allah dengan segenap keberadaan, hati, jiwa dan kekuatan Anda, yang tidak dapat dipisahkan dari mengasihi atau memperlakukan sesama manusia seperti diri Anda sendiri.
Demikianlah, Yesus berkata kepada Yohanes Pembaptis, "Terimalah Aku untuk dibaptis, karena Aku menundukkan diri pada baptisanmu, demi menggenapkan seluruh kebenaran." Mengapa? Karena memang inilah perintah dan kehendak Allah.
Setiap perintah Allah dirancang untuk berdampak pada hubungan kita dengan-Nya dan dengan sesama manusia. Sebagai contoh 10 Perintah itu. Setiap dari 10 perintah itu berkaitan dengan hubungan kita, entah dengan Allah atau dengan sesama manusia. Setiap pengabaian pada perintah Firman Allah akan mempengaruhi hubungan kita dengan Allah dan dengan sesama manusia.

Kebenaran juga berada di jantung ajaran Yesus di Matius 4.17 ini. Yesus disebut sebagai pemberita kebenaran. Nuh digambarkan oleh Petrus di 2 Petrus 2:5 sebagai seorang pemberita kebenaran. Setiap pemberita di dalam Alkitab adalah pemberita kebenaran. Sayangnya, kebenaran tidak lagi merupakan tema di lingkungan gereja. Di zaman ini, keselamatan sudah dipisahkan dari kebenaran. Keselamatan tanpa kebenaran menjadi semacam dongeng resmi.

Sekarang ini kebenaran menjadi suatu hal yang diterima sebagai suatu fakta; Anda dinyatakan benar tanpa perlu adanya kebenaran nyata di dalam kehidupan Anda. Dengan kata lain, Anda dinyatakan benar sekalipun Anda tidak memiliki kebenaran dan Anda tidak menjadi benar. Sejujurnya, dongeng resmi semacam ini tidak ada isinya di dalam pengajaran yang alkitabiah. 
Apakah Keselamatan hanya sekadar pengampunan dosa?
Kita akan melihat Doktrin Keselamatan sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus. Hasrat dan niat saya adalah bahwa tak seorang pun yang mendengarkan pesan ini gagal memahami dengan jelas apa ajaran yang alkitabiah mengenai keselamatan.

Jika ditanya apakah keselamatan itu. Apa yang akan menjadi jawaban Anda? Jawaban yang umum diberikan adalah, "Keselamatan berkaitan dengan pertobatan. Allah mengampuni dosa Anda, dan karena dosa Anda telah diampuni, maka Anda selamat." Itulah kira-kiranya rangkuman dari isi keselamatan yang umumnya diuraikan. Di dalam Alkitab, makna keselamatan jauh lebih mendalam daripada sekadar pernyataan pengampunan. Pengampunan dosa hanya merupakan sebagian saja dari makna sesungguhnya.
Jika yang disampaikan hanya pengampunan dosa, maka ini berarti kita belum mengajarkan keseluruhan tentang keselamatan. Tak heran jika orang yang mendengar itu akan terus menerus melakukan dosa dan kembali lagi untuk meminta pengampunan lalu berbuat dosa lagi dan minta ampun lagi. Dan akhirnya di dalam keputus-asaannya, karena tak pernah memenangkan pertempuran melawan dosa, dia memutuskan untuk berhenti menjadi Kristen sama sekali. Sudah banyak sekali orang semacam ini, orang yang hidup dalam kekalahan mutlak, yang tidak dapat mengatasi dosa, yang selalu saja kembali untuk meminta pengampunan setiap minggu. Hidup di dalam lingkaran setan ini membuat mereka sangat frustrasi karena merasa bahwa peperangan demi kebenaran ini tak dapat dimenangkan. Itukah ajaran yang alkitabiah tentang keselamatan?
"Bertobatlah"

Setelah Yohanes Pembaptis ditangkap dan dibunuh oleh Herodes, Yesus memulai pelayanan-Nya, seolah-olah mengambil alih pemberitaan Yohanes. Yesus memberitakan hal yang tepat sama dengan Yohanes Pembaptis. Di Matius 3:2, Yohanes Pembaptis berkata: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" Dan Yesus di Matius 4:17 memberitakan, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" Pemberitaan yang persis sama dengan Yohanes Pembaptis! Bedanya adalah Yesus menyampaikan pesan yang lebih mendalam, dibandingkan dengan apa yang mampu dipahami oleh Yohanes Pembaptis saat itu.
Ucapan Yesus yang pertama adalah, "Bertobatlah." Pertobatan hanya bermakna bagi orang yang mengutamakan kebenaran. Karena pertobatan adalah hal berpaling dari dosa dan merangkul kebenaran. Pertobatan berkaitan dengan pembalikan dari hidup lama dalam dosa menuju hidup baru dalam kebenaran. Buat apa orang bertobat jika dia tak peduli pada kebenaran? Dia puas dengan hidupnya dalam dosa. Jika Anda berkata pada orang di jalan, "Bertobatlah." Dia akan menjawab, "Buat apa? Aku tidak keberatan hidupku dikuasai dosa. Hidupku cukup memuaskan." Karena dia tidak peduli dengan kebenaran, maka kata 'bertobat' tidak memiliki makna baginya. Dengan kata lain, pertobatan bukanlah bahasa bagi setiap orang yang tidak tertarik dengan kebenaran. Anda menyia-yiakan waktu meminta orang yang tidak peduli pada kebenaran untuk bertobat.

Nah, mengapa kita harus bertobat? Baik Yohanes Pembaptis maupun Yesus melanjutkan dengan berkata bahwa karena Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga sudah dekat. Keduanya merupakan hal yang sama di dalam Perjanjian Baru. (Orang-orang Yahudi menggunakan kata 'Surga' (Heaven) karena mereka tidak mau menyebut nama 'Allah' secara sembarangan. Mereka tidak berani secara langsung menyebutkan nama yang ilahi itu, jadi mereka memakai cara circumlocution, yaitu memakai istilah yang mendekati maknanya dengan menggunakan kata 'Heaven'). Jadi kita menyadari bahwa Kerajaan Allah sudah dekat dan kita bertobat.
Nah, apakah itu Kerajaan Surga? Kita akan melihat ke dalam Roma 14:17 untuk mendapatkan penjelasan dari Paulus tentang Kerajaan Surga. Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran (kita kembali pada kata 'kebenaran'), damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. Perhatikan hal ini: kebenaran, damai sejahtera dan sukacita. Ketiganya tak terpisahkan. Tanpa damai sejahtera, Anda tidak mendapatkan sukacita. Tanpa kebenaran, Anda tidak mendapatkan damai sejahtera. Jadi tanpa kebenaran, Anda tidak mendapatkan damai sejahtera dan sukacita. Kebenaran adalah hal yang mendasar.

Banyak orang Kristen yang mengaku telah menjadi Kristen tapi tidak mengalami damai sejahtera dan sukacita. Ini adalah karena kebenaran belum masuk di dalam hidup mereka. Tanpa kebenaran tak akan ada damai sejahtera dan sukacita. Anda tidak akan sampai pada damai sejahtera dan sukacita tanpa melalui kebenaran. Saya harap Anda bisa memahami hal ini dengan jelas.
Jika Anda menjadi Kristen karena di dalam sebuah KKR Anda telah mengacungkan tangan ketika si penginjil meminta Anda melakukannnya. Dan Anda mengira bahwa Anda akan memiliki damai sejahtera dan sukacita, maka Anda akan kecewa karena jika kebenaran belum menjadi realitas di dalam hidup Anda, maka damai sejahtera dan sukacita menjadi hal yang tak akan pernah tercapai di dalam hidup Anda. Kedua hal itu tidak akan menjadi bagian hidup Anda. Damai sejahtera dan sukacita yang rohani tak akan bisa dimiliki tanpa adanya kebenaran.

Terlalu banyak ibadah, terlalu sedikit kebenaran
Jadi apa itu Kerajaan Allah? Kerajaan Allah adalah kebenaran. Ini yang harus terjadi dulu dan yang paling utama, dan selanjutnya damai sejahtera dan sukacita di dalam Roh Kudus. Yaitu, Roh Kudus adalah Pribadi yang menjadikan kebenaran ini. Sangatlah penting untuk memahami hal ini. Roh Kudus adalah Pribadi yang membuat kebenaran, damai sejahtera dan sukacita ini menjadi nyata di dalam hidup Anda. Jadi Roh Kudus dari Allah adalah kunci untuk memahami Kerajaan Allah. Dengan kata lain, Kerajaan Allah baru menjadi realitas di dalam hidup Anda ketika Roh Kudus dari Allah masuk ke dalam hidup Anda dan meneguhkan kebenaran di situ dan selanjutnya, masuklah damai sejahtera dan sukacita.

Seluruh Alkitab adalah tentang kebenaran. Apakah yang Allah cari dari antara orang Israel di dalam Perjanjian Lama? Semua nabi di dalam Perjanjian Lama memberitakan kebenaran. Sekarang kita paham mengapa Yohanes Pembaptis memberitakan kebenaran. Anda yang telah membaca tentang nabi-nabi dari Perjanjian Lama akan melihat penekanan pada pokok kebenaran dimana-mana. Anda tak akan bisa meluputkannya. Jika Anda lihat Yesaya pasal 1, Anda akan melihat penekanan pada pokok kebenaran. Yesaya berseru kepada umat yang religius ini, yaitu orang-orang Yahudi, dengan berkata, "Masalah kalian adalah bahwa kalian terlalu banyak ibadah tetapi terlalu sedikit memiliki kebenaran." 

Saya pikir kita bisa mengatakan hal yang sama pada gereja masa kini-terlalu banyak ibadah tetapi terlalu sedikit memiliki kebenaran, terlalu banyak lagu pujian, terlalu banyak acara gereja, terlalu banyak PA, terlalu banyak bicara, dan terlalu sedikit tindakan. Tak heran jika orang non-Kristen berkata, "Lihat dirimu sendiri, orang Kristen! Kapan kamu lebih baik daripadaku?" Dan apakah jawab orang Kristen? "Yah, ini tak ada kaitannya dengan siapa yang lebih baik. Ini cuma masalah mempercayai pokok ini dan itu sebagai suatu hal yang benar." Tidak kena sama sekali; Alkitab tidak berbicara seperti itu! Jangan coba-coba lari dari tudingan orang-orang non-Kristen ketika mereka berkata, "Kamu berperilaku munafik, jadi, aku tidak mau menjadi orang Kristen." Jangan berkata, "Yah, keselamatan tidak berkaitan dengan hidupku, ini adalah masalah kepercayaan." Itulah kemunafikan! Omong kosong! Kerajaan Allah adalah kebenaran. Dan jika Anda tidak memiliki kebenaran di dalam hidup Anda, maka Anda tidak tahu apa-apa tentang Kerajaan Allah, tak peduli seberapa besar kepercayaan Anda.

Orang Yahudi tidak pernah kekurangan ibadah. Mereka juga tidak kekurangan iman di dalam pengertian ibadah. Apakah orang Yahudi percaya kepada Allah? Tentu saja mereka percaya kepada Allah. Apakah mereka percaya bahwa Allah itu Esa? Tentu saja mereka percaya bahwa Allah itu Esa. Apakah mereka percaya bahwa Alkitab itu Firman Allah? Tentu saja orang Yahudi percaya bahwa Alkitab itu adalah Firman Allah. Lalu apa yang tidak mereka percayai?

Tidak ada orang-orang yang lebih religius dari pada orang Yahudi, akan tetapi Yesaya tetap saja menghardik orang Yahudi. Bacalah Yesaya pasal 1. Di sana disebutkan, "Kamu beribadah ke Bait Allah setiap hari, mempersembahkan korban, kambing dan dombamu. Doamu panjang sekali." Orang-orang Yahudi mengucapkan doa Shema, pengakuan iman yang mendasar bagi orang Yahudi sebanyak 3 kali sehari. Mereka tak pernah lalai berdoa. Setiap hari mereka berkerumun memenuhi Bait Allah. Setiap hari menghaturkan korban dan persembahan. Tetapi Yesaya berkata kepada orang-orang Yahudi, "Bawa pergi persembahan-persembahanmu itu dari sini. Bawa pergi semua. Siapa yang menghendaki darah hewan korban? Yang Kukehendaki adalah kebenaran. Aku tak ingin ibadahmu. Yang ingin Kulihat adalah kebenaran di dalam hidupmu-saat keadilan ditegakkan bagi orang miskin, saat para janda dan anak yatim dipelihara dan bukannya ditindas, saat orang miskin tidak perlu menutupi mukanya dengan debu. Kerjakan ibadahmu di luar sana dan beri Aku kebenaran. Bawa pergi korban persembahanmu." Begitulah pemberitaan dari nabi-nabi Perjanjian Lama.

Inilah yang tertulis di dalam Alkitab. Pesan yang disampaikan memang tidak nyaman. Dan jika Anda membaca kitab Amos, maka Anda akan menjumpai hal yang sama: Allah berkata, "Kapan kamu mau bertobat, hai Israel? Kapan kamu mau berpaling? Aku tidak menginginkan persembahanmu. Aku jemu dengan persembahanmu. Beri Aku kebenaran" (Amos 4:5). Dan di dalam Amos 5:24 Allah berkata, "Biarlah kebenaran mengalir seperti sungai yang selalu mengalir. Itulah yang ingin Kulihat."
Tapi sekarang ini, kebenaran telah diencerkan. Keselamatan telah dibuat menjadi gampangan sama seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi yang mengira bahwa keselamatan adalah perkara mudah. Kebenaran tak pernah menjadi barang gampangan. Kita tidak bisa menaruh kebenaran di luar Gereja jika kita ingin setia kepada Allah.

Yesus berkata di dalam Matius 5:20, "Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga." Orang-orang Farisi adalah kaum yang paling religius yang pernah ada di dunia ini. Di dalam sejarah agama Anda tidak akan menemukan kaum yang lebih religius dari kaum Farisi. Mereka sangat taat pada perincian aturan dan pada tata ibadah. Mereka berpuasa 2 kali seminggu dan berdoa 3 kali sehari. Anda tidak akan bisa menyaingi mereka dalam hal kegiatan ibadah. Tetapi Yesus berkata, "Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga." Waah! Benar-benar dahsyat! Tak heran jika banyak gereja juga sering berpikir: Siapa yang akan diselamatkan dengan syarat semacam ini? Karena itu, mari kita encerkan pesannya. Mari kita buat lebih mudah. Akan tetapi Yesus memperingatkan, "Barangsiapa mengurangi tuntutan kebenaran Allah sedikit saja, orang itu akan menghadapi kesulitan untuk masuk ke dalam Kerajaan." (Matius 5:18-19).

Nah, pertimbangkanlah, kebenaran kita harus melebihi kebenaran orang-orang Farisi. Anda tentu ingat bahwa Paulus sendiri tidak malu menyebut dirinya sebagai orang Farisi. "Aku orang Farisi," bukan "Aku pernah jadi orang Farisi," demikian kata Paulus. Tentunya Anda ingat ayat di dalam Kis 23:6, di mana pada waktu diadili Paulus membuat pernyataan, "Aku orang Farisi." Tahukah Anda mengapa sebagai seorang Kristen, dia tidak takut menyebut dirinya sebagai orang Farisi? Karena orang-orang Farisi memegang doktrin yang hampir seluruhnya sama dengan yang diyakini oleh orang Kristen. Sungguh mengejutkan. Jika ada di antara Anda yang mau membaca satu karya luar biasa yang disusun oleh Strack dan Billerbeck, dua orang cendekiawan Jerman, yang menyusun tafsiran Perjanjian Baru dengan merujuk kepada Talmud, Anda akan terkejut melihat bahwa dari pokok ke pokok yang lainnya, orang-orang Farisi ternyata mengajarkan hal yang sama dengan ajaran Kristen. Jadi janganlah menipu diri sendiri dengan mengira bahwa penjelasan iman yang ortodoks itu menjamin keselamatan Anda.

Yakobus mencoba memperingatkan kita akan hal ini di dalam Yak 2:19, dia berkata, "Jangan katakan pada dirimu, 'Aku percaya hanya ada satu Allah.' Setan percaya akan hal itu juga. Jangan katakan pada dirimu, 'Aku percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah.' Setan percaya akan hal itu juga, dan dia justru lebih menyakini hal itu." Dan di dalam Injil, orang-orang yang dirasuk setan itulah yang berkata, "Engkau Yesus, Anak Allah." Mereka tahu akan hal itu. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah. Mereka percaya pada-Nya. Dan Yesus sampai perlu membungkam mereka dengan berkata, "Diamlah!" Dia tidak mengijinkan mereka berbicara. Dia tidak butuh kesaksian dari setan-setan. Akan tetapi para setan itu percaya bahwa Dia adalah Anak Allah. Setan yang bernama Legion berkata kepada Yesus, "Apakah Engkau datang untuk menyiksa kami sebelum waktunya, hai Anak Allah?" Mereka tahu bahwa Dia adalah Anak Allah. Dia adalah Hakim bagi surga dan bumi. Setan-setan percaya itu. Jangan merasa cukup sekadar mempercayai bahwa Yesus adalah Anak Allah. Jika iman Anda belum diubah menjadi kebenaran di dalam hidup, iman itu hanya menjadi semacam pengetahuan saja, dan iman itu tidak akan menyelamatkan Anda. Itulah hal yang disampaikan oleh Yakobus di dalam pasalnya yang kedua.
Sumber: http//:www. Cahayapengharapan.Org