Usianya mendekati separuh baya, rambut talingkar kribo, sebuah noken Papua Nieuw Guinea (PNG) menggantung di lengannya.
Dandanannya sederhana namun rapi, ia memancing mataku untuk tidak beralih darinya. Di stasiun kereta Helmond Centraal Kota Helmond, di Negeri Kincir Angin. Seolah ada kontak batin matanya pun tertuju pada sa. Dan dia pun tersenyum manis. Dia cantik, sa pu hati berbisik kagum. Jujur saja sa penasaran dan kagum.
Saat melihatnya, sa benar-benar rasa dan sadar bahwa sudah belasan tahun sa kehilangan sa pu dunia, kehilangan bagian terpenting dari sa pu diri.
Sa telah terlempar jauh keluar dari sa pu masyarakat tercinta, sa telah terbuang jauh dari kitong punya komunitas dan budaya Melanesia. Perlahan sa melangkah mendekati dia, dengan senyum tanpa ragu sa kase tangan. Tong dua jabat tangan.
“Yu blong Manus Island o Samarai?” sa tanya dia dengan bahasa Pigin.
“Wai na yu tok olsem?” jawabnya dengan senyum.
“Fes mi ting olsem yu blong PNG, bikos long bilum yu karim raun na seken long en, yu iluk olsem meri Manus o meri Samarai.”
Tenkyu tru, Sista blong mi. Mi stap long taim long PNG tasol asples blong mi em i West Papua. Mi kam long Biak Ailan.”
Aaaaaahhhh…ternyata sa pu dugaan meleset.
Semula sa kira de dari Pulau Manus atau Samarai di PNG ternyata bukan. Dia berasal dari West Papua. Dan lebih lagi dia dari tempat asal mama saya. Bangga, senang, terharu… semua berbaur jadi satu.
Sa benar-benar senang dengan pertemuan ini. Tong tra buang waktu, cerita mengalir macam air dengan tong pu gaya sendiri. Kadang dengan logat Papua, kadang dengan Tok Pisin, kadang dengan Bahasa Belanda dan kadang juga dengan Bahasa Inggris. De maklum karena sa pu Bahasa Indonesia tra betul satu dan sa pu logat Papua juga masih patah-patah.
Awalnya sa masih malu-malu untuk pake logat Papua karena sa bicara tabula bale, tapi de bilang, “Ade, tra usah pake malu-malu segala. Hajar saja, yang tra beres itu nanti Kaka yang bereskan. Kaka paham.”
Dengar de bicara begitu, sa tambah semangat. De pu sikap sante dan flexibel bikin siapa saja yang baru kenal, pasti rasa akrab. Yang ada saat itu, sa bahagia luar biasa.
Hari ini sa bertemu tipe perempuan Melanesia tulen, sederhana, rambut kribo tanpa make up sehingga terlihat cantik dan menawan. Ia penuh percaya diri dan tenang. Suaranya riang jika berbicara, diselingi gurauan. Tapi walaupun suka bergurau dia tampak berani dan tegas. Dari cara bicaranya saya paham perempuan ini pintar, bijak. Sa kagum dan bangga.
Sayang seribu sayang, pertemuan singkat itu harus kitong dua akhiri karena kereta yang de tunggu su tiba. De harus pergi.
Sa selipkan sa pu kartu nama di de pu tangan dengan harapan de mo kontak sa kembali. Kereta yang sa tunggu juga tiba. Sa tancap masuk kereta.
Tra sadar sekarang su sembilan tahun berlalu. Sejak terjalinnya persahabatan kami di rantau ini. Buat sa pu “Mama”, sa pu Kk, sa pu Guru, sa pu Pembimbing dan sa pu Sobat Sejati yang selalu. (*)
Venlo,26 Oktober 2014
Perempuan Melanesia sejati yang Sa Cinta.
TUHAN memberkatimu selalu.
Dimuat dalam www.sastrapapua.com