Mengintip Isi Draf RUU Otsus Plus Papua(Bagian I)
Oleh : Oktovianus Pogau*
Lahir Atas Usul Presiden SBY dan Gubernur Papua, Bukan Rakyat Papua
“Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” (pasal 77,UU No. 21/2001)
DALAM artikel ini, saya akan menuliskan catatan panjang tentang Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di tanah Papua (selanjutnya disebut RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua), juga mengintip draf keempat belas – acuan saya adalah draf final hasil singkronisasi tim Asistensi dari Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat – RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua pasal demi pasal.
Foto: Arnold Belau |
Tentu, yang akan saya angkat dalam catatan ini adalah pasal-pasal yang dianggap krusial, dan dapat menimbulkan konflik dan perdebatan panjang dikemudian hari.
Pada tulisan bagian pertama, lebih dulu saya akan mengulas cikal bakal “dilahirkannya” RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua, yang diusulkan oleh Jakarta melalui Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Pemerintah Provinsi Papua melalui Gubernur Papua Lukas Enembe, tanpa adanya usulan kongkrit dari rakyat Papua Barat melalui Majalis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), seperti yang diamanatkan dalam pasal 77, UU No. 21/2001.
Lukas Enembe dan Klemen Tinal, secara resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Dr. Gamawan Fauzi, pada tanggal 09 April 2013, untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubenur Provinsi Papua periode 2013-2018. Agak berbeda dari biasanya, karena ini kali pertama di Indonesia ada pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur di luar Lapangan Terbuka, yakni di Stadion Mandala, Jayapura, Papua.
Tiga minggu usai dilantik, tepatnya pada 29 April 2013, Gubernur Papua Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, beserta Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda, dan Ketua MRP Timotius Murib, melakukan pertemuaan tertutup dengan Presiden SBY di Istana Presiden, Jakarta, pada pukul 14.00 Wib.
Presiden SBY sendiri didampingi oleh Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Menteri Kordinator Perekonomian (Menkoperekonomian), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Sekertaris Negara (Mensekneg).
Dalam pertemuaan tersebut, Presiden SBY berbicara tentang konsep Otonomi Khusus Plus kepada Gubernur Papua dan rombongan; juga memberikan kewenangan yang lebih luas kepada rakyat Papua agar mengembangkan diri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik. Maksud SBY adalah, kira-kira Otsus plus merupakan kado untuk rakyat Papua di akhir massa jabatannya sebagai presiden.
Karena itu, pertemuaan 29 April 2013 merupakan cikal bakal, asal muasal atau ide awal untuk direkonstruksinya UU No. 21/2001, yang telah di implementasikan di tanah Papua hampir 13 tahun lamanya. Tampak jelas, ide ini diusulkan langsung oleh Presiden SBY bersama sejumlah menteri kepada rombongan dari Provinsi Papua, sembari mengabaikan amanat Pasal 77 UU No. 21/2001.
Menurut Gubernur Papua Lukas Enembe, arahan dan penegasan yang disampaikan Presiden SBY adalah perluasan Otsus, yang disebut sebagai Otsus Plus, dan diharapkan dalam tiga bulan ke depan draf Otsus Plus selesai, karena tujuannya ialah menjawab berbagai persoalan Papua yang harus tuntas diselesaikan sebelum Presiden SBY mengakhiri masa jabatannya.
“Pemerintah pusat lewat Presiden SBY bakal memberikan Otonomi Khusus Plus (Otsus Plus) bagi Provinsi Papua. Otsus plus ini diberikan untuk menjawab berbagai persoalan di Papua yang tak kunjung selesai. Ini penghargaan yang luar biasa bagi kami, karena kami dapat arahan dari Presiden SBY untuk membangun dan menata Papua yang lebih baik lagi,” tegas Gubernur Provinsi Papua, di Istana Negara, usai pertemuaan dengan Presiden SBY. “Ini kemauan baik yang luas biasa dari Presiden SBY. Kita berharap dari sisa masa jabatan Presiden SBY, persoalan-persoalan di Papua bisa tuntas,” kata Enembe.
Tampaknya, presiden SBY beserta para menteri yang hadir di pertemuaan 29 April 2013, juga Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua, serta Wakil Ketua I DPRP dan Ketua MRP tak paham dengan amanat yang ada di dalam pasal 77 dan 78, bahwa usulan perubahan atas UU No. 21/2001 hanya dapat lahir dari keinginan luhur rakyat Papua, yang kemudian diteruskan ke MRP sebagai representative adat, agama, dan perempuan; dan selanjutnya disampaikan ke DPRP, dan untuk selanjutnya disampikan ke Gubernur, dan selanjutnya diteruskan ke Presiden dan DPR RI. Atau pura-pura tidak tahu?
Universitas Cenderawasih Jadi Soko Guru Utama
Usai kembali dari Jakarta ke Jayapura, Gubernur Papua Lukas Enembe langsung bekerja super cepat. Pertama-tama adalah menggandeng lembaga akademisi atau perguruan tinggi di Jayapura, Papua, yakni, Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk menjadi soko guru utama dalam melakukan rekonstruksi terhadap isi amanat UU No. 21/2001.
Pada 13 Mei 2013, atau dua minggu setelah pertemuaan presiden SBY dengan rombongan dari Papua, Gubernur Papua Lukas Enembe di dampingi “gank” dari Dok II (sebutan untuk Kantor Gubernur Papua di Jayapura), yakni, Sekertaris Daerah (Sekda), Kepala Badan Keuangan, Asisten I Bidang Pemerintahan, dan Kepala Biro Tata Pemerintahan melakukan pertemuaan tertutup dengan tim dari Fakultas Hukum (FH) Uncen, yang diketuai oleh Dekan FH Uncen, Martinus Salosa, di ruang Kantor Gubernur Papua, di Dok II Jayapura.
Agenda pertemuaan adalah, Gubernur Papua menyampaikan tentang rencana penyiapan draf Revisi UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua menjadi Otonomi Khusus Plus, seperti yang disampaikan oleh Presiden kepada Gubernur, pada 29 April 2013 di Jakarta; dan akan dibentuknya tim asistensi, yakni dari Uncen dan Pemerintah Provinsi.
Disampaikan juga dua hal penting yang berkenan dengan Otsus Plus, yaitu, pertama, revisi UU 21/2001 seperti model Pemerintahan Aceh, termasuk pasal 4 tentang Kewenangan Daerah yang diperluas, termasuk moneter dan fiscal; dan kedua, bahwa dalam Otsus plus, termasuk penataan birokrasi dan kelembagaan atau pemerintahan, politik, hukum dan HAM. Martinus Salosa selaku Dekan FH Uncen menyanggupi tawaran Gubernur, dan berjanji akan menyampaikan kepada rektor Uncen yang baru, Prof. Dr. Karel Sesa, dan berjanji akan membentuk tim asistensi untuk bekerja.
Langkah kedua, Gubernur Papua menata birokrasi pemerintahan di tingkat Provinsi, agar dan dapat mendukung langkah rekonstruksi Otsus menjadi Otsus plus sesuai arahan Presiden SBY. Pada 27 Mei 2013, Gubernur melantik 10 pejabat eselon II, salah satu diantaranya adalah Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Papua, Dr. Muhammad Musaad, yang akan bertidak sebagai ketua tim Asistensi Otsus Plus dari Pemerintah Provinsi Papua.
Kepada tim dari FH Uncen, juga kepada pejabat-pejabat di tingkat Provinsi yang berkaitan langsung dengan pengerjaan dan pembahasan Otsus Plus, Gubernur berjanji akan mendukung sepenuhnya kerja-kerja tim asistensi, termasuk dalam hal pendanaan hingga tahap akhir penyusunan. Mulai saat itu, tim asistensi dari Uncen maupun Provinsi tancap gas mengerjakannya.
Sosialisasi Kepada Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota
Selanjutnya, Gubernur Papua juga melakukan sosialisasi terbuka kepada Kepala-Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota yang ada di seluruh tanah Papua. Tepatnya, 29 Mei 2013, bertempat di Kantor Gubernur Provinsi Papua, digelar Rapat Kerja Daerah Khusus (Rakerdasus) antar Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, beserta sejumlah pejabat di Dok II, yang dihadiri juga oleh 28 Bupati/Wakil Bupati, serta I Walikota/Wakil Walikota yang berasal dari seluruh Papua.
Dalam arahannya, Gubernur Papua mengatakan, Rakerdasus dilakukan untuk mengevaluasi implementasi Otonomi Khusus dan melakukan rekonstruksi terhadap Undang UU No. 21/2001, serta melaksanakan pembangunan dalam berbagai bidang secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan, serta menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang ada di Provinsi Papua secara menyeluruh dan komphrensif.
Dalam kesempatan tersebut, Lukas Enembe juga menjelaskan enam langkah strategis untuk mewujudkan visi Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera, yakni, pertama, adalah soal kebijakan komunikasi yang baik antara lembaga Pemerintah Papua, DPRP, MRP, Bupati dan Walikota se-Papua, juga dengan tokoh-tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat guna mengatasi berbagai persoalan mendasar di Papua; kedua, kebijakan pembenahan perencanaan daerah; ketiga, kebijakan penguatan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik; keempat, kebijakan pembagaian dana Otsus 80 % untuk Kabupaten/Kota dan 20% untuk Provinsi;kelima, kebijakan pembangunan kampung yang mana respek dirubah menjadi Prospek; serta keenam, adalah kebijakan sosial politik untuk mengubah konflik menuju kehidupan politik yang aman dan damai secara berkelanjutan.
Sebagian besar Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota yang hadir dalam Rakerdasus tersebut mendukung penuh rencana Gubernur Enembe untuk melakukan rekonstruksi ulang UU No. 21/2001, apalagi ada point yang mengatakan Kabupaten/Kota akan mendapatkan 80% dana Otsus Plus.
Mendapatkan dukungan dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, perwakilan DPRP, dan MRP, tapi apakah mendapat dukungan dari rakyat Papua, yang dalam amanat Otsus menjadi subjek dari pada UU Otsus? Yang juga diposisikan sebagai pihak pertama dan paling utama yang dapat memberikan usulan, saran, dan masukan agar UU No. 21/2001 dievaluasi atau direkonstruksi ulang?
Penolakan Keras Dari Rakyat Papua
Gubernur Papua boleh saja berbangga diri karena mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Papua, Lembaga Akademisi, Kepala Daerah di Kabupaten/Kota seluruh Papua, perwakilan DPRP (mayoritas anggota Partai Demokrat), dan sejumlah kecil anggota MRP, namun harus di ingat, rakyat Papua menolak secara tegas Otsus plus tersebu!
Pihak yang pertama kali menolak rancangan Otsus plus adalah rakyat Papua yang tergabung dalam Solidaritas Hukum, HAM dan Demokrasi Rakyat Papua (SDHRP). “Kami menolak tegas Otonomi Plus yang dicanangkan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe. Harus disadari bahwa Otonomi Khusus lahir karena keinginan Rakyat Papua dalam pemenuhan hak-haknya,” ujar Ketua SDHRP, Osama Usman Yogobi, kepada wartawan di Jayapura, Papua, pada 8 Juni 2013. Osama bersama beberapa pemimpin organisasi massa di Jayapura juga menyatakan, akan tetap melakukan aksi demonstrasi damai untuk menolak Otsus Plus dan meminta pertanggung jawaban Negara atas pelanggaran HAM di tanah Papua.
Penolakan yang paling representative muncul saat dilangsungkannya evaluasi Otsus versi orang asli Papua (OAP) di Hotel Sahid Papua, pada 24-27 Juli 2013, yang dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan mengundang wakil-wakil orang asli Papua dari tujuh wilayah adat di tanah Papua, yakni, wakil adat wilayah Mamta/Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha/Ha Anim, La Pago, dan Mee Pago.
Ada dua rekomendasi utama yang dihasilkan pada akhir pertemuan, yakni, pertama, membuka ruang untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan ditempat yang netral pula; dan kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan Dialog Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point (1) rekomendasi ini.
Hasil evaluasi Otsus versi Orang asli Papua ini selain sangat representative, juga karena dihadiri oleh seluruh anggota MRP, anggota DPRP, tokoh-tokoh adat, agama, pemuda, dan tokoh-tokoh gereja di seluruh tanah Papua; juga dihadiri oleh beberapa akademisi, dan perwakilan mahasiswa di seluruh perguruaan tinggi di Jayapuara, Papua.
Yusak Reba, salah satu Dosen Universitas Cenderawasih Papua, juga menolak ide atau aspirasi dilahirkannya Otsus Plus, sebab ia tidak lahir dan tuntutan dan aspirasi rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001. “Perubahan tersebut harusnya datang melalui aspirasi masyarakat Papua, bukan berasal dari kehendak Jakarta,” tegas Reba, saat diwawancarai oleh wartawan. Ditambahkan, kebijakan untuk menata kembali Otsus haruslah melalui prosedur yang diamanatkan sesuai dengan pasal 77 dan 78 Undang-undang Otsus 21 tahun 2001, dan harus diserahkan ke orang Papua, bukan Jakarta yang menentukan, lalu mengundang Gubernur, DPRP dan MRP untuk sekedar mewakili orang Papua.
Pernyataan penolakan Otsus Plus yang lebih keras dan radikal datang dari Ketua Umum Persektuan Gereja-Gereja Baptsi (PGBP), Pdt. Socratez Sofyan Yoman. “Otsus Plus tak perlu dan tak penting diterapkan, karena tak akan pernah menyelesaikan masalah di Papua. Bahkan MRP sebagai lembaga kultur masyarakat Papua menyatakan menolak Otsus Plus. Hal ini sebagaimana rekomendasi dan konsultasi publik antara MRP dan rakyat Papua di Hotel Sahid Papua, Jayapura 25-27 Juli 2013 lalu.”
“Sebagai pemimpin Gereja di Papua, saya melihat realitas kegelisaan, penderitaan umat Tuhan di Tanah Papua ini, maka saya katakan Otsus Plus tak perlu diterapkan. Barangkali Otsus Minus bukan Otsus Plus,” tegas Yoman, ketika diminta tanggapannya oleh salah satu media lokal di Jayapura, Papua, awal Agustus 2013 lalu.
Dikatakan, pihaknya mengusulkan hanya ada dua solusi yang relevan dan tepat. Pertama, dialog damai dan setara antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat dimediasi pihak ketiga di tempat netral. Kedua, pemerintah Indonesia mengakui Papua sebagai negara merdeka dan berdaulat sejak 1 Desember 1961 yang pernah dibubarkan oleh Presiden pertama RI Ir. Soekarno.
Pernyataan penolakan juga datang dari rakyat Papua Barat yang tergabung dalam Gerakan Pemuda, Mahasiswa dan Rakyat (GEMPAR). “Gubernur tidak boleh menyepelekan tuntutan rakyat Papua yang disampaikan oleh MRP, yakni Otonomi Khusus telah gagal total, dan dilakukan referendum,” ujar Kordinator Umum GEMPAR, Yason Ngelia.
Dikatakan, evaluasi menyeluruh Otonomi Khusus adalah langkah paling utama yang akan menentukan langkah pembangunan selanjutnya, karena itu partisipasi dan dukungan rakyat sangat penting. “Namun sekarang yang kita lihat adalah rakyat tidak memberikan dukungan, namun gagasan untuk Otsus Plus datang dari Jakarta, yakni melalui Presiden SBY. Ini ada apa? Gubernur harus mendengar suara masyarakat akar rumput,” tegas Yason, yang ditahan tiga bulan penjara karena memobilisasi masa untuk melakukan demonstrasi penolakan Otsus plus di Kantor Gubernur Papua.
Draf Keempatbelas; Singkronisasi versi Papua dan Papua Barat
Walaupun mendapat penolakan keras dan kritik dari berbagai pihak di tanah Papua – bahkan beberapa mahasiswa Uncen harus terus berurusan dengan aparat kepolisian, hingga ada yang ditahan di penjara – pembahasannya tak pernah sedikitpun mengalami kemunduran. Gubernur Papua Lukas Enembe, bersama tim asistensi dari Pemerintah Provinsi Papua, dan tim eksternal seperti dari Kampus Uncen, MRP dan DPRP terus tancap gas sembari mengabaikan tuntutan rakyat Papua; Tim dari Provinsi Papua Barat relative bekerja dengan sedikit tenang, karena praktis tak ada penolakan dari rakyat atau mahasiswa di Papua Barat.
Atau, ini mungkin karena pengerjaannya draf yang dikerjakan secara “tersembunyi” atau tidak diketahui oleh public di Manokwari. Apalagi, deadline waktu yang diberikan kepada tim Asistensi dari Provinsi Papua Barat hanya seminggu. Tentu, ini waktu yang sangat-sangat singkat bukan!
Hingga saat ini, telah dihasilkan draf keempatbelas, yakni draf final atau hasil singkronisasi antara draf versi tim Provinsi Papua Barat dan Papua. Kesepakatan draf tersebut – walaupun ada beberapa point yang tidak saling bersepakat – telah ditanda tangani oleh Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe yang diwakili oleh salah satu pejabat tinggi Dok II, dan Gubernur Provinsi Papua Barat, yang diwakili oleh Sekertaris Daerah Ishak Halatu. Penandatanganan dilakukan di Lumire Hotel Senen, Jakarta, Pusat, Sabtu 15 Februari 2013, sekitar pukul 19.30 Wib, dan rencananya draf akhir ini akan dipaparkan di Kementerian Dalam Negeri, kemudian diteruskan ke DPR RI untuk mendapatkan persetujuan.
Rakyat di Papua sekarang sedang “dipaksakan” untuk menerima sesuatu yang tidak mereka usulkan? Akan dipaksaan mentaati “aturan” yang tidak pernah mereka mau, dan sepakati secara kolektif. Memang, sungguh ironis pejabat kita di tanah Papua ini; yang menabrak aturan untuk mendengar “bisikan” Jakarta yang belum tentu membawa rakyat Papua ke arah yang lebih baik.
Pada tulisan bagian kedua, saya akan membahas tahapan pergantian nama, awalnya mulai dari nama “Otonomi Khusus Plus”, kemudian “Undang-Undang Pemerintahan Papua”, hingga yang paling terakhir sekarang adalah “Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua”, juga secara detil membahas pasal-pasal awal draf RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua yang dianggap sedikit krusial, dan dapat menibulkan perdebatan panjang di kemudian harinya. (Bersambung)