Pada umumnya dibelahan bumi Papua selalu saja terjadi konflik
perebutan tanah, hak-hak, hak ulayat, harta benda dan seterusnya. Situasi ini
menjadi masalah sosial yang sering bahkan kian membara di mana saja manusia
Papua itu hidup dan didiaminya. Situasi ini terjadi maka pihak keamanan
dilancarkan diberbagai penjuru angin di provinsi Papua telah diutus oleh
pemerintah pusat maupun daerah menembatkan pihak keamanan agar mengamankan
situsi kongkrit perang ini. Pengamanan harus di amankan sesuai dengan hukum yang
telah tertata rapi dalam Undangan –undangan khusus untuk pengamanan keamanan
rakyat /waraga Negara lebih khusus Papua. Papua akan selalu menjadi pilihan
bagi pihak keamanan, untuk menagani masalah yang dibeberkan di atas misalnya
perebutan tanah, hak-hak, hak ulayat, harta benda dll. Namun terkadan pihak
keamanan yang hadir membuat situasi konflik yang dibuat menjadi tambah panas
bahakan kehadiranya menjadi batu sandungan untuk bertambah konflik, serta
terkadang pihak keamanan menjadi pelaku terjadinya konflik.
![]() |
Panorama Intan Jaya (Foto: Misael Maisini) |
Situasi perang yang terjadi di Timika antara Suku Moni dan Suku Dani, merupakan perbutan tanah. Perbutan tanah itu sering melewati beberapa cara penyelesaian konflik. Pertama Perebutan tanah, secara hukum adat istiadat, yang disebut dengan hak ulayat kedua suku tersebut tentu satu tidak mempunyai hak ulayatnya. Kedua perebutan secara siapa yang kuat dalam perang, namun belum tentu pihak mana yang menag tetapi jelas bahwa yang menang merupakan hak ulayat secara paksa terkadang bukan hak ulayatnya.
Dua situsi ini yang terjadi dalam perang di Timika. Bagi kami pengamat situasi di atas tidak perlu adakan poin kedua dalam perebutan tanah. Karena di tanah Papua semua hak ulayat telah dan sudah punya hak ulayatnya yang masing-masing berdasarkan suku-suku yang ada. Allah Leluhur Bangsa Papua telah mengatur sedemikian rupa dalam pembagian tanah sesuai dengan hak ulayat.
Apabilah ada Cara kedua maka hal itu dipertanyakan karena cara itu sering terjadi dalam kanca rana politik Nasional. Lebih khusus dalam pertahanan batas-batas wilayah pertahanan negaranya. Tetapi situsi ini tidak perlu terjadi di muka bumi Papua yang selalu di sebut Pulau Papua adalah Surga kecil yang jatuh ke bumi Cendrawasi. Artinya semua yang ada di tanah papua telah ada sesuai dengan rencana Allah leluhur bangsa Papua, bahkan setiap titik tanah telah menunjuk pemilik hakl ulayatnya.
Namun situasi perang di Timika, ada beberapa pihak yang memboncengi demi keperluaan diri, dan juga pihak keamanan juga terlibat perang, bukan kehadirannya untuk mengamankan melainkan membunu data ini diperole dari tempat terjadi perang dan dalam perang tersebut ada salah satu pihak perang dikorbangkan. Ini berarti ada indikasi pelanggaran hukum yang ada di Negara Indonesia, dan juga salah gunakan keberadan atau kekuasaan keamanan di arena perang. Sebenarnya pihak keamanan netral untuk mengamankan namun di medan lapangan perang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh kanca hokum yang ada.
Kami sebagai kaum intelek tanah Papua merasa tidak beres dalam penaganan dan juga terjadi konflik yang terjadi di Timika. Maka untuk menangani persoalan ini dapat diselesaikan secara hukum adat istiadat yang didukung oleh hukum Negara. Mengapa demikian, perang ini berkaitan dengan hak ulayat, tanah adat yang ada. Berarti akan jelas untuk penyelesaiannya berdasarkan siapa yang berhak tanah ini, milik nenek moyang suku Moni atau suku Dani. Maka jelas dan mudah untuk mengatasinya.
Dengan melihat realitas yang terjadi kimi berpesan kepada pihak Gereja baik Kristen Katolik maupun Kristen Prostestan bersatu untuk mengamankan umatnya, dan campur tangan pemerintah Mimika, dan pemerintah provinsi Papua. .Hal ini dibiarkan maka kestabilan keamana di papua tidak terjamin dan juga akan mengangu pesta demokrasi yang dilakukan pada bulan April.
Semua usaha ini di buat dan aman maka air mata darah yang kian tampah henti mengalir akan pelahan-pelahan menjadi kering. Tandahnya bahwa tidak ada permusuan antara manusia Papua serta hidup sesuai dengan hak ulayat dan tanah adat masing-masing orang Papua.
Penulis: Benny Magay yang sedang mengeyam pendidikan di STFT Fajar Timur Abepura