![]() |
Studi Banding 6 Media Di Timur Timur |
Dalam buku ini
menyeroti muatan kekuasaan dalam pemberitaan jajak pendapat Timtim di enam
media utama Jawa Timur (Jawa Pos, Surya, Surabaya Pos, dan Memorandum) dan Bali
(Bali Post dan Nusa), berangkat dari asumsi, terhalangnya right to know dan right to
expression khalayak akibat tekanan kekuasaan (politik, ekonomi, dan
budaya/komunalisme) merupakan urusan semua pihak.
Mengamatai peran pers
dalam persoalan Timtim, kita akan menemukan sejumlah bukti pers telah
memerankan diri sebagai sebuah alat propaganda dan kelengkapan perang urat
saraf. Sejak awal menjelang integrasi Timtim ke Wilayah Indonesia, hal ini
telah dilakukan para wartawan dengan dimotori para wartawan LKBN Antara, TVRI
Berita Yudha yang kebanyakan bertugas menyusup ke Wilayah Timtim bersama dengan
kekuasaan – kekuasaan kecil yang dibentuk pimpinan ABRI (sekarang TNI).
Para wartawan “Perang”
tersebut yang telah terbiasa bergaul dengan kalangan militer, yang dalam
beberapa momentum dipersenjatai, inilah yang menyebarkan sejumlah berita
propaganda mengenai keadaan Timtim pada 1974 hingga 1976. Mulai dari merebaknya
ancaman “Merah” di Timur Portugis,
terjadinya perang saudara hingga bencana kelaparan hebat di Wilayah”tetangga”
Indonesia tersebut.
Pada kurun ini sesungguhnya
justru “Operasi Komando” dan “Operasi Flamboyan” tengah dijalankan pihak
militer Indonesia. Para wartawan tak pernah membuka informasi adanya sejumlah
langkah setematis dan persiapan militer yang mendahului pelaksanaan operasi
besar – besaran untuk meng – “Integrasi” Timtim leat Operasi Seroja.
Pada saat bersamaan,
sebetulnya pihak militer Indonesia juga melakukan penggalangan terhadap
sejumlah tokoh politik Timtim, antara lain dengan mengundang para tokoh
tersebut untuk datang”melihat - lihat” Jakarta dan keberhasilan pembangunan
Indonesia pada 14 April 1975.
Aksi penggarapan
terhadap para tokoh Timtim yang dikoordinir tokoh UDT, Lopez da Cruz, akhirnya
melahirkan buburnya koalisi Fretilin – UDT. Lopez lantas melancarkan gerakan
revolusioner anti – komunisme, yang mencerminkan phobia Indonesia dan Barat
terhadap ancaman komunisme, pada 11 Agustus 1975 malam. Gerakan bersenjata yang
disertai penangkapan terhadap Xavier do Amaral, Xanana Gusmao, dan sejumlah
pimpinan Fretilin inilah yang kemudian berbuntut sebagai perang saudara.
Banyak kalangan juga
tak pernah tahu, ABRI pada awal 1980 – an juga membentuk sebuah “Operasi
Siluman” yang dipimpin oleh duet Prabowo Subianto (di kemudian hari jadi Dan
Kopassus) dan Sjafrie Sjamsuddin ( di kemudian hari jadi Pangdam Jaya). Operasi
ini dilakukan dengan cara melakukan penyusupan jauh ke “Wilayah” musuh dan
menculik serta membunuh pimpinan masyarakat setempat yang dianggap anti –
integrasi.
Secara resmi para
wartawan baru memberitakan, pemerintah Indonesia memutuskan melakukan operasi
militer ke Timtim baru pada 7 Desember 1975. Namun sesungguhnya langka
pengambilalihan Timor Portugis telah direncanakan jauh hari, jauh sebelum
terjadinya Revolusi Bunga di Lisabon pada 1974, bahkan rencana telah ada sejak
jaman Soekarno.
Tokoh di balik
penggembosan politik konfrontasi, Des Alwi, bahkan menyatakan hanya hanya sesat
setelah hubungan Indonesia – Malaysia berhasil dipulihkan, Kepala Inteljen
Malaysia Tun Abdul Razak menganjurkan pada Soeharto untuk segera mengambil ahli
Timtim. Malaysia saat itu selain memberikan dukungan persenjataan juga
mendatangkan sejumlah persenjataan canggih lain dari Israel.
Pers sengaja menutup
kepalsuan konsep politik luar negeri bebas – aktif yang lebih banyak
dikampanyekan sebagai ciri Indonesia sejak jaman Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT)
Non – Blok. Pers segaja tidak memberikan kunjungan perdana Mentri Australia
Gough Whitlam pada 6 September ke Wonosobo yang memberikan restu kepada
Soeharto untuk menjalankan skenario pencaplokan wilayah Timtim.
Dukungan penuh juga
muncul dari Presiden Amerika Gerald Ford yang menyempatkan diri untuk
membicarakan masalah Titim pada 7 Desember 1975. Dukungan juga datang dari
sejumlah pimpinan Central Intelligence Agency (CIA).
Pers secara spesifik
jelas telah mengabaikan sejumlah pertemuan diplomatik antara pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Portugal sebagai bagian darai upaya mencegah
terjadinya pertumpahan darah di Timtim, misalnya perundingan Macao pada 26 Juni
1975, dan pertemuan Roma, 3 November 1975.
Pers lebih tertarik
memberitakan keberhasilan militer Indonesia menyelamatkan bumi Timtim
dariancaman komunisme dan perang saudara. Terlebih dari itu, ada semacam
rekayasa untuk membangun citra, tentara Indonesia memasuki Timtim lebih
dikarenakan panggilan suci kemanusiaan, yaitu menghentikan perang saudara.
Militer Indonesia
segaja menutup rapat terjadinya sejumlah serangan militer sebagai bagian dari
Operasi Flamboyan. Itu sebabnya lima jurnalis asal Australia, Inggris dan
Selandia Baru yang menyaksikan serangan pasukan Indonesia ke Wilayah sipil di
Balibo dibunuh oleh seorang perwira ABRI pada 16 Oktober 1975. Peristiwa ini mengakibatkan munculnya
kontroversial dan gugatan terhadap Letjen M. Yunus Yosfiah yang dituduh jadi
eksekutor atas lima wartawan yang sebelumnya ditembak sempat berteriak dan
menujukan identitas mereka adalah wartawan.
Suara Timor Timur yang
pada awalnya mendapat bantuan manajerial dari grup kelompok Kompas – Gramedia
(KKG) ini pada akhirnya memang jadi mesin propaganda kelompok Pro – Indonesia.
Para pemimpin media ini tak lain adalah tokohj Golkar dan Gubernur. Pada saat menjelang jajak
pendapat, pimpinan media ini menutup pemberitaan dari suara lain, selain
kelompok Barisan Rakyat Timor Timur
(BRTT) yang sangat Pro – Jakarta dan tentara. Sang pemimpin redaksi,
Salvador Ximenes, merupakan salah satu tokoh BRTT yang melakukan penindasan
terhadap wartawannya sendiri yang mencoba bersikap kritis. Perihal ini bisa
dilihat: Solahudin dkk, Ganasnya Satgas, Kejamnya Milisi Timtim. Jakarta: Aji
Indonesia, 2001. Sejumlah pengamat berpendapat, para wartawan Indonesia lebih
banyak menerapkan “jurnalisme omongan” (talking jurnalism) dalam meliput
persoalan Timtim. Mereka mencari isu dari kantor berita atau penerbitan luar
negeri lantas mengkonfirmasinya pada pejabat militer atau Departemen Luar
Negeri, kemudian ditulis bertita. Kebiasaan ini berlangsung selama puluhan
tahun.
Cara ini mungkin Sedang dan
sudah di praktekkan oleh para wartawan Pro – Indonesia di Bumi Papua.
Taburlah..!!! dan Tuailah…!!!