“Manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya” atau juga disebut “Homo Homini Lupus ”
istilah ini pertama kali di kemukakan oleh Thomas Hobes pada tahun 945, yang
artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan manusia masih belum tersadar hingga
saat ini. di jaman sekarang ini sangat sulit Menjadikan Manusia seperti seorang
manusia pada umumnya, sepertinya istilah homo homuni lupus masih tetap berlaku
sampai sekarang ini.
Foto: Google.com |
tembak-tembakan. Apakah itu disebut manusia ? Tidak.
Kenapa tidak? Karena itu semua manusia yang melakukanya dan dilakukan
terhadap manusia juga ?
Pengakuan sebagai umat beragamapun yang telah patuh terhadap ajaranya kerap kali sebagai alasan tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Banyak pelaku kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah iman, masalah Tuhan atau masalah
kebenaran. untuk menghadapi ini semua haruskah kita pun menjadi serigala ? atau
hanya diam dan menjadi domba yang berada di tengah-tengah gerombolan para serigala lapar ?
Pernah dengar istilah di atas ? Homo homini lupus, istilah yang dikenalkan oleh Thomas Hobbes itu, bermakna manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Mungkin sering kita dengar;
orang susah bilang nanti makan apa,? sedikit kaya bilang makan dimana,? begitu kaya dan berkuasa bilang nanti makan siapa? Nah orang yang berpikiran nanti makan siapa inilah manusia penghayat istilah Homo Homuni Lupus.
Semakin lama manusia terhimpit oleh krisis yang berkelanjutan, akan semakin banyak menciptakan Homo homini lupus (manusia serigala bagi sesamanya). Mungkin serigala saja tidak akan sejahat itu memangsa temannya dan memakannya, tetapi manusia yang dikatakan mahluk berbudi luhur dan berahlak lebih tinggi dari binatang, ternyata lebih kejam
dari binatang liar. Seberapa harga sebuah nyawa saat ini? hanya setumpuk uangkah, yang akan habis dimakan oleh kemunafikan sebagai mahluk yang beradab? Atau hanya sebesar peluru yang menembus tengkorak kepala? tak ada jawaban yang pasti. Yang pasti adalah Tuhan menciptakan manusia untuk kemulyaan nama-Nya...bukan untuk melukai sesama yang lain.
Terkadang kita bigung memikirkan kehidupan ini, disatu sisi kita lihat banyak orang berjuang untuk menyelamatkan hidup manusia lainnya, disaat yang lain kita lihat banyak yang menyia nyaikan nyawa orang yang kita kasihi atau yang mungkin juga tidak kita kenal?
Negara menurut teori Thomas Hobbes dibutuhkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah. Hobbes menilai bahwa negara dibutuhkan perannya yang besar agar mampu mencegah adanya “homo homini lupus”
atau manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Hobbes memunculkan teori ini karena di masanya ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah, sehingga perlu adanya peran negara untuk mencegah ini.
Apa yang telah dikemukakan oleh Thomas Hobbes masih sangat relevan dengan kondisi Aceh saat itu dan kondisi Papua saat ini. Masa konflik atau saat diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan kini DOM di Papua, merupakan masa yang paling suram terhadap supremasi hukum di Indonesia. Masa ini merupakan masa terjadinya pelanggaran HAM baik itu pelanggaran Hak-hak sipil dan Politik (Sipol) maupun pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, social dan budaya (Ekosob). Penghilangan nyawa secara paksa, pembunuhan diluar prosedur hukum, dan penyiksaan adalah telah dilanggarnya Hak-hak Sipil dan Politik. Namun di balik itu, ternyata situasi konflik telah dimanfaatkan oleh golongan yang berwatak kapitalis untuk melangsungkan kepentingan ekonominya. berbagai macam dalih dan alasan yang digunakan untuk meloloskan kepentingannya. Dengan dalih Developmentalisme, situasi konflik makin memuluskan kepentingan mereka untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dengan memanfaatkan birokrasi dan kekuatan bekingan, golongan kapitalis yang berwujud dalam simbol perusahaan, telah menjadikan Aceh dan Papua sebagai lahan eksploitasi yang sangat strategis. Tidak peduli prosedur hukum dan kemanusiaan, yang terpenting hasrat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya harus bisa diwujudkan. Itulah kekejaman, keburukan dan kejelekan dari kapitalisme yang saat ini bermetamorfosis dengan berbagai bentuk yang lainnya.
Penyerobotan tanah dan upaya pengambilan tanah secara paksa dari masyarakat ternyata persoalan yang sudah lumrah terjadi di masa konflik. Masyarakat yang sadar untuk membela hak-haknya, namun apa daya, masyarakat terpaksa harus diam dan pasrah menerima realitas yang terjadi. Lantas di manakah para pejuang demokrasi dan pegiat HAM saat ini? Jawabannya kembali dengan sebuah pertanyaan, siapa yang sanggup menghadapi kekuatan bedil dan kekuatan birokrasi yang terstruktur? jawabannya adalah ajal akan menjemput bagi siapa saja yang berani untuk menghadang.
Kapitalis Semakin Tidak Ada Hambatan Lagi Untuk Untuk Melakukan Eksploitasi Ekonominya Di Aceh Dan Papua. Kekuatan-Kekuatan Pemrotes, Kekuatan-Kekuatan Penghambat Lainnya Mampu Dibungkam Dengan Aliran Dana Untuk Membela Dan Melanggengkan Kepentingan Mereka.
Adanya Akademisi, adanya aktivis HAM dan tokoh-tokoh yang memiliki idealisme juga tidak bisa berbuat banyak terhadap realitas yang terjadi. Ibarat tikus dalam mulut ular, meronta-ronta namun tetap juga tidak berhasil melepaskan diri. Pelanggaran HAM terus berlangsung
selama 10 tahun di Aceh dan 54 tahun di Papua.
Manusia harapkan dan Tuhan Allah Inginkan bukan seperti Manusia saling memangsa atau homo homini lupus itu. Sikap mudah marah, mudah tersinggung, tampaknya akumulasi sikap, perasaan, dan pengalaman yang kompleks yang selama sekian tahun dialami seseorang. Bisa saja, seseorang pada awalnya bersifat tenang ketika mengalami gangguan, tetapi karena perkembangan emosi tadi, dia menjadi seorang yang sangat reaktif. Jika merujuk pada Teori Tabula Rasa nya John Locke, kepribadian atau kemampuan-kemampuan seseorang terbentuk melalui berbagai pengalaman hidup. Boleh jadi, selain pengalaman atau pengetahuan seseorang saat berkendara di perjalanan, film sarat kekerasan, konflik atau kekerasan yang ditayangkan oleh televisi dan berbagai media lainnya pun menjadi faktor pembentukan karakter keras tadi─seperti marah dan mudah tersinggung.
Dari
cerita keseharian ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa betapa lingkungan─
baik lingkungan bermain, lingkungan tempat tinggal, maupun lingkungan
masyarakat─bisa menjadi faktor pembentukan karakter yang tidak menyenangkan
tadi. Disinilah kita sebagai masyarakat, harus mulai pandai dalam memilih
input-an yang baik agar output nya pun baik. Memilih lingkungan pergaulan dan
pendidikan yang baik sebelum gejala-gejala masif tersebut benar-benar menjadi
budaya yang mendarah-daging pada pribadi-pribadi masyarakat. Kecenderungan
buruk seperti kebencian, kemarahan, iri hati dan lain-lain berkembang di dalam
hati manusia karena ia mengabaikan kemanunggalan dan hanya melihat
keaneka-ragaman. Sesungguhnya tidak ada keaneka-ragaman.
Pencerahan
jiwa bertumpu pada kesadaran bahwa semua manusia sesungguhnya adalah refleksi
dari satu sumber yang sama, yaitu TUHAN ALLAH. Semua ciptaan adalah wujud dari
satu sumber mahasuci yang sama. intinya kalau seseorang sudah mencapai tahap
kesadaran seperti Semua ciptaan adalah wujud dari satu sumber mahasuci yang
sama, hatinya sudah bersih sekali. Kepada presiden dan kepada pengemis hina
sama homatnya. Kepada boss di kantor dan kepada petani dikebun sama homatnya.
Kepada Tuhan dan kepada mahluk-mahluk dunia bawah sama hormatnya. Serendah
apapun orang atau mahluk itu, jangan sekali-kali lupa ada Tuhan
didalam-nya…………..
Bahkan alam semesta-pun akan merespon getaran cinta kasih dan pelayanan dari Tuhan Allah. Di mana semuanya (manusia, binatang, tumbuhan, batu, air, awan, langit, matahari, bulan, Gunung, laut dan lain-lain) serba terhubung, di sebuah titik pusat.
Ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris, untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Siapa pun bisa menjadi musuh. Manusia yang satu bisa “memakan” dan mengorbankan manusia lain demi tujuan yang ingin dicapai. “Bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua).
Kebenaran pendapat Hobbes itu masih dapat kita
jumpai dalam situasi kita saat ini. Kita merasakan bahwa situasi persaingan itu
semakin menguat. Yang punya modal kuat bisa bertahan dan bahkan makin mendulang
keuntungan. Sementara yang modalnya kecil kandas di tengah jalan. Situasi
persaingan itu tidak hanya terjadi antar institusi. Persaingan antar individu
pun terjadi. Yang satu punya handphone terbaru, yang lain tak mau kalah.
Kemajuan teknologi memicu orang untuk berlomba-lomba mengikutinya, karena takut
dicela “ketinggalan jaman”
Situasi
demikian juga terjadi pada jaman Yesus. Para murid yang merasa diri sebagai
kelompok dekat Yesus (orang “dalam”) seorang yang bukan murid Yesus mengusir
setan (orang “luar”) Lihat Injil markus Pasal 9 ayat 41.
Murid
Yesus merasa tersaingi, Yesus justru mengajak murid-NYA untuk membuka diri terhadap orang-orang
“luar” dan mencoba melihat sesuatu yang baik dari mereka. Dalam hidup
menggereja pun “karya pelayanan” situasi persaingan bisa saja terjadi. Mungkin
ada yang tidak senang kalau orang lain bisa melakukan ini itu, kalau
program-programnya bisa berjalan dengan sukses. Daripada melihat mereka sebagai
saingan, marilah kita belajar untuk melihat kebaikan yang ada dalam diri
mereka. Kita kembangkan situasi orang lain adalah teman/mitra. Keberhasilan
orang lain mestinya justru mendorong kita untuk berusaha menjadi lebih baik
lagi.
Tujuan utama adalah mencipatakan suatu sistem yang saling memahami, saling barbagai, sama rasa, sama harta, semua orang hidup bahagia di bumi dan diakhirat..
Tujuan utama adalah mencipatakan suatu sistem yang saling memahami, saling barbagai, sama rasa, sama harta, semua orang hidup bahagia di bumi dan diakhirat..
** Tulisan ini diambil dari berbagai sumber **