Sekian Lama Bungkam untuk Papua, Masyarakat Pasifik Minta Maaf



Jayapura, Jubi – Pada tahun 1965, sedianya pertemuan konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam dilakukan di Hollandia (sekarang Jayapura). Saksi bisunya masih ada. Pemerintah Belanda membangun Gedung DPRD Papua untuk pelaksanaan Konferensi Pasifik Selatan ini. Namun pelaksanaan Konferensi SPC ini tidak terwujud. Papua Barat saat itu berada dalam status sengketa dan menunggu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sejak saat itulah, hubungan antara Papua dan negara-negara Pasifik seakan putus.
Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) - Jubi


“Sejak tahun 70 an, hubungan Papua dengan Pasifik putus. Sejak itulah kami tidak tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Padahal, Papua Barat sebelumnya adalah bagian dari Komisi Pasifik Selatan,” kata Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) kepada Jubi, Senin (7/9/2015).

Emele menambahkan, sejak media sosial hadir, masyarakat sipil di Pasifik mendapatkan akses untuk tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Media sosial, memberikan informasi tentang kekerasan di Papua Barat, selain pembangunan yang terjadi selama hubungan antara Papua Barat dengan Pasifik terputus.

“Media mainstream dan media sosial, memungkinkan kami mendapatkan informasi langsung dari Papua Barat tentang kekejaman pelanggaran HAM, sehingga kami bisa mengkonfirmasinya. Karena itulah kami bisa mendesak misi pencari fakta atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia,” kata Emele.


Sejak konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam gagal dilakukan di Jayapura, Papua Barat memang tak memiliki akses dengan Pasifik. Hubungan dengan Pasifik dalam segala lini putus dan beralih ke Jakarta. Demikian juga sebaliknya, negara-negara Pasifik seakan tak memiliki sejarah dengan Papua Barat. Sama halnya dengan masyarakat sipil di Pasifik. Segala peristiwa yang terjadi di Papua Barat, luput dari perhatian mereka. Kekerasan, pembunuhan, perampasan tanah, hingga “pembunuhan” budaya orang asli Papua, melintas begitu saja di atas Pasifik. Mereka bungkam.
Namun lima tahun terakhir, solidaritas Pasifik untuk Papua muncul. Seperti dikatakan Emele, solidaritas ini muncul seiring eksisnya media sosial di Pasifik sebagaimana di belahan dunia lain.
“Pasifik tidak bisa diam lagi. Terutama masyarakat sipilnya. Masyarakat sipil di pasifik berkewajiban membuat pemerintah mereka peduli pada apa yang terjadi di Papua Barat,” kata Emele.


Masyarakat Sipil di Pasifik, lanjut Emele, sepakat untuk mendesak pemimpin negara-negara Pasifik yang akan bertemu minggu ini dalam Pasific Islands Forum (PIF) di Port Moresby untuk membicarakan masalah Papua Barat, selain perubahan iklim.
“Dua hal yang kami dorong untuk pemimpin-pemimpin di Pasifik, perubahan iklim dan dugaan pelanggran HAM di Papua Barat,” ujar Emele.


Perempuan Fiji ini juga mengatakan masyarakat sipil di Pasifik meminta maaf karena telah bungkam sekian lama atas penderitaan saudara-saudara mereka di Papua Barat.
“Dalam pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations di Port Moresby 1-3 September lalu, kami telah menyampaikan pada publik permintaan maaf kepada rakyat Papua Barat atas ketidakpedulian kami dan sekian lamanya kami bungkam, tidak bereaksi atas penderitaan saudara-saudara kami di Papua Barat,” jelas Emele.

Ia menambahkan, dua rekomendasi dari pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations ini akan disampaikan dalam Civil Society Organisation Regional Forum di Port Moresby, yang dimulai hari Senin (7/9/2015) .

Perempuan Pemimpin Masyarakat Sipil Pasifik lainnya, Pefi Kingi QSM yang mewakili Pacificwin-Vagahau Niue Trust, mengatakan masyarakat sipil di Pasifik sepakat untuk mendesak negara-negara Pasifik yang hadir dalam PIF untuk mengirimkan misi pencari fakta ke Papua Barat yang terdiri dari delegasi PIF, masyarakat sipil dan pemimpin gereja. Pertemuan masyarakat sipil se Pasifik ini juga sepakat untuk mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB sebagai langkah penting untuk kemerdekaan Papua Barat.
“Kami kembali mengingatkan kepada para pemimpin negara-negara Pasifik, Pasifik belum bebas sampai Papua Barat merdeka,” ujar perempuan Maori ini.

Terpisah, Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor mengatakan suara masyarakat sipil menjadi prioritas utama dari sekretariat Forum Kepulauan Pasifik (PIFs). Suara masyarakat sipil, kata Meg taylor, sangat penting dalam mengembangkan kebijakan daerah, terutama informasi untuk para pemimpin negara-negara anggota PIF.

“Saya seorang pendukung utama masyarakat sipil, dan saya percaya bahwa masyarakat sipil yang kuat dan bersemangat sangat penting untuk wilayah kita,” ujar Meg Taylor saat membuka forum regional Organisai Masyarakat Sipil Pasifik di Port Moresby, Senin (7/9/2015).
Meg Taylor yakin, forum ini sangat penting karena menyediakan ruang bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan tentang beberapa isu kunci yang akan disampaikan pada forum pemimpin Kepulauan Pasifik. (Victor Mambor)

Sumber : www.tabloidjubi.com