Benteng Terbuka Papua
Oleh: I Ngurah Suryawan*
Jika memungkinkan untuk membentengi Papua dari eksploitasi sumber daya
alam, hal itu mungkin pertama kali yang akan dilakukan oleh para pemuka
adat, kepala suku, tokoh agama, pemerintah, dan dewan adat Papua adalah
memproteksi kekayaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat Papua
secara keseluruhan. Yang utama dan terutama adalah rakyat Papua di
kampung-kampung yang merasakan langsung bagaimana perusahaan—begitu
masyarakat di kampung biasa menyebut datangnya investasi—menghabisi
hutan mereka dan mengangkut kayu-kayu ke daerah lain.
Namun langkah itu meski belum terlambat untuk dilakukan tapi semakin
menyulitkan seiring massifnya laju investasi dan ketidaksiapan
masyarakat untuk bernegosiasi dalam menjaga kawasan situs-situs
kebudayaan dan sumber hidup mereka. Ketidakseimbangan kekuatan ini
diperparah dengan fragmentasi (keterpecahan) yang dirancang secara sadar
ataupun tidak sadar oleh kuasa investasi global di tengah masyarakat.
Jika ingin membuat sesuatu yang melindungi kekayaan sumber daya alam,
kelompok-kelompok masyarakat yang peduli terhadap Papua mungkin
menginginkan membuat benteng yang melindungi kekayaan Papua tersebut.
Benteng tersebut kurang lebih akan menjaga agar kekayaan alam Papua
sebagian besar dinikmati oleh rakyat Papua dan dipergunakan secara pasti
untuk kesejahteraan mereka dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan
dan kebutuhan primer lainnya. Namun apadaya hal itu tidak mungkin untuk
dilakukan karena posisi Papua yang strategis dan keterhubungannya dengan
dunia luar. Maka perlahan namun pasti ketimpangan pengelolaan (baca:
eksploitasi) kekayaan alam Papua akan menjadi kenyataan, dimana rakyat
tempatan yang menjadi “pemilik” kekayaan tersebut justru terpuruk dan
miskin di tanahnya sendiri. Investasi dan globalisasi yang adalah
jaringan yang mengeruk kekayaan tersebut.
Investasi global yang mengurung Tanah Papua disetiap jengkal adalah
sebagian kecil saja dari elemen yang sering disebut globalisasi yang
mengungkung seluruh dunia hari ini.
Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai peningkatan arus
perdagangan, keuangan, kebudayaan, gagasan dan manusia sebagai akibat
dari tekonologi canggih di bidang komunikasi, perjalanan dan persebaran
kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia, dan juga adaptasi lokal
dan regional serta perlawanan terhadap arus-arus itu. Secara sederhana
globalisasi mengacu kepada perubahan secara dramatik makna ruang atau
teritori yang bergeser akselerasinya kepada struktur temporal
bentuk-bentuk penting aktivitas manusia.
Globalisasi salah satu cirinya yang penting adalah terjadinya pengaburan
batas-batas lokal bahkan nasional dalam banyak arena kegiatan manusia.
Globalisasi dengan demikian mengacu pada bentuk-bentuk aktivitas sosial
non-teritorial. Lebih dari itu, globalisasi terkait dengan pertumbuhan
interkoneksi sosial melintasi batas-batas geografi dan politik atau
deteritorialisasi.
Globalisasi itu juga terkait dengan pertumbuhan interkoneksi sosial
melintasi batas-batas geografi dan politik atau deteriteorialisasi.
Tahap yang paling menentukan dalam globalisasi adalah ketika
peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan yang jauh juga mempengaruhi
prakarsa-prakarsa lokal dan regional (Lewellen, 2002).
Dengan demikian adanya investasi tambang atau timah di Papua diatur oleh
perusahaan pusatnya yang berbasis di Amerika atau Inggris misalnya.
Melalui koneksi dan kongsi dengan pemerintah pusat dan daerah di suatu
negara untuk memperoleh izin, titik-titik eksplorasi kemudian ditentukan
dan berlangsunglah rangkaian panjang pengerukan kekayaan alam untuk
diperdagangkan Tidak ada lagi sekat-sekat ruang dan waktu yang
menghambat globalisasi untuk menguasai dunia.
Contoh yang paling sering digunakan adalah globalisasi Coca Cola yang
mengusasi hampir seluruh dunia hingga pelosok kampung-kampung.
Kekuatan-kekuatan global yang berada entah dimana bisa mempengaruhi
reproduksi kebudayaan dan nilai-nilai yang terjadi di tingkat lokal
sekalipun. Misalkan saja akibat eksplorasi gas, beberapa kampung harus
dipindahkan karena berada di kawasan eksplorasi. Kelompok masyarakat
yang hidup dan mereproduksi kebudayaannya setelah sekian lama menjadi
tidak mempunyai hak dan mendaku tanah dan kebudayaannya. Mereka harus
berpindah ke lokasi lain dengan lingkungan yang sudah pasti memerlukan
adaptasi. Pada momen inilah perubahan kebudayaan berlangsung akibat
arogansi investasi yang memutus relasi masyarakat setempat dengan tanah,
lingkungan, dan kebudayaannya.
Oleh sebab itulah benteng yang dimimpikan untuk memproteksi sumber daya
alam Papua harus betul-betul dipikirkan melalui berbagai cara dan aspek
untuk menandingi kisah-kisah sukses yang ditawarkan oleh investasi dan
globalisasi ini.
Benteng proteksi itu misalnya bisa dipraktikkan dengan memperkuat
kapasitas dan kecakapan kepala kampung atau kepala suku/adat untuk
bernegosiasi dengan investor yang masuk ke wilayah kampung mereka. Hal
ini hanya untuk memastikan bahwa masyarakat tara dapat tipu dari
investor dan memastikan bahwa kepentingan dan kesejahteraan masyarakat
adalah di atas segala-galanya.
Begitu banyak investasi yang masuk di Tanah Papua ini. Pengalaman saya
dalam sebuah perjalanan penelitian lapangan di Kabupaten Teluk Bintuni
di Provinsi Papua Barat Mei 2011 menggambarkan bagaimana fragmen
masyarakat di kampung-kampung menghadapi properti-properti dari
perusahaan yang mengeruk kekayaan alam mereka.
Properti yang dimaksud adalah segala macam peralatan, tingkah polah, dan
elemen-elemen yang mencitrakan bagaimana investasi menjadi dominan
menyingkirkan property-properti lama masyarakat tempatan seperti hutan
sagu, laut tempat mencari ikan, dan hutan tempat segala sumber kehidupan
tersedia. Speedboat siap mengantarkan para pekerja untuk menghuni
barak-barak dan siap memulai aktivitas eksplorasi. Begitu juga alat-alat
berat di kawasan eksplorasi yang tiada henti menderu-deru mesinnya
memecah keheningan kampong.
Di kabupaten inilah berdiri perusahaan BP (British Petrolium) Indonesia
yang melakukan eksplorasi gas dengan nama proyeknya, Kilangan LNG
Tangguh. Dengan jenis produksi sumber daya alam, gas alam cair/LNG.
Lokasi aktivitasnya berada di Kawasan Teluk Bintuni yang meliputi
wilayah administratif empat (4) distrik yaitu Babo, Bintuni, Aranday dan
Merdey. Masuknya perusahaan BP sebagai MNC (Multinational Corporation)
terbesar kedua setelah PT. FI (Freeport Indonesia) di Kabupaten Mimika,
Provinsi Papua, mengundang berbagai bentuk program-program
“pemberdayaan” terhadap masyarakat tempatan. Berbagai proyek untuk
menunjukkan kepedulian sosial perusahaan MNC inipun menggelinding mulus
untuk masyarakat lokal.
Posisi masyarakat tempatan langsung bertemu dengan kekuatan ekonomi
global. Berbagai perubahan sosial pun terjadi begitu cepat.
Relasi-relasi baku tipu ekonomi politik yang “mengalahkan” masyarakat
tempatan menjadi cerita yang begitu biasa diungkapkan. Kisah-kisah
keterbelakangan yang bertemu dengan simbol modernitas bernama industri
kapitalisme internasional bagai kisah ironis yang menyesakkan dada.
Puncak-puncak kemewahan yang ditunjukkan perusahaan MNC berhadapan
dengan kondisi masyarakat tempatan, yang sebenarnya mempunyai hak di
atas tanah mereka.
Gedung-gedung bertingkat dengan fasilitas mewah berdampingan dengan
rumah-rumah papan sederhana masyarakat lokal.
Pada relasi-relasi itulah yang terjadi bukan hanya penjajahan dalam
bentuk penetrasi eknomi global, tapi lebih dalam kepada penjajahan
secara produktif dalam cara berpikir yang dilakukan industri ekonomi
global yang menggandeng pemerintah daerah dalam melakukan intervensinya.
Penjajahan itu dilakukan melalui serangkaian teori dan pendekatan
politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan dengan massif dalam
kerangkan “pembangunan masyarakat tertinggal”.
Pelajaran yang dapat dipetik dari penetrasi globalisasi di Papua maupun
di daerah lain di Indonesia adalah kisah suksesnya untuk memproduksi
kesejahteraan terlalu dekat dengan kegagalannya meredistribusi
kesejahteraan nyata bagi rakyatnya.
Globalisasi dengan demikian merupakan momen-momen perubahan yang penuh
friksi yang kreatif tak terduga dan dapat memporakporandakan lingkungan
alam dan bahkan warisan sosial budaya (Laksono, 2010). Mimpi suksesnya
globalisasi mengacu kepada negara-negara lain yang sudah pasti tidak
seragam kondisinya dengan Papua. Kisah sukses dan “mimpi kesejahteraan”
itulah yang kemudian dibawa ke lokasi-lokasi eksploitasi sumber daya
alam di negara-negara lain untuk diadopsi. Resistensi tidak terhindarkan
ketika perubahan kehidupan terjadi dalam masyarakat. Ada yang menikmati
dan tersingkir oleh globalisasi. Dengan demikian globalisasi juga
mengobarkan perlawanan, dibenci tapi dirindukan setengah mati oleh
masyarakat.
Oleh karena itulah perlu dipikirkan benteng yang betul-betul memproteksi
sumber daya alam di Tanah Papua dari semua elemen masyarakat dimanapu
posisi dan kedudukannya.
Kesadaran akan pentingnya benteng—apapun itu bentuknya—harus ditanamkan
terlebih dahulu di semua kalangan di Papua, agar jangan di kemudian
hari saling baku tipu di tengah masyarakat Papua karena tergiur
kemewahan uang. Tokoh adat, agama, suku, budaya, dan pemerintah harus
duduk memikirkan hal ini. Setiap kalangan bisa melakukan praktik sesuai
dengan kapasitasnya. Pejabat membuat regulasi (peraturan), tokoh adat
yang menjaga wilayah adat dan tanah ulayatnya, tokoh suku mengingatkan
warganya untuk lebih bermartabat dengan tidak menjual tanah, dan tokoh
agama menyejukkan umatnya dengan bekerja keras dan berlandaskan kasih
dalam perjuangan hidup.
Staf Pendidik/Dosen Jurusan Antropologi UNIPA Manokwari, Papua Barat
Sumber: http://Suarapapua.com