OCTHO- Tuntutan
rakyat Papua untuk memisahkann diri dari NKRI semakin nampak. Yang menjadi
pertanyaan, kenapa orang Papua menuntut memisahkan diri, padahal dana Otsus
sekian banyak bergulir ke Papua tiap tahunnya. Bukankah Otsus sudah
“memerdekakan” orang Papua?
Dewan Adat Papua (DAP) bersama rakyat Papua pada tanggal 12 Agustus tahun 2005 pernah mengembalikan UU Otsus kepada pemerintah pusat melalui DPR Papua. Mereka berjalan sejauh 12KM dari Abepura sampai ke Jayapura dengan kekuataan massa 10.000 orang. Mereka kecewa, karena UU Otsus tidak member manfaat apa-apa.
Beberapa tahun kemudian tutuntan itu semakin nampak, bahkan lebih radikal lagi, dimana lembaga yang di bentuk negara juga ikut bersuara. Pada tanggal 28 Juni 2010 lalu massa Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FORDEM) bersama rakyat Papua berjalan sejauh 12 KM dari Abepura ke Jayapura, tepatnya di kantor DPR Papua, mereka mengembalikan Otsus karena gagal, dan dan memilih opsi referendum sebagai solusi.
Apa yang salah dari UU Otonomi Khusus? Dan kenapa rakyat Papua minta referendum? Di bawah ini saya menuliskannya.
Merasa Bukan Bagian Dari NKRI
Rakyat Papua merasa mereka bukan bagian dari NKRI. Banyak perbedaan yang sangat nampak antara mereka dengan orang non-Papua. Perbedaan itu juga paling nampak dari segi sosial dan budaya rakyat Papua dengan orang non-Papua.
Mereka sadar, perbedaan itu tidak mungkin di satukan dengan bangsa lainnya di manapun, termasuk bangsa Indonesia. Mulai dari cara hidup mereka yang berbeda sampai pada kebiasaan hidup yang berbeda pula. Perbedaan warna kulit dan rambut juga menjadi pertimbangan. Mereka beranggapan bahwa mereka ras Melanesia yang tentunya sangat berbeda dengan ras melayu.
Selain itu, orang Papua juga merasa tidak pernah di libatkan dalam pembangunan. Kehadiran UU Otsus bukan justru memberikan kesempatan kepada rakyat Papua mengembangkan dirinya, namun lebih memberikan kesempatan kepara orang non-Papua untuk berkarya. Sudah tentu rakyat Papua akan semakin terpuruk, dan orang non-Papua yang akan maju dan berkembang.
Diperlakukan Tidak Adil dan Diskriminatif
Banyak kebijakan pemerintah pusat yang dinilai tidak adil dan diskriminatif terhadap rakyat Papua. Pemerintah lebih mementingkan ekonom dari luar Papua dari pada orang asli Papua sendiri. Bukan menyangkut bidang ekonomi saja, beberapa bidang juga demikian. Mereka merasa diperlakukan sangat tidak adil dan penuh diskriminatif. Padahal UU Otsus telah berbicara banyak tentang sistem permberdayaan masyarakat lokal.
Contohnya lagi, kebijakan pembangunan transmigrasi yang menganaktirikan penduduk lokal. Kebutuhan para transmigran yang akan menempati sebuah tempat di sediakaan dengan baik, lahan di sediakaan juga, tapi bagaimana dengan nasib penduduk lokal, apakah pemerintah memperhatikan mereka juga?
Kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan investor swasta dan asing yang lebih mempunyai banyak modal juga sering kali menjadi masalah. Padahal investor asing tak begitu paham dengan sifat, karakter dan cara hidup masyarakat setempat.
Tidak Pernah Menikmati Sumber Kekayaam Alam
Banyak investor asing yang tertarik menanamkan investasinya di Papua. Mereka tahu, kalau Papua adalah daerah yang memilki banyak kekayaan alam. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah ikut mendukung upaya itu.
Misallkan, PT Freeport Indonesia adalah salah satu perusahan Multinasional pertama yang menanamkan investasinya di bumi Amungsa, Papua. Mereka telah beroperasi sejak tahun 1967, dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diberlangsungkan. Berarti sudah hampir 35 Tahun mereka di tanah Papua.
Selain PT Freeport Indonesia, adalagi Briths Petroleum (BPT) perusahaan yang menambang gas di Teluk Bintuni, Papua. Keduaanya menjadi icon perusahaan asing yang lainnya di tanah Papua. BTP juga sama, telah lama hadir di bumi cenderawasih, namun manfaat apa yang mereka berikan menjadi pertanyaan?
Perusahaan asing yang ada di Papua lebih mementingkan kepentingan bisnis mereka dari pada memperhatikan hak-hak adat masyarakat setempat. Bahkan suku Amugme yang konon di beri janji macam-macam oleh petinggi PT Freeport Indonesis saat akan beroperasi saat ini hidup sangat terpuruk. Orang Papua tidak menikmati hasil kekayaan alamnya sendiri.
Selalu Ditindas dan Dibunuh
Orang Papua selalu ditindas dan dibunuh atas nama pembangunan diatas tanah mereka. Perebutan lahan antara pemerintah dengan masyarakat, investor dengan masyarakat paling sering terjadi dan menelan korban jiwa dari masyarakat sipil yang begitu banyak.
Tumpukan pelanggaran HAM sejak Papua integrasi ke dalam NKRI juga belum pernah di selesaikan. Misalkan, kasus Wamena dan Wasior berdarah yang menelan korban jiwa sangat banyak juga tidak pernah di selesaikan hingga saat ini. Masih menjadi pertanyaan, apakah pelaku-pelaku tersebut kebal terhadap hukum atau justru hukum yang takut untuk menyentuh mereka?
Kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay, tokoh adat sekaligus tokoh politik orang Papua di tahun 2001 juga belum pernah di selesaikan hingga saat ini. Rakyat Papua hanya butuh keadilaan dari pemerintah Indonesia. Kenapa yang mencuri ayam satu ekor saja bisa di sentuh oleh hukum, namun para pembunuh tak bisa tersentuh oleh hukum?
Tidak Menerima Pelaksaanaan PEPERA
Penentuaan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua adalah sebuah rekayasa yang di lakukan Amerika Serikat, Indonesia, Belanda dan PBB. USA memilki kepentingan dari segi ekonomi, yakni; untuk menanamkan investasinya di tanah Papua.
Menjadi pertanyaan, kenapa PT Freepornt Indonesia di ijinkan beroperasi di Papua pada tahun 1967 padahal PEPERA baru akan di laksanakan pada tahun 1969. Jadi PT Freepornt Indonesia hadir di Papua dua tahun sebelum Papua integrasi ke dalam NKRI.
Pelaksanaan PEPERA juga tidak demokrasi dan melanggar hukum internasional karena rakyat Papua tidak di libatkan secara penuh untuk menentukan hak-hak mereka. Saat itu pemerintah Indonesia memilih 1025 orang dan beberapa orang dari luar Papua untuk menentukan pilihan. Saat itu meraka berada di bawah ancaman dan todongan Militer Indonesia.
Sejarahwan belanda Prof Drooglever dalam bukunya “Een Daad van Vrije Keuz : De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht” telah menguraikan panjang lebar tentang kegagalan pelaksanaan PEPERA di tanah Papua secara baik dan benar. Jadi sampai saat ini orang Papua tidak pernah menyetujui integrasinya Papua ke dalam NKRI.
Pemerintah Perlu Membuka Diri
Tuntutan untuk memisahkan diri akan terus nampak ke permukaan. Pemerintah Indonesia perlu segera membenahi diri, agar tuntutan ini juga tidak berdampak luas kepada dunia Internasional.
Mungkin kita masih ingat, bagaimana pada tahun 2005 lalu 37 anggota Kongres Amerika yang menyurati langsung presiden Indonesia perihal memohon pembebasan kedua tahanan politik di Papua; keduanya adalah Filep Karma dan Yusak Pakage.
Amerika Serikat dan Dunia internasional betul-betul akan respon pada setiap persoalan di Papua. Saat kedatangan Eni Faleomavaega ke Indonesia dan Papua, beliau menyatakan bahwa mendukung UU Otsus di Papua, tapi bagaimana jika masyarakat Papua sudah menolak dan mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat?
Jawaban apa yang akan pemerintah berikan kepada anggota Kongres Amerika atau dunia internasional menyangkut kegagalan Otsus di tanah Papua? Sedia payung sebelum hujan itu penting. Pemerintah perlu membuka diri dan menerima apa yang menjadi keinginan rakyat Papua, sebelum tiba bom waktu itu.
Sumber gambar Google
Dewan Adat Papua (DAP) bersama rakyat Papua pada tanggal 12 Agustus tahun 2005 pernah mengembalikan UU Otsus kepada pemerintah pusat melalui DPR Papua. Mereka berjalan sejauh 12KM dari Abepura sampai ke Jayapura dengan kekuataan massa 10.000 orang. Mereka kecewa, karena UU Otsus tidak member manfaat apa-apa.
Beberapa tahun kemudian tutuntan itu semakin nampak, bahkan lebih radikal lagi, dimana lembaga yang di bentuk negara juga ikut bersuara. Pada tanggal 28 Juni 2010 lalu massa Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FORDEM) bersama rakyat Papua berjalan sejauh 12 KM dari Abepura ke Jayapura, tepatnya di kantor DPR Papua, mereka mengembalikan Otsus karena gagal, dan dan memilih opsi referendum sebagai solusi.
Apa yang salah dari UU Otonomi Khusus? Dan kenapa rakyat Papua minta referendum? Di bawah ini saya menuliskannya.
Merasa Bukan Bagian Dari NKRI
Rakyat Papua merasa mereka bukan bagian dari NKRI. Banyak perbedaan yang sangat nampak antara mereka dengan orang non-Papua. Perbedaan itu juga paling nampak dari segi sosial dan budaya rakyat Papua dengan orang non-Papua.
Mereka sadar, perbedaan itu tidak mungkin di satukan dengan bangsa lainnya di manapun, termasuk bangsa Indonesia. Mulai dari cara hidup mereka yang berbeda sampai pada kebiasaan hidup yang berbeda pula. Perbedaan warna kulit dan rambut juga menjadi pertimbangan. Mereka beranggapan bahwa mereka ras Melanesia yang tentunya sangat berbeda dengan ras melayu.
Selain itu, orang Papua juga merasa tidak pernah di libatkan dalam pembangunan. Kehadiran UU Otsus bukan justru memberikan kesempatan kepada rakyat Papua mengembangkan dirinya, namun lebih memberikan kesempatan kepara orang non-Papua untuk berkarya. Sudah tentu rakyat Papua akan semakin terpuruk, dan orang non-Papua yang akan maju dan berkembang.
Diperlakukan Tidak Adil dan Diskriminatif
Banyak kebijakan pemerintah pusat yang dinilai tidak adil dan diskriminatif terhadap rakyat Papua. Pemerintah lebih mementingkan ekonom dari luar Papua dari pada orang asli Papua sendiri. Bukan menyangkut bidang ekonomi saja, beberapa bidang juga demikian. Mereka merasa diperlakukan sangat tidak adil dan penuh diskriminatif. Padahal UU Otsus telah berbicara banyak tentang sistem permberdayaan masyarakat lokal.
Contohnya lagi, kebijakan pembangunan transmigrasi yang menganaktirikan penduduk lokal. Kebutuhan para transmigran yang akan menempati sebuah tempat di sediakaan dengan baik, lahan di sediakaan juga, tapi bagaimana dengan nasib penduduk lokal, apakah pemerintah memperhatikan mereka juga?
Kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan investor swasta dan asing yang lebih mempunyai banyak modal juga sering kali menjadi masalah. Padahal investor asing tak begitu paham dengan sifat, karakter dan cara hidup masyarakat setempat.
Tidak Pernah Menikmati Sumber Kekayaam Alam
Banyak investor asing yang tertarik menanamkan investasinya di Papua. Mereka tahu, kalau Papua adalah daerah yang memilki banyak kekayaan alam. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah ikut mendukung upaya itu.
Misallkan, PT Freeport Indonesia adalah salah satu perusahan Multinasional pertama yang menanamkan investasinya di bumi Amungsa, Papua. Mereka telah beroperasi sejak tahun 1967, dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diberlangsungkan. Berarti sudah hampir 35 Tahun mereka di tanah Papua.
Selain PT Freeport Indonesia, adalagi Briths Petroleum (BPT) perusahaan yang menambang gas di Teluk Bintuni, Papua. Keduaanya menjadi icon perusahaan asing yang lainnya di tanah Papua. BTP juga sama, telah lama hadir di bumi cenderawasih, namun manfaat apa yang mereka berikan menjadi pertanyaan?
Perusahaan asing yang ada di Papua lebih mementingkan kepentingan bisnis mereka dari pada memperhatikan hak-hak adat masyarakat setempat. Bahkan suku Amugme yang konon di beri janji macam-macam oleh petinggi PT Freeport Indonesis saat akan beroperasi saat ini hidup sangat terpuruk. Orang Papua tidak menikmati hasil kekayaan alamnya sendiri.
Selalu Ditindas dan Dibunuh
Orang Papua selalu ditindas dan dibunuh atas nama pembangunan diatas tanah mereka. Perebutan lahan antara pemerintah dengan masyarakat, investor dengan masyarakat paling sering terjadi dan menelan korban jiwa dari masyarakat sipil yang begitu banyak.
Tumpukan pelanggaran HAM sejak Papua integrasi ke dalam NKRI juga belum pernah di selesaikan. Misalkan, kasus Wamena dan Wasior berdarah yang menelan korban jiwa sangat banyak juga tidak pernah di selesaikan hingga saat ini. Masih menjadi pertanyaan, apakah pelaku-pelaku tersebut kebal terhadap hukum atau justru hukum yang takut untuk menyentuh mereka?
Kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay, tokoh adat sekaligus tokoh politik orang Papua di tahun 2001 juga belum pernah di selesaikan hingga saat ini. Rakyat Papua hanya butuh keadilaan dari pemerintah Indonesia. Kenapa yang mencuri ayam satu ekor saja bisa di sentuh oleh hukum, namun para pembunuh tak bisa tersentuh oleh hukum?
Tidak Menerima Pelaksaanaan PEPERA
Penentuaan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua adalah sebuah rekayasa yang di lakukan Amerika Serikat, Indonesia, Belanda dan PBB. USA memilki kepentingan dari segi ekonomi, yakni; untuk menanamkan investasinya di tanah Papua.
Menjadi pertanyaan, kenapa PT Freepornt Indonesia di ijinkan beroperasi di Papua pada tahun 1967 padahal PEPERA baru akan di laksanakan pada tahun 1969. Jadi PT Freepornt Indonesia hadir di Papua dua tahun sebelum Papua integrasi ke dalam NKRI.
Pelaksanaan PEPERA juga tidak demokrasi dan melanggar hukum internasional karena rakyat Papua tidak di libatkan secara penuh untuk menentukan hak-hak mereka. Saat itu pemerintah Indonesia memilih 1025 orang dan beberapa orang dari luar Papua untuk menentukan pilihan. Saat itu meraka berada di bawah ancaman dan todongan Militer Indonesia.
Sejarahwan belanda Prof Drooglever dalam bukunya “Een Daad van Vrije Keuz : De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht” telah menguraikan panjang lebar tentang kegagalan pelaksanaan PEPERA di tanah Papua secara baik dan benar. Jadi sampai saat ini orang Papua tidak pernah menyetujui integrasinya Papua ke dalam NKRI.
Pemerintah Perlu Membuka Diri
Tuntutan untuk memisahkan diri akan terus nampak ke permukaan. Pemerintah Indonesia perlu segera membenahi diri, agar tuntutan ini juga tidak berdampak luas kepada dunia Internasional.
Mungkin kita masih ingat, bagaimana pada tahun 2005 lalu 37 anggota Kongres Amerika yang menyurati langsung presiden Indonesia perihal memohon pembebasan kedua tahanan politik di Papua; keduanya adalah Filep Karma dan Yusak Pakage.
Amerika Serikat dan Dunia internasional betul-betul akan respon pada setiap persoalan di Papua. Saat kedatangan Eni Faleomavaega ke Indonesia dan Papua, beliau menyatakan bahwa mendukung UU Otsus di Papua, tapi bagaimana jika masyarakat Papua sudah menolak dan mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat?
Jawaban apa yang akan pemerintah berikan kepada anggota Kongres Amerika atau dunia internasional menyangkut kegagalan Otsus di tanah Papua? Sedia payung sebelum hujan itu penting. Pemerintah perlu membuka diri dan menerima apa yang menjadi keinginan rakyat Papua, sebelum tiba bom waktu itu.
Sumber gambar Google