OCTHO- Kurang lebih 9 tahun lamanya pedagang asli
Papua, LSM dan pihak gereja yang tergabung dalam Solidaritas Pedagang Asli Papua
(SOLPAP) berjuang untuk mendapatkan fasilitas pasar. Tuntutannya hanya satu,
pemerintah segera realisasikan pembangunan pasar dan fasilitasnya bagi pedagang
asli Papua. Tuntutan dalam bentuk demo ini pernah mereka layangkan ke Majelis
Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakila Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jayapura, Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan terakhir sampai juga ke Kantor Gubernur
Provinsi Papua, Gedung Negara, di Dok II Jayapura.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua telah hadir cukup lama, namun wajah dan roh dari pada UU ini sama sekali tidak menyentuh pedagang asli Papua. Amanat Otsus berbicara banyak tentang pemberdayaan orang asli Papua di atas tanah leluhur mereka sendiri, namun apa kata, sampai saat ini hal itu tidak pernah di jalankan oleh pemerintah.
Pemerintah selama ini beranggapan bahwa tuntutan pedagang asli Papua untuk mendapatkan fasilitas pasar adalah tuntutan yang biasa-biasa saja, padahal tidak, ini sebuah tuntutan yang lahir dari sanubari hati, dimana ingin menunjukan bahwa pedagang asli Papua mampu dan dapat bersaing secara sehat dengan para pedagang non-Papua.
Sebuah kenyataan yang menggenaskan, saat ini semua sektor perekonomian dan pasar di kuasai oleh penduduk non-Papua. Kehadiran mereka telah menyingkirkan penduduk asli secara tidak langsung, di tambah lagi dengan kepercayaan pemerintah daerah maupun provinsi yang berlebihan pada mereka. Pedagang asli Papua di buat betul-betul tidak berdaya. Menjadi pertanyaan, inikah wajah Otonomi Khusus yang sebenarnya?
Harus kita akui, ketika melihat ekonomi pasar di kuasi oleh penduduk non-Papua, sebenarnya kesalahan utama terletak pada pemerintah daerah maupun provinsi yang tidak pernah “berani” mempercayakan pedagang asli Papua untuk maju, mandiri serta bersaing secara sehat dengan pedagang non-Papua. Pejabat birokrasi yang berhubungan langsung dengan pemberdayaan ekonomi lebih pintar membual dari pada menepati janjinya.
Mengapa pembangunan pasar dan fasilitas yang lebih baik perlu untuk pedagang asli Papua, sudah tentu semua untuk mengakomodir kepentingan pedagang asli Papua yang selama ini terpinggirkan di atas tanah leluhur mereka. Banyak di antara mereka yang telah menjadi korban, beberepa di antara telah meninggal dunia, mereka seperti; Ibu Ice Kayame, Maria Yogi, Ibu Numberi dan masih ada beberap lagi yang belum kami data secara jelas. Identitas dari pada rakyat Papua harus ada, sehingga sudah tentu konsep dan pembangunan pasar harus mengarah kepada identitas orang asli Papua itu sendiri.
Konsep dan jenis pasar yang telah di usulkan sendiri harus ada 5 lantai. Lantai 1-2 untuk menjual berbagai bahan makanan yang berjenis basah, seperti; lauk pauk, sayur mayur, buah-buah, singkong, ubi, keladi, dll. Sedangkan lantai 3-4 untuk tempat menjual berbagai aksesoris, benda-benda antic, seni budaya, seni ukir, baju batik dan kerajianan tangan ala Papua, dan lantai yang terakhir adalah untuk sebuah kantor, ruang koperasi, serta tempat pendidikan untuk anak-anak usia dini.
Pemerintah memunyai hak, memunyai kewenangan, serta memunyai kapasitas tertinggi untuk kemajuan ekonomi di Papua, amanat Otsus memberi jaminan soal itu. Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah pusat masih berwenang, itu tidak-lah benar. Selama ini pemerintah tidur soal pekerjaan mulia ini, pekerjaan memberdayakan ekonom atau pedagang asli Papua sendiri.
Yang menjadi pertanyaan saat ini, kemana orang-orang Papua yang pintar, pandai serta bergelar tinggi-tinggi, yang katanya mempunyai konsep yang bagus untuk pembangunan dan pemberdayaan rakyat Papua? Bukankah banyak dari antara mereka yang telah “terselip” masuk di struktur pemerintahan (birokrasi). Jangan sampai, ada imits dari masyarakat luas, bahwa segala “kelebihan” itu di pakai untuk membual, berbohong untuk korupsi, menjarah, bahkan sampai merampok uang rakyat kecil.
Pemerintah harus insaf dan memberikan perhatian yang penting terhadap tuntutan ini, tuntutan ini lahir dari tangisan, kerinduan, serta sebuah harapana, dimana pedagang asli Papua dapat maju dan berkembang di atas tanah leluhur mereka sendiri. Mungkin sudah saatnya pemerintah membangun sebuah kepercayaan, salah satunya dengan cepat realisasikan janji-janji yang pernah di kumandangkan saat pemilihan kepala daerah di langsungkan beberapa tahun silam.
Aksi demo yang di lakukan dari tahun ke tahun oleh pedagang asli Papua, akhirnya telah sedikit membuahkan hasil, dimana saat Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, S.H saat menerima masa pada tanggal 15 September 2009 lalu di Gedung Negara, Dok II Jayapura, yang mana mengatakan dengan jelas bahwa akan segera memfasilitasi agar pembangunan pasar bagi pedagang asli Papua segera di realisasikan.
Tindak lanjut dari pada pernyataan itu, maka kami tetap menuntut terus, agar janji dari pada gubernur Papua segera di realisasikan. Hal ini juga agar kepercayaan public kepada seorang pimpinan di daerah Papua tidak begitu saja menurun. Semoga aspirasi, harapan dan keinginan pedagang asli Papua ini secepatnya di realisasikan.
Jayapura, 15 Mei 2010
Sumber gambar: kompas cetak
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua telah hadir cukup lama, namun wajah dan roh dari pada UU ini sama sekali tidak menyentuh pedagang asli Papua. Amanat Otsus berbicara banyak tentang pemberdayaan orang asli Papua di atas tanah leluhur mereka sendiri, namun apa kata, sampai saat ini hal itu tidak pernah di jalankan oleh pemerintah.
Pemerintah selama ini beranggapan bahwa tuntutan pedagang asli Papua untuk mendapatkan fasilitas pasar adalah tuntutan yang biasa-biasa saja, padahal tidak, ini sebuah tuntutan yang lahir dari sanubari hati, dimana ingin menunjukan bahwa pedagang asli Papua mampu dan dapat bersaing secara sehat dengan para pedagang non-Papua.
Sebuah kenyataan yang menggenaskan, saat ini semua sektor perekonomian dan pasar di kuasai oleh penduduk non-Papua. Kehadiran mereka telah menyingkirkan penduduk asli secara tidak langsung, di tambah lagi dengan kepercayaan pemerintah daerah maupun provinsi yang berlebihan pada mereka. Pedagang asli Papua di buat betul-betul tidak berdaya. Menjadi pertanyaan, inikah wajah Otonomi Khusus yang sebenarnya?
Harus kita akui, ketika melihat ekonomi pasar di kuasi oleh penduduk non-Papua, sebenarnya kesalahan utama terletak pada pemerintah daerah maupun provinsi yang tidak pernah “berani” mempercayakan pedagang asli Papua untuk maju, mandiri serta bersaing secara sehat dengan pedagang non-Papua. Pejabat birokrasi yang berhubungan langsung dengan pemberdayaan ekonomi lebih pintar membual dari pada menepati janjinya.
Mengapa pembangunan pasar dan fasilitas yang lebih baik perlu untuk pedagang asli Papua, sudah tentu semua untuk mengakomodir kepentingan pedagang asli Papua yang selama ini terpinggirkan di atas tanah leluhur mereka. Banyak di antara mereka yang telah menjadi korban, beberepa di antara telah meninggal dunia, mereka seperti; Ibu Ice Kayame, Maria Yogi, Ibu Numberi dan masih ada beberap lagi yang belum kami data secara jelas. Identitas dari pada rakyat Papua harus ada, sehingga sudah tentu konsep dan pembangunan pasar harus mengarah kepada identitas orang asli Papua itu sendiri.
Konsep dan jenis pasar yang telah di usulkan sendiri harus ada 5 lantai. Lantai 1-2 untuk menjual berbagai bahan makanan yang berjenis basah, seperti; lauk pauk, sayur mayur, buah-buah, singkong, ubi, keladi, dll. Sedangkan lantai 3-4 untuk tempat menjual berbagai aksesoris, benda-benda antic, seni budaya, seni ukir, baju batik dan kerajianan tangan ala Papua, dan lantai yang terakhir adalah untuk sebuah kantor, ruang koperasi, serta tempat pendidikan untuk anak-anak usia dini.
Pemerintah memunyai hak, memunyai kewenangan, serta memunyai kapasitas tertinggi untuk kemajuan ekonomi di Papua, amanat Otsus memberi jaminan soal itu. Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah pusat masih berwenang, itu tidak-lah benar. Selama ini pemerintah tidur soal pekerjaan mulia ini, pekerjaan memberdayakan ekonom atau pedagang asli Papua sendiri.
Yang menjadi pertanyaan saat ini, kemana orang-orang Papua yang pintar, pandai serta bergelar tinggi-tinggi, yang katanya mempunyai konsep yang bagus untuk pembangunan dan pemberdayaan rakyat Papua? Bukankah banyak dari antara mereka yang telah “terselip” masuk di struktur pemerintahan (birokrasi). Jangan sampai, ada imits dari masyarakat luas, bahwa segala “kelebihan” itu di pakai untuk membual, berbohong untuk korupsi, menjarah, bahkan sampai merampok uang rakyat kecil.
Pemerintah harus insaf dan memberikan perhatian yang penting terhadap tuntutan ini, tuntutan ini lahir dari tangisan, kerinduan, serta sebuah harapana, dimana pedagang asli Papua dapat maju dan berkembang di atas tanah leluhur mereka sendiri. Mungkin sudah saatnya pemerintah membangun sebuah kepercayaan, salah satunya dengan cepat realisasikan janji-janji yang pernah di kumandangkan saat pemilihan kepala daerah di langsungkan beberapa tahun silam.
Aksi demo yang di lakukan dari tahun ke tahun oleh pedagang asli Papua, akhirnya telah sedikit membuahkan hasil, dimana saat Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, S.H saat menerima masa pada tanggal 15 September 2009 lalu di Gedung Negara, Dok II Jayapura, yang mana mengatakan dengan jelas bahwa akan segera memfasilitasi agar pembangunan pasar bagi pedagang asli Papua segera di realisasikan.
Tindak lanjut dari pada pernyataan itu, maka kami tetap menuntut terus, agar janji dari pada gubernur Papua segera di realisasikan. Hal ini juga agar kepercayaan public kepada seorang pimpinan di daerah Papua tidak begitu saja menurun. Semoga aspirasi, harapan dan keinginan pedagang asli Papua ini secepatnya di realisasikan.
Jayapura, 15 Mei 2010
Sumber gambar: kompas cetak
Sumber: http://pogauokto.blogspot.com/2010/05/pedagang-asli-papua-harus-diperhatikan.html