Orang Migani Menyapa Dengan Hati

Amakaniee – Amanoaee – Amakibaiee – Amajambaee – Amadulukanee – Ndolapanuao

Migani Amakanee (Foto: Istimewa)
Salah satu suku di tanah Papua yang memiliki kata salam lebih dari satu kata adalah suku bangsa Migani. Ada banyak kata yang digunakan untuk menyalami orang seperti Amakanee, Amakanie, Amajambaee, Amakibaee, Amalulukanee, Delapanowaee, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata ini tidak selalu sama, tergantung kepada siapa ia harus menyapa, dimana dia harus menggunakan, dan kapan dia ucap setiap kata yang mengandung makna sangat mendalam itu.
Contohnya, kepada seseorang akan disapa dengan kata Amakanee, tetapi kepada orang banyak (lebih dari satu)  akan disapa dengan kata Amakaniee. Berbeda pula penyapaannya kepada seorang ibu yang pejabat, atau seorang ibu yang miskin papa. Kepada seorang yang dikasihi disambut dengan kata yang lain dan juga kepada seorang remaja sedawar mereka sapa dengan kata Ndolapanuaoo.

Hal ini berbeda dengan suku-suku lain di Papua. Orang Paniai memberi salam dengan satu kata Koyao kepada siapa saja dalam semua kesempatan dan situasi. Orang Sentani menggunakan kata Foi Moi, di Biak dengan kata Tabea, Dani Wa wa wa wa dan lain lain seterusnya. Suku-suku ini (selain Migani), mereka harus menggunakan kata tambahan didepan kata salam untuk memperjelas kepada siapa mereka memberi salam. Seperti di Paniai, bila memberi salam kepada seorang lelaki bujangan, disapa dengan kata Kagipaidabaa Koyaoo,  kepada seorang wanita disapa Kagiwaudabaa Koyaoo, atau di Biak kepada seorang gadis manis disana Insosee Tabea Mufa, dan lain-lain.

Menjelaskan tata bahasa seperti ini tentu menjadi tugas orang-orang linguistik untuk menganalisa susunan dan bentuk tata bahasa suku-suku di kepulauan Melanesia. Tetapi yang kami mau angkat dalam tulisan ini adalah keunikan yang dimiliki suku bangsa Migani ketika mereka menyalami orang. Bahwa, tidak semua sapaan sama, dan tidak banyak kata yang dipakai untuk menyalami orang. 1 kata untuk 1 moment atau 1 kata kepada siapa dan tentu itu dengan hati yang tulus.
Ketulusan itu akan nampak dalam pemakaian ucapan itu sendiri. Ucapan itu sendiri akan menentukan tingkat kesadaran dan kedewasaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kita sebagai manusia harus belajar menghormati, menghargai dan memposisikan orang lain pada tempatnya lewat kata-kata dan sapaan. Sebab, apabila kita menghargai dan menghormati orang, sebaliknya, kita akan dihargai dan dihormati.
Kesadaran alami itu sudah diajarkan turun temurun oleh moyang Migani kepada anak cucunya. Setiap orang Migani, harus mengenal tingkat stratifikasi sosial dalam kalangan orang Migani sendiri maupun dalam pergaualan dengan suku-suku disekitarnya. Disana ada Sonowi Menee, maka hargai orang itu sebagai Sonowi. Dialah pemimpin kita, sehingga kita sapa dia dengan kata-kata yang memang menjadi miliknya. Dia adalah rakyat miskin, guru, pemuda/i yang sama dengan saya atau berbeda dengan saya, maka hargai orang lain itu dengan baik, tetapi tidak hanya lewat sapaan, tetapi lebih dari itu dengan hati yang tulus dan ikhlas. Hal itu akan diuji dengan pemakaian kata-kata itu sendiri.

Asyik memang mempelajari bahasa-bahasa suku-suku di Papua. Dan, berbahagialah bagi mereka yang mengetahui bahasa suku lain, apalagi lebih dari tiga bahasa. Sebab orang yang merdeka adalah orang  yang mengenal bahasa suku lain, selain bahasa ibu.
Pada jaman sekarang,  dunia dituntut untuk harus menguasai bahasa Inggris. Tetapi sebenarnya tidak juga. Kami berpendapat, bahasa Inggris juga penting, tetapi lebih penting lagi kalau kita menguasai bahasa dari suku-suku tetangga, termasuk tetangga rumah kita. Contohnya; kalau tetangga kita orang Bugis, sepantasnya kita harus mengerti bahasa orang Bugis, apalagi kalau sudah mahir berbahasa Bugis. Kita diterima ibarat seorang raja dikalangan orang Bugis. Sebaliknya, kalau orang Bugis menguasai bahasa Ayamaru, wow ... orang Bugis itu diterima dengan baik dikalangan masyarakat Ayamaru. Contohnya agak mirip sedikit dengan Jhon Tabo, mantan bupati Tolikara.
Kembali ke pokok persoalan, bahwa orang Migani memberi salam dengan hati. Memang benar dan harus diakui bahwa orang Migani ketika memberi salam dia akan tunduk kepala sedikit sambil pegang susunya sendiri atau lipat jari tunjuknya kearah dirinya sendiri. Atau salam Kipo Motii (salam dengan jari), juga hormat di dada.

Orang Migani adalah salah satu suku bangsa yang berada di tengah suku-suku lain. Disebelah barat ada suku Mee. Dibagian selatan ada Damal dan Amungmee. Disebelah timur ada Nduga, Dani, Lani dan sampai ujung di Oksibil. Dibagian utara ada suku Kew dan Mamberamo. Sebagai suku yang ada ditengah-tengah, orang Migani harus menghargai saudara-saudaranya yang berada disekelilingnya. Secara alami sudah terbentuk sehingga orang Migani menguasai bahasa dari suku-suku tetangganya.

Menurut Bartol Mirip, orang Migani bagian Timur dan terutama orang Nduga (Hitadipa, Agisiga, dst) sangat fasih berbahasa Mee, Damal, Amungme, Lani dan Dani. Mereka menguasai semua bahasa, dan oleh karena itu pergaulan mereka sangat jauh.
Detik ini, orang Migani sejak Pastor Kamerer sembunyi di negeri Biandoga, 70 tahun silam, mereka sudah belajar banyak dari suku-suku tetangganya. Bahasa suku lain yang mereka kuasai, adalah modal utama untuk membangun hubungan pergaualan dan persahabatan. Sebab hanya dengan menguasai bahasa, kunci dunia terbuka dan informasi dan komunikasi mengalir dengan sendirinya. Kehadiran Kabupaten Intan Jaya menjadi bukti, bahwa orang Migani siap menyapa siapapun dia pada waktunya dan posisinya. Dan tentu, dengan hati.
Orang Migani menyapa dengan hati.   

                                         Ditulis oleh; Engelbertus P Degey