DIDIKLAH YANG SUDAH ADA


DIDIKLAH YANG SUDAH ADA

Dulu gereja sebagai aktor utama untuk menyelenggarakan pendidikan dapat mencetak kader – kader bermutuh dengan fasilitas yang kurang memadai, namun kini justru perkembangan pendidikan dan teknologi komunikasi semakin maju dan berubah sesuai dengan tuntutan jaman yang menuntut tiap – tiap pribadi untuk bersaing.  Namun sekarang justru terbalik, oleh sebab itu situasi ini tidak bisa dibiarkan, karena orang yang tidak terdidik akan menjadi penonton dan menjadi obyek. Mereka akan tergilas oleh arus globalisasi, tergusur secara sadar maupun tidak sadar oleh banjir peradaban baru. 

 Orang tidak terdidik tidak akan mampu mempertahankan diri sendiri, sulit menyesuaikan diri dengan arus perubahan dan perkembangan, susa membaca tanda – tanda jaman dan kurang mampu membuat perbedaan antara yang baik dan yang jahat, yang bisa dan tidak bisa, yang membangun dan menghancurkan, sehingga perlu memperhatikan dan menyukseskan proses pendidikan yang sudah ada dan sedang ada agar tidak menjadi mati tetapi ada harapan ke depan yang lebih cerah.  

Untuk memberi harapan yang lebih cerah tentu dibutuhkan sebuah sponsor dari berbagai pihak yang dapat meningkatkan dan dapat melahirkan  sumber daya manusia (SDM yang mampu melihat berbagai situasi ekonomi, politik, sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat.  Jika pelajar atau mahasiswa tidak pernah diperhatikan dan disponsori untuk menunjang persekolahan maupun perkuliahan mereka jangan pernah katakan bahwa pelajar atau mahasiswa tidak mampu (bodok), tidak ada manusia di dunia ini yang tidak mampu (bodok) hanya saja orang tersebut tidak pernah di perhatikan, tidak pernah disponsor, orang tersebut tidak mau berusaha sesui dengan kemampuannya, orang tersebut tidak punya arah yang jelas, mungkin pengaruh lingkungan dan juga mungkin tidak pernah di nasehati oleh orang tuanya.
Oleh sebab itu singkatnya; dari sekarang harus ada ‘pembinaan’ untuk mereka yang “baru tunas” dan ‘mendidik’ bagi mereka yang “sudah mulai tumbuh” dan ‘sponsor’bagi mereka yang “sudah tumbuh dan membesar”, agar kedepan menghasilkan buah – buah yang dapat berguna untuk dimanfaatkan serta dinikmati oleh semua orang.

“Manusia Tidak Menetukan Masa Depan Mereka. Manusia Menetukan Kebiasaan Mereka dan Kebiasaan Mereka Menetukan Masa Depan Mereka”
“Ora Et Labora”

“Apa Yang Engkau Tabur Kini, Engkau Akan Menuainya”

Intan Jaya




Setiap SKPD Harus Jalankan Program Kerja Sesuai Dengan Fungsinya Masing- Masing

*** Laporan Kokai Dole ***

SUGAPA – Bupati sudah kasih uang ke setiap SKPD, sehingga setiap SKPD harus mampu menjalankan fungsi dan tangungjawabnya masing- masing yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat kabupaten intan jaya, tetapi beberapa SKPD tidak menjalankan prongram kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
 Seharusnya setiap SKPD melakukan fungsi kerjanya masing- masing sesuai dengan kebutuhan daerah. maju dan mundurnya kabupaten intan jaya tergantung kepada putra putri intan jaya yang benar-benar cinta daerah, cinta alam dan cinta manusia disekitarnya, sehingga diharapkan putra- putri intan jaya harus mengapdi dengan sungguh- sungguh dengan takut akan Tuhan, takut akan alam dan takut akan masyarakat intan jaya, karena berdosa jika uang sudah dicairkan oleh atasan, namun prongram kerja tidak dilaksanakan dengan fungsi dan tanggungjawab masing- masing dinas.
Setiap dinaskan sudah diberi dana sehingga harus manfaatkan dana – dana tersebut untuk kebutuhan – kebutuhan pembangunan yang benar – benar dirasakan oleh masyarakat intan jaya dan juga dana untuk masyarakat jangan dimakan, karena inikan berdosa, kita harus tahu mana bagian untuk kita dan mana bagian untuk masyarakat, jangan bagian yang menjadi milik masyarakat juga dimakan oleh kita, kata salah satu Staf SKPD di Intan Jaya yang tidak ingin namanya diposkan. 

Jadi kita harus bersatu untuk membangun pemahaman kepada masyarakat untuk membangun kabupaten intan jaya yang lebih baik, jangan harapkan orang lain untuk membangun intan jaya, kalau kita putra – putri intan jaya saja sudah tidak beta untuk mengapdi di intan jaya lalu mengharapkan siapa yang akan bangun kabupaten intan jaya.? jangan beralasan tidak ada fasilitas kantor dan lain sebagainya, karena fasilitas dikantor tidak jadi ukuran untuk membangun daerah, tetapi yang dibutuhkan adalah otak yang bermain dan berputar untuk bagimana melaksanakan prongram yang sudah ada, kata sala satu staf SKPD pada hari Selasa 03 November 2011 pukul 07.45 di waena perumnas dua saat berbincang – bincang dengannya seputar perputaran roda pembangunan di kabupaten intan jaya.
 
Di intan jaya banyak SKPD yang belum melaksanakan fungsinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, sepertinya dinas perhubungan dan dinas kesehatan belum melalukan prongram kerja secara maksimal hingga saat ini dan saat ini ada dua Distrik di kabupaten Intan Jaya yang sudah diberi warning, karena belum melaksanakan prongram kerja secara baik di lapangan. 

Saya harapkan agar atasan maupun bawaan yang mengapdi di intan jaya jangan kesana - kesini dengan berbagaimacam alasan terutama putra – putri daerah intan jaya yang tidak mengapdi di intan jaya lalu makan uang buta, inikan berdosa terhadap Tuhan, Alam dan Masyarakat Intan Jaya,sehingga saya harapkan agar semua yang mengapdi di intan jaya untuk tetap beta tinggal di  Intan Jaya dan mengapdi sesuai dengan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepada tiap – tiap pribadi dan yang telah dipercayakan oleh masyarakat untuk menjalankan tugas dan tangungjawabnya masing- masing.   
                                                                                   SIAPLAH DI POSISI – MU

                                                              “Bertolak Dari Diri Kembalilah Ke Jati Dirimu”

Di sebelah barat daya Zimbawe terdapat dua sungai yang membatasi kota kecil yang bernama titigi city. Dikota tersebut terdapat sedikit belantara, alang – alang dan pepohonan kasuari maupun pepohonan lainya yang dapat memberi subur tanaman dan tumbuhan dan juga dua sungai tersebut dapat memberikan hidup yang cukup kepada masyarakat setempat. Ditengah kedua sungai dan di dalam alang – alang dan pepohonan tersebut terdapat babi hutan yang selalu merusak kebun masyarakat setempat entah itu, pagar, tanaman maupun tumbuh – tumbuhan.
Masyarakat setempat selalu dengan susah payah membuat pagar, namun pagar – pagar tersebut dirusakkan oleh babi tersebut. Masyarakat dikota itu selalu dan selalu membuat pagar sambil jejaki babi tersebut untuk dibunuh, namun babi tersebut tidak dapat dijejaki dan dibunuh oleh mereka hingga tahun ke tahun bahkan generasi ke generasi.

Disuatu saat di kota itu musim hujan yang berkepanjangan, sehingga beberapa masyarakat di kota itu sepekat untuk memburuh babi tersebut, sebelumnya masyarakat setempat menyiapkan anak panah. Setelah menyiapkan anak panah mereka hendak jejaki babi tersebut sambil mencari tahu dari mana babi tersebut datang,.? Dari mana babi tersebut masuk dan merusak pagar,.? dan dari jalur mana babi tersebut pulang dan dimana babi tersebut menetap,.? Masyarakat setempat sudah mencari tahu semua jalur babi tersebut selama satu minggu lamanya, minggu yang kedua mereka hendak pergi untuk memburuh babi tersebut.

Pagi itu hujan rintik – rintik masyarakat kota itu sepakat untuk pergi memburuh babi tersebut, mereka melewati beberapa bukit dan tibalah disalah satu bukit tiba – tiba dibelakang mereka ada seorang anak mudah yang hendak mengikuti mereka sambil membawa busur dan anak panahnya. Anak mudah itu berusia 12 tahun dan dia juga yang paling terkecil diantara mereka. Mereka sudah rasa kalau ada yang datang dari belakang mereka, sehingga mereka berhenti lalu datanglah anak mudah itu dan mendekati mereka sambil berkata saya mau ikut kaka – kaka, jawab mereka; jalan. Anak mudah tersebut masuk dalam barisan mereka dan melanjutkan perjalanan ke tempat berburuh. Setelah mereka turun dari bukit tersebut mereka menyeberanggi salah satu sungai sambil berkata kepada satu sama yang lain bahwa disebelah inilah babi tersebut sering bermalam, sehingga di harapkan untuk datang dengan tenang sambil siap siaga.

Ternyata sangat benar babi itu lari menuju ke arah kepala air, karena mendengar bunyi pataaan kayu, maka merekapun melepaskan anak pana tapi tidak satupun mengenai babi tersebut, maka mereka memburuh babi tersebut. Mereka terpencar dan empat orang diantara mereka lebih dulu kearah kepala air dan mengusir babi tersebut dari arah kepala air menuju muara sungai, namun mereka semua tidak dalam posisi siap di tempat, malah mereka kejar kesana dan kejar kesini, sehingga babi itupun lari ke kepala air, tapi diusir turun lagi oleh keempat orang tadi namun mereka masih memburuh kesana dan memburuh kesini, sehingga babi itupun lari terus dari mereka.

keempat orang itu datang dan berteriak yeh,.. yeh,.. yeh,.. yeh,..yeh,..yeh,..yeh,..!!! kalau macam begini kapan baru kamu mau bunuh babi ini,.? Ini bukan babi yang kamu piara di rumah,.!!! babi yang kamu piara di rumah saja musti ada dua atau tiga orang yang harus kurung babi itu untuk dibunuh dan itu juga menggunakan dua atau tiga anak panah, kamu musti tahu itu,..!!! apalagi ini babi hutan, sehingga harus ada kekompakan untuk membunuh babi ini, tidak mungkin satu orang dia bunuh dengan kemampuan – nya sendiri dan juga kamu jangan kejar kesana – kejar kesini tapi jaga di posisi kamu masing – masing supaya begitu babi datang kamu tingal tembak. ingat itu baik – baik.
Keempat orang tersebut membagi posisi kepada tiap – tiap pribadi untuk menjaga pada tempatnya masing – masing dan anak yang paling kecil diantara mereka mendapatkan tempat (posisi) paling terakhir. keempat orang tersebut menuju kepala air dan mengusir turun babi tersebut namun babi tersebut tidak ditembak dengan baik oleh mereka apalagi anak mudah itu, dia sama sekali belum mengelurkan anak panahnya, karena babi tersebut belum ke tempatnya, babi itu ke arah sisi kanan sungai maka mereka semua kesana dan disana tempat nya sangat susah untuk babi itu kelur, sehingga mereka sepakat untuk membunuh babi itu disana, namun mereka melakukan hal yang sama sehingga babi tersebut tidak dapat ditembak oleh mereka.

` Haripun semakin siang merekapun semakin cape, namun mereka masih memburuh babi tersebut dengan cara mereka masing – masing dan keempat orang tadi mereka tetap di bagian kepala air dan berteriak kamu jaga baik – baik dan kalau bisa usir babi itu ke sisi kanan sungai supaya kami bisa menembaknya disana. Mereka itu masih kepala batu dan tidak mau mengindahkan teriakan – teriakan dari kepala air, maka keempat orang tersebut datang dan mengatakan kepada mereka bahwa kawan – kawan kalau kita kejar kesana – kesini, putar balik, maka kita sendiri yang akan cape dan babi ini kita tidak bisa bunuh, maka babi ini akan datang dan datang untuk selalu merusak pagar dan habiskan tanaman kami, sekarang kawan – kawan pikir baik – baik bagimana cara kita hari ini harus bunuh babi ini,..!!!

Keempat orang tersebut membagi posisi kepada tiap – tiap pribadi dan anak mudah itu mendapatkan tempat yang sama, yaitu dibagian belang paling terakhir. Anak mudah itu mukanya penuh kecewa, maka datanglah sala satu orang diantara mereka dan mengatakannya adik jangan engkau kecewa tapi jaga dan jangan kemana – mana tetap babi ini adik yang akan membunuhnya bila adik tidak kesana – kesini, adik harus disini saja biar babi ini ke mereka yang diatas ini adik tidak usah gelisah, tapi percaya dan tetaplah jaga di tempat ini, maka anak mudah itu jaga di tempat nya. Tidak lama kemudian dari atas mereka memburuh babi tersebut dan menembaki babi itu dan tiba di posisi dimana anak mudah itu ada jaga maka anak mudah itu mengelurkan anak panah yang dalam bahasa Zimbawe mengatakan “wau mina ndu koa” lalu menembaki babi tersebut hingga mengenai sasaran dan habislah nyawa babi tersebut di tangan anak mudah itu.

Mereka mendekati anak mudah itu dan mengatakan padanya; adik walaupun ditempat ini sangat tidak mungkin, namun adik dapat menembak babi ini hingga habiskan nyawanya, kami sangat berterima kasih, mari kami yang pikul, lalu jawab anak mudah itu kepada mereka; kaka kalau seandainya saya sendiri yang memburuh babi ini saya tidak sanggup dan saya rasa tidak mungkin, namun karena kebersamaan, kekompakan serta saling mererima, maka babi inipun kita bisa menembaknya apalagi ini babi hutan yang sudah sangat liar di hutan ini selama beberapa tahun, babi biasa saja musti ada dua atau tiga orang untuk membunuhnya. Apalagi ini babi hutan yang tidak bisa di tembak oleh satu dua orang sehingga butuh banyak orang yang bekerja sama.

Mudah – mudahan tidak ada babi lagi yang datang merusak pagar, tanaman dan tumbuhan agar kami bisa hidup lebih baik dan lebih aman di hari – hari mendatang. Mereka membawa babi tersebut ke pinggir kali dan membakar bulunya lalu di bela – bela kemudian dibarapen dan dibagi – bagikan kepada setiap honai yang ada di kota itu dan diantara mereka mengatakan dalam bahasa setempat bahwa “tau wogotigi mbole wogo tigiondanoagedingga kaipa nduni hago mapi duame” lalu orang yang sama memanggil anak mudah itu dan mengatakan pada; anak datang kesini lalu pergilah anak mudah itu kepadanya lalu diberikan ekor babi tersebut dan mengatakan padanya; ini bagianmu dan pasanglah ini pada nokenmu dan jangan pernah engkau menceritakan bahwa engkau telah melakukannya biarlah orang lain yang menceritakannya, bukan bibirmu, sebab rumput inipun menjadi saksi bahwa kau telah melakukannya apalagi mereka yang lain.

                                                                     Port Numbay, Kamis 17 November 2011

                                                 “Apa Yang Engkau Tabur Kini, Engkau Akan Menuainya”


                                                                                Misael Maisini
                                                                                 ......................

                                                                              Ketua KOMISI
                           ( KOMUNITAS MAHASISWA INDEPENDEN SOMATUA INTAN JAYA )

MANUSIA MENJADI MANUSIA SESUNGUHNYA MELALUI BUDAYA

MANUSIA MENJADI MANUSIA SESUNGUHNYA MELALUI BUDAYA *) Frans Sondegau Setiap suku-bangsa meliliki kebudayaannya masing-masing dan setiap orang dila- hirkan dalam budaya itu, sehingga apa yang dibuatnya sesuai dengan kebudayaannya, seperti gambar di bawah ini. Kebudayaan berarti bahwa dunia dengan sadar diangkat ke dalam rencana kehidupan setiap suku-bangsa. Artinya kebudayaan adalah pedoman hidup yang dengan sadar, harus dipegang dan dipatuhi untuk hidup yang lebih lama! Karena, budaya sebagai dasar atau penunjuk hidup yang diturunkan dari nenek-moyang, untuk keturunannya demi kehidupan yang aman, nyaman dan teratur. Untuk mewarisi budaya itu, orang tua meneruskan kepada anaknya, berupa nasehat, agar anaknya bisa mempunyai masa depan yang cera, berdasarkan nasehat itu. Oleh sebab itulah, ketika seorang berbuat hal-hal yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan budaya yang dimilikinya maka, banyak orang selalu mengatakan; “Pupugu mene au” (Manusia angin/manusia tidak punya adat). Manusia yang tidak tahu adat, berarti; Mereka bagaikan pohon yang tidak mempunyai akar, yang hanya tumbuh di atas udarah begitu saja. Apakah pohon seperti ini bisa tumbuh lebih lama? Lalu bagaimana dengan orang yang tidak tahu adat? Yang jelas adalah orang yang tidak tahu adat, tidak bisa hidup lebih lama, sebab dia tidak tahu nilai-nilai yang diwariskan oleh orang tuanya melalui nasehat, sebagai pedoman hidup. Suku Migani adalah suku yang kuat dengan budaya dan kaya dengan nilai-nilai budaya yang luhur berdasarkan konsep nama Emoo. Suku Migani tidak suka yang namanya permusuhan, perzinahan, perkelahian, perang suku dan lain-lain, singkatnya, “Biga dua augo nggaeo, Emoo senggapao nata mene” artinya mereka tidak suka dengan hal-hal yang tidak disukai oleh banyak orang sebab Emoo sedang memperhatikan mereka. Kadang banyak orang selalu bertanya-tanya katanya; “Memang saya tahu bahwa setiap suku memiliki budayanya masing-masing, tetapi seperti apakh kebudayaan itu? Nilai-nilai apakah yang diwarisi oleh nenek-moyang untuk diwarisi oleh anak-cucunya?”. Di bagian awal, sudah dijelaskan bahwa kebudayaan adalah pedoman hidup yang dengan sadar, harus dipegang dan dipatuhi oleh setiap suku, untuk hidup yang lebih lama! Karena, budaya sebagai dasar atau penunjuk hidup yang diturunkan dari nenek-moyang untuk keturunannya, demi kehidupan yang aman, nyaman dan teratur! Oleh sebab itu, nilai-nilai yang diturunkan dari nenek-moyang Suku Migani, berupa nasehat adalah sebagai berikut: “Aganawaga aumba nggane duame” (Kasihilah sesamamu) sebab jika engkau mengasihi sesama maupun musuhmu, maka engkau tidak akan mengalami kesusahan, karena sesamamu dan terutama Emoo akan mengasihi engkau! “Mene noa sege kiduame” (Jangan mencuri) sebab Emoo sedang memperhatikan engkau! “Mene wagakimapuame” (Jangan membunuh) sebab darah orang yang anda bunuh, selalu mengikut dan menghalangi/mengutuk seluruh perjuangan hidupmu! Mene ne segema dole kihimbuame“ (Jangan menipu), karena jika engkau menipu, bisa terjadi perang besar antar saudara! “Tubaga kiduame” (Jangan berzinah), karena jika engkau buat zinah, saudara-saudaramu akan melempari dengan batu dan membunuhmu, lalu akan dibuang dalam sungai! (homage sego bindia/tane paya) “Aga mbai mina inigata dupiduame“ (Jangan mengawini marga-marga tertentu) karena alasan pertama; asal nenek-moyangmu satu/sama. Kedua; jika engkau mengawini marga yang sebenarnya tidak bisa kawin, hidup engkau dan keturunanmu tidak akan hidup lama (umur pendek)!”. Hal ini memang terjadi dan nyata dalam kehidupan Suku Migani. “Mene noa dumugu-damaga kiduame“ (Jangan menginginkan atau merampas hak orang lain) sebab Emoo akan memberikan segala yang engkau inginkan, karena pasti semuanya itu Dia sudah atur untukmu dan untuk mereka sedemikian rupa, dan ada saatnya untuk engkau menerimanya. Tetapi itupun harus dengan kerja keras dan usaha darimu, jadi jangan pernah tinggal diam karena semuanya itu tidak mungkin dia sendiri turun dari langit!”. Dan ada berbagai macam nasehat yang selalu diingatkan oleh orang tua kepada anaknya untuk hidup yang sesuai dengan orang lain inginkan, maupun Emoo yang dimaksudkannya. Nilai-nilai inilah yang menjadi pedoman hidup bagi Suku Migani, pada umumnya. Belum lagi, nasehat-hasehat rahasia yang diberitahukan secara khusus oleh orang tua, kepada anak sulung atau anak yang dikasihinya. Dan nilai yang paling menonjol dalam Suku Migani adalah Kasih! Mengapa? Buktinya bahwa; walaupun dalam peperangan besar, musuh menyerang dan satu atau dua orang kesulitan jalan karena dikepung oleh musuh, mereka akan membiarkan/membebaskan orang tersebut, untuk tetap hidup. Atau jika dalam peperangan itu, dari pihak musuh seorang, tali busurnya putus atau anak panahnya habis, maka dari pihak sebelah akan berikan anak panah atau tali busur, lalu mereka katakan; ”Pasanglah busurmu dan lawanlah!” atau “Ambillah anak panah ini dan lawanlah!”. Dalam peperangan besar saja, Suku Migani melakukan hal demikian! Apalagi dalam hal-hal kecil, dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu berasal dari mana? Memang, yang jelas dari Kasih! Dan Kasih itu berasal dari Hati, dan mereka selalu mengatakan bahwa suara hati adalah suara Emoo yang tidak jauh dari kehidupan dan yang campur tangan dalam seluruh kegiatan dan kehidupan mereka. Oleh sebab itulah, semua perbuatan, kata-kata/nasehat maupun tujuan mereka hanya merujuk pada Emoo sebagai Penguasa yang Tertinggi. Di dewasa ini, hampir semua orang tidak mengenal adat istiadat sebagai budayanya sendiri dan tidak mengakui budaya sebagai pedoman hidup lagi, bahkan membenci budayanya sendiri, khususnya bagi kaum muda. Pemikiran seperti ini muncul, dengan alasan; “Ini adalah zaman perkembangan dan kami adalah kaum intelektual”. Apakah zaman berkembang, untuk meniadakan budaya atau adat-istiadat? Memang, itu benar bahwa zaman ini adalah zaman modern/perkembangan! Tetapi kita harus melihat kebiasaan-kebiasaan mana yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman! bukan berarti untuk meniadakan budaya seluruhnya. Karena, jika seorang tahu tentang budayanya sendiri, berarti ia menyadari dirinya sendiri dan apa yang dibuatnya dan ia sedang mengangkat jati dirinya, demi kehidupan serta keturunannya untuk masa depan. Saya merasa sangat aneh, ketika melihat banyak anak muda (Migani) sekarang, yang tidak tahu sama sekali bahasa daerahnya sendiri, apalagi nama Emoo dan maknanya. Jika bahasa daerah sendiri saja tidak tahu, bagaimana kita bisa tahu budaya kita? Itu wajar dan maklum..! karena banyak anak yang lahir-besar di kota dan daerah-daerah yang jauh dari daerah asalnya. Tetapi, apakah orang tua juga tidak tahu bahasa daerah sehingga tidak bisa ajarin bahasa daerah kepada anaknya? Ini bukan kesalahan anak tetapi juga kesalahan dari orang tua! Mengapa harus tahu bahasa daerah, minimal bahasa sehari-hari? Sebab, dalam bahasa daerah itulah tersembunyi makna terpenting dari budaya kita. Oleh sebab itu, saya harap kita harus tahu sedikit tentang budaya, khususnya, bagi putra-putri Intan Jaya. Saya sebagai anak Migani menegaskan, kita yang berasal dari Suku Migani, “Lihatlah di bawah telapak kakimu, karena jauh dari kaki anda adalah budaya orang lain bukan budayamu!” memang bisa saja untuk ditiru budaya orang lain atau budaya perkembangan, tetapi jangan sampai kita dihanyutkan dalam budaya itu. Kita adalah anak budaya dan saya yakin, jika kita berjuang berdasarkan budaya, pasti kita akan menjadi orang yang sukses. Dengan melihat situasi sepeti ini, berbagai pertanyaan yang muncul dalam benak hati saya; “Sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang, Apakah anak-cucu kita masih bisa tahu bahasa kita, bahasa Migani? Apakah mereka masih bisa tahu budaya Migani dengan nilai-nilai tersebut di atas? Apakah mereka masih bisa tahu berkebun atau membuat rumah yang asli ciri khas Suku Migani? Karena kita saja sudah tidak tahu lagi! Jadi, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, harapan saya untuk ke depan, jika anda dan saya mau turun sosialisasi di Intan Jaya, hal-hal yang perlu diingatkan kepada masyarakat kita Suku Migani adalah sebagai berikut: Ingatkan nilai-nilai yang sudah ditulis di atas, berdasarkan nama Emoo! Karena mungkin mereka sudah diombang-ambingkan oleh perkembangan zaman, apalagi sekarang sudah pemekaran kabupaten baru yang pengaruh atau arus perkembangannya sangat kuat! Diberitahukan kepada masysarakat Migani; Rahasia yang dulu hanya untuk anak sulung, berikanlah juga kepada anak-anakmu yang lain, jika anda mau, anak-anakmu tetap tahu tentang budayanya, sebab mereka bukanlah anak orang lain yang anda piara! Kepada kaum muda, kawinlah istri dari Suku Migani sendiri, jika anda ingin, anak-cucumu tetap Migani dan tahu budayanya! Ingatkan mereka untuk kerja, sebab fakta membuktikan bahwa banyak masyarakat yang selalu mengatakn, jika ada masalah mereka katakan, “masalah ini kita tunda supaya uang turkam datang baru kita selesaikan!”. Ingatkan mereka bahwa, uang turkam, otsus atau respek, bukanlah uang dari nenek-moyang anda. Ingat kata yang dulu nenek-moyang pakai, “aga iwa nggaga go nua tuikine! Dua dia nua nuya. Ingat itu! Jangan menjadi manusia perkembangan zaman! Ingat TUHAN yang dulu nenek-moyangmu sebut dengan EMOO!!!!!! Sebab baru mekar kabupaten baru saja, masyarakat sudah jauh dari GEREJA. Hiduplah sebagai seorang yang hidup berdasarkan budaya, jika anda ingin hidup lama di muka bumi ini. “Manusia baru menjadi manusia sesungguhnya, lewat kebudayaanya! Ini merupakan suatu proses yang mempersatukan kesadaran dengan apa yang dibuatnya, demi kehidupannya.” Ora Et Labora Salam perubahan,…!!! “APA YANG ENGKAU TABUR KINI, ENGKAU AKAN MENUAINYA” PenuliS adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Fajar Timur

MEKANISME PEMILIHAN BUPATI KABUPATEN INTAN JAYA

MEKANISME PEMILIHAN BUPATI KABUPATEN INTAN JAYA

POLITIK TANPA MANI POLITIK APAKAH BISA,.?
Salah satu keprihatinan publik yang sangat mendalam saat ini adalah merebaknya praktik politik uang (money politics) dalam kehidupan politik di Tanah Air. Politik uang ini benar-benar dikembangkan oleh para politisi dan parpol dalam setiap aksi politiknya,
 baik dalam hal membeli kekuasaan maupun dalam hal merebut suara rakyat dengan uang. Inilah yang membuat rakyat menjadi ketagihan sehingga sulit keluar dari perangkap yang disebut perangkap money politics tersebut. Politik uang ini memang, seperti yang dikatakan ahli politik Frederic Charles Chaffer (2007), terjadi di semua negara demokratis, termasuk Amerika Serikat, atau di semua negara yang mempraktikkan demokrasi dalam sistem politik dan pemerintahannya.
 Tetapi, bagi Indonesia, politik uang itu semakin kerap dilakukan secara terbuka, bahkan mulai diterima sebagai suatu kewajaran politik. Inilah yang membuat praktik politik uang di negeri ini semakin “ibarat virus ganas yang sulit dicegah dan dimatikan”. Mengapa? Karena uang yang dikeluarkan di jalan perebutan kekuasaan akan dikembalikan ketika berkuasa. Ada banyak indikasi betapa semaraknya money politics dalam demokrasi yang melahirkan pemerintahan korup. Banyak kepala daerah yang korup karena telah membayar mahal kursi kekuasaan ketika kampanye pemilihan.
Demokrasi Berbiaya Mahal
Karena begitu maraknya politik uang, diambah dengan pemilu atau pilkada yang berbiaya mahal, tercuatlah aneka kritik soal mahalnya biaya demokrasi di era reformasi. Demokrasi yang begitu mahal tidak sebanding dengan hasil kesejahteraan atau perbaikan nasib bangsa yang merupakan tujuan final demokrasi. Sistem demokrasi yang sudah disepakati untuk dijalankan di negeri ini memiliki tujuan, yakni menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kesepakatan publik politik di Tanah Air untuk menjalankan demokrasi dalam sistem politik dan pemerintahan ini disebabkan pada masa Orde Baru terlihat otoritarianisme gagal memajukan kesejahteraan rakyat seluruhnya. Di masa itu, hanya segelintir orang yang dapat menikmati “kue ekonomi” yang sangat besar, tetapi hanya bertumpuk di pusat kekuasaan, sedangkan rakyat kebanyakan yang berada jauh dari pusat kekuasaan tidak mendapat kebagian.
Keadilan dan kesejahteraan yang dicita-citakan tatkala dibangunnya kontrak politik di awal kemerdekaan pun hanyalah impian. Negara seolah-olah berjalan sendiri tanpa rakyat. Negara hadir, ibarat seorang politisi, setelah terpilih menjadi pemimpin, secara serta-merta meninggalkan rakyat dan melupakan seluruh janji politiknya. Di samping itu, dengan berdemokrasi, terlahir kebebasan pers yang bisa menjadi pengontrol jalannya roda pemerintahan. Segala kebobrokan pemerintahan dapat dibersihkan seminimal mungkin lewat kritik dan kontrol pers yang bebas.


“BERTOLAK DARI DIRI KEMBALILAH KE JATI DIRIMU”
Budaya merupakan kebiasaan yang selalu dilakukan ulang-ulang disuatu daerah atau wilayah.  Budaya itu sudah ada sejak nenek moyang suatu suku bangsa diciptakan dan ditempatkan oleh Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Kuasa. Budaya menujukan suatu suku Bangsa disuatu derah atau wilayah.  Demikian pula dengan budaya suku Moni yang menunjukan suku bangsa Moni di Intan Jaya.
Budaya Moni selalu mengutamakan dan mengajarkan nilai-nilai luhur harga diri seseorang sebagai manusia yang Utuh.  Hal ini dilihat dari “belas kasihan” seseorang kepada seorang yang lain, seperti dalam perang, seorang musuh akan menyerahkan  tali busur dan anak panah kepihak lawan ketika tali busurnya putus atau anak panahnya habis. Walaupun dalam keadaan yang sangat berbahaya di medan perang budaya Moni mengajarkan“ KASIH”.
             “Budaya ini terkikis habis-habisan dengan perkembangan jaman ini” yang mengutamakan korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya.  Korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya ini merupakan “budaya melayu indonesia”  yang sudah darah daging diberbagai kalangan.
Budaya Ini menujukan bahwa budaya suku bangsa orang lain yang “dipaksakan”   untuk menjadikan  budaya-nya, sehingga berbagai kalangan menjadi Gila, Binggung, Nafsu yang akhirnya membuat diri mereka tidak bisa tenang.  Sehingga mengantar mereka kejurang Kegelapan dan Hawa Nafsu.
Peran budaya membawa ajaran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam tata etika politik dan perubahan sosial disuatu derah atau wilayah, apabila itu dilihat, ditekuni, diterjemakan dan diterapkan  dengan “Hati dan Kasih sesuai dengan Jati Diri Suku Bangsa Itu”.
Kembalilah  kepada  Jati Dirimu, yakni  “MIGANI”  yang artinya “Mene Ngane Duwile” kasihanilah sesamamu, jadi apa adanya, artinya sudah cukup dengan apa yang ada pada kita.  Kita tidak boleh Mencuri bagian dari orang lain atau Merampas Hak orang lain.  “MIGANI” inilah sesunggunya “Jati Diri Suku Bangsa MONI”.
Kembali kepada Jati Diri, bukan ajakan untuk menarik diri dan bersembunyi.  Kembali kepada Jati Diri dilakukan dalam rangka untuk dapat keluar menampilkan diri lebih bijaksana dalam mengikuti jalan Tuhan. Kembali ke jati diri agar dapat melangka lebih baik;  mundur sesaat untuk dapat melangka maju lebih bijak.  Kembalilah kepada jati diri. Mengapa kita harus melarikan diri dari jati diri kita untuk mencari setumpuk kesenangan yang membawa kita kejurang kegelapan dan hawah nafsu.
Seseorang yang benar-benar dapat menyelami “Kasih dan kebenaran” akanmengenal jati dirinya. Orang yang mengenal jati dirinya akan mengenal YAHWEH ELOHIM (Tuhan Allah) Yang punya kuasa atas langit dan bumi secara baik dan tulus.
Kembali kepada jati diri bukan sekedar ingin melarikan diri dari kenyataan rumit hidup, melainkan untuk memiliki cakrawala yang lebih luas agar dapat mengarahkan diri dalam langka hidup yang lebih baik dan benar,yaitu semakin memahami, mengerti, menerima, memperhatikan serta menerapkan apa yang terkandung dalam nilai-nilai  “MIGANI”  itu sendiri.

 Semua Daerah telah terbukti bahwa melalui mekanisme Demokrasi telah menimbulkan Korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya, ini merupakan “budaya melayu indonesia”  yang sudah darah daging diberbagai kalangan yang akhirnya akar rumput yang menjadi korban politik dan korban pembangunan.
Elit – elit itu ibarat manusia serigala berbuluh domba yang menjadi pemangsa sesama manusia melalui cara dan gaya yang diberikan oleh negara sehingga mereka menjadi boneka yang harus mengikuti tuannya. elit – elit dipapua seperti televisi dan pemegang remotnya adalah tuan – tuan mereka dijakarta.
Hal ini menandakan bahwa orang papua bisa dibeli, bisa disogok, bisa dirayu dengan mudah.
Sekarang yang menjadi pertanyaan kami adalah apakah agama duluan atau budaya duluan,…? Kalau menurut saya budaya lebih dulu lalu agama dan kemudian pemerintah. Sehingga elit – elit yang membunuh sesamanaya dikatakan sudah melangar budaya dan agama, ibaratnya mereka Perkosa Mama mereka karena budaya adalah mama.
untuk pemilihan Bupati Kabuparen Intan Jaya yang akan dilakukan beberapa bulan kedepan harus dan harus memakai mekanisme budaya atau bakar batu (kenoga saiggiya), jadi masyarakat memasak daun dengan memberi tanda setip  calon- calon Bupati kabupaten Intan Jaya.
 Bakar batu mulai dari masing - masing kampung (Desa) dengan menyebutkan nama-nama calon Bupati Kabupaten Intan Jaya. Hasil dari tiap kampung itu akan dimasak  tiap- tiap Distrik dan hasil dari tiap-tiap Distrik dimasak di Kabupaten. Hal ini dilakukan  untuk megetahui calon Bupati siapa yang dinyatakan terpilih secara alamia ,orang yang terpilih secara alamia  itulah yang akan memimpin dikabupaten Intan Jaya.

 suarah akar rumput Intan Jaya harus menjadi mutlak untuk diberikan kepada orang yang dipilih secara alamia itu (kenoga sagiya) karena  demokrasi modern itu bisa saja terjadi hal-hal yang kita tidak inginkan bersama, yakni demokrasi itu dikibiri, bisa dibayar, bisa disetting demi kepentingan semata, bisa dimainkan sesuai kemauan manusia tertentu atau kelompok tertentu.

Apabila mekanisme “bakar batu atau kenoga sagiya” ini tidak dilaksanakan pada pemilihan Bupati kabupaten Intan Jaya, maka akan melahirkan dua persoalan besar, yaitu:
1.      Pemilihan Ulang Kepala Daerah
2.      Perang Marga atau Perang Suku yang dilahirkan dari para politikus kabupaten Intan Jaya.
Apabila kedua persoalan diatas muncul, maka siapa yang untung dan siapa yang rugi,…? Yah,..yang jelas yang diuntungkan tetap untung dan yang dirugikan tetap rugi dan konflik terus berkepanjangan.

Terbukti bahwa mekanisme demokrasi ala barat yang gunakan selama ini tidak memberikan manfaat bagi rakyat dibelahan dunia mana saja, karena pemimpin yang dilahirkan melalui mekanisme demokrasi modern itu kurang mampu melakukan terobasan karena pemimpin itu diangkat oleh kehendak manusia, dan belum tentu pemimpin yang diangkat melalui demokrasi modern ini dikehendaki oleh alam secara alamiah.

Mekanisme bakar batu (kenoga sagiya) ini memiliki keunikan tersendiri, yakni pemilihan pemimpin lahir secara alamiah (murni) tanpa adanya unsur kepentingan, tanpa adanya unsur politik uang, tanpa adanya usur pilih kasih.  Inilah yang dikatakan demokrasi alamiah  atau demokrasi sejati,..Semoga,..!!!

                                                      Maisini Sege – Ju, Holandia, Selasa 13 September 2011


“ ORA ET LABORA”
SALAM PERUBAHAN,…!!!
“APA YANG ENGKAU TABUR KINI, ENGKAU AKAN MENUAINYA”