Kita Harus Mengakhiri Alir Tangis Rakyat Papua



Oleh Mohamad Chandra Irfan

Siapa yang bisa memenjarakan bahasa dan kata-kata? Tak satu orang pun berhak memenjarakannya. Biar itu orang yang punya senjata. Biar itu orang yang punya kuasa. Biar itu orang yang punya banyak harta. Tak ada yang bisa memenjarakan bahasa dan kata-kata. Apalagi teriakan “Merdeka!” yang diawali terlebih dahulu seruan “Papua”.

Di Papua, bukan hanya terjadi agresi militer. Tapi di bumi Papua, hal lain yang terjadi adalah agresi budaya. Agresi budaya ini mestilah menjadi satu bahan untuk kita rumuskan bersama. Di antara organ tubuh kita, mulai dari mata, telinga, hingga pancaindra lainnya, mesti menjadi peka terhadap kehancuran bersama: penindasan atas nama kuasa dan senjata.

Yang umum kita kenal selama ini soal Papua hanyalah tarian adat dan paduan suaranya. Tapi kita selalu menjadikan mata kita sendiri buta terhadap realitas sesungguhnya. Bahwa di balik tarian adat dan paduan suara yang kerap dibanggakan banyak kalangan di Indonesia, terjadi pembantaian diam-diam terhadap orang Papua-nya.

Tak heran, pekikan perang dengan suara khas burung, selalu menggema di mana-mana pasca rakyat Papua berteriak “merdeka”. Kawan-kawan Papua percaya, dengan begitu ia sedang menabung masa depan Papua menuju satu gerbang yang mereka cita-citakan: merdeka. Selain euforia dalam teriakan khas yang meniru suara-suara burung, jauh di dalam dadanya, mereka sedang menyucikan dirinya dari roh-roh jahat yang bernama, sebut saja di antaranya: Indonesia dan Amerika Serikat.

Dalam suasana gegap gempita sekaligus penuh duka, budaya bisa menjadi siasat lain dalam menundukkan penguasa. Ya, sebagai media propaganda. Mau tidak mau, sepakat ataupun tidak, berbicara Papua, yang berhak menentukan secara mandiri masa depan bangsanya, masa depan kehidupannya, masa depan tatanan sosialnya, adalah harus orang Papua.

Tak ada doa yang sempurna, selain digenapkan dalam aksi massa. Kita harus mengakhiri segala kebejatan di seisi semesta—menjadi satu barisan dengan kawan-kawan Papua. Sebab cinta terhadap rakyat Papua hanya akan menjadi basa-basi semata, apabila tak dibarengi tindakan yang nyata. Berteriak atas nama cinta pada sesama manusia. Berteriak untuk menyulam kembali gagasan merdeka, di jalan raya.

Bukan satu atau dua manusia yang hilang nyawanya di bumi Papua akibat moncong senjata. Data-data hanya menjadi catatan yang kehilangan rumah, kala ia tersimpan di laci penguasa, yang hanya cukup mereka ketahui, tak pernah diselesaikan dengan seksama. Seandainya saja aku bisa menghapus tiap ingatan pembantaian di Papua, ingin sekali ingatan-ingatan itu kugunting, memilih dan memilah mana yang paling aku suka.

Tapi tak bisa. Tak bisa. Genosida di Papua terus menjadi cermin nyata manakala aku duduk di beranda hanya untuk menghabiskan sisa usia, atau di gedung pertunjukan manakala menonton pementasan yang penuh dengan adegan palsu dan penuh dusta. Bumi Papua selalu mengetuk-ngetuk dengan segala peristiwa kejam yang menimpanya. Aku tersiksa, tapi rakyat Papua jauh lebih tersiksa dan nyaris binasa.

Mula-mula aku mengatupkan mata, sebelum kantuk benar-benar tiba. Dalam pandangan yang gelap dari berbagai warna, yang tersisa hanya ingatan hitam yang memanjang ke arah Papua. Sejak itu, adegan paling tragis dalam kepalaku mulai masuk satu per satu. Seorang perempuan yang diperkosa tentara. Seorang lelaki berambut gimbal ditabrak tanpa sebab apa-apa.

Seorang lelaki mengepalkan tangan kirinya sambil bilang “merdeka”, ususnya terburai memanjang ke tanah yang baru saja dijarah Pemerintah Indonesia, dijaga ketat Brimob dan tentara. Seorang buruh kepalanya kena batu sebesar tubuh koala. Seorang anak kehilangan ibunya karena baru saja mengikuti aksi massa. Bisakah adegan ini diakhiri? Kepalaku semakin berat membayangkan anak-anak yang kepalanya akan dipenggal, tinggal menunggu usia mereka menginjak dewasa. Tak ada adegan bahagia. Tak ada!

Aku menyangkal Edo Kondologit, bahwa bumi Papua adalah surga yang jatuh ke bumi. Sekarang tidak begitu adanya. Bumi Papua adalah darah yang terus menggelontor dari tiap organ tubuh orang-orang Papua. Surga di Papua telah beralih menjadi neraka yang tak kenal batas usia. Setiap bayi yang lahir sudah ditentukan usianya oleh makhluk yang bernama pemerintah dan aparat kolonial Indonesia dan Amerika Serikat, bukan lagi oleh Tuhannya.

Tak ada lagi surga di Papua. Itu hanya kalimat untuk menibobokan kita. Kini, neraka itu bernama Papua dan para penjaganya adalah pemerintah, aparat dan korporat dari Indonesia dan negeri asing lainnya. Mereka saling berebut kuasa untuk mendapatkan investasi yang membabi buta.

Jika sekarang bumi Papua adalah neraka, maka orang-orang yang berjuang untuk keluar dari kerak neraka yang diciptakan secara biadab, selamanya adalah orang-orang yang sedang membangun kembali surga. Meski nyawa selalu jadi taruhannya.

Tak lama lagi, asalkan kita tetap satu suara, antara kawan-kawan Papua dan kawan-kawan Indonesia yang bersepakat untuk membangun kembali surga dan sejarah Papua yang sebenarnya. Kita akan merebut kembali Bintang Kejora di langit pagi seputih salju Puncak Jaya, seharum bunga gerbera. Lantas kita akan mengibarkannya di seantero jagat raya. Menyanyi dan menari tanpa jeda. Sampai benar-benar terbentuk sebuah bangsa yang mengamalkan ilmu sejahtera untuk semua umat manusia.
Kita harus mengakhiri alir tangis rakyat Papua. Tentu saja dengan segenap perlawanan yang patuh terhadap kesepakatan bersama, yakni: mati atau merdeka!


Sumber: http://pembebasan.org/kita-harus-mengakhiri-alir-tangis-rakyat-papua/


Pemusnahan Etnis Bangsa West Papua Secara Sistematik Di Era Modern & Realitas Yang Sangat Paradoks



Oleh Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan
Anda setuju atau tidak setuju, Anda suka atau tidak suka, Anda terima atau tidak terima, Anda percaya atau tidak percaya, Anda senang atau tidak senang, saya mau menulis dan sampaikan apa yang saya yakini, apa yang saya lihat, apa yang saya alami dan apa yang saya dengar dan apa yang saya baca.

Kita pelajari teori penjajahan dan pendudukan. Jika para kolonial ingin menguasai dan memusnahkan rakyat dan bangsa yang diduduki, ia biasanya melumpuhkan dan menghancurkan 5 pilar utama yang dimiliki penduduk asli.
Penjajah dengan fokus hancurkan pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan ( bahasanya dihilangkan, sejarahnya dihilangkan), tanahnya dirampas atas nama pembangunan dan kepentingan perusahaan.

Akibatnya penduduk asli tidak mendapat pendidikan yang layak, tidak menerima pelayanan kesehatan yang baik, ekonomi dikendalikan kaum pendatang, tidak punya tanah di atas tanah leluhur mereka, tidak punya bahasa dan sejarah. Penduduk Asli sudah tidak berdaya dan telah kehilangan segalanya.

Contoh Januari 2018, kita semua prihatin dan peduli dengan campak, gizi buruk dan kematian bayi di Asmat. Anda semua adalah pahlawan kemanusiaan. Anda semua adalah orang-orang yang diberkati Tuhan. Karena Anda peduli dengan sesama manusia yang menderita dan menangis.
Apakah campak dan gizi buruk yang terjadi di Asmat itu dengan tiba-tiba?
Dimana kehadiran Negara? Dimana peran negara selama 56 tahun di West Papua?
Mengapa Negara/pemerintah selama ini hanya sibuk urus NKRI dengan mengejar OPM?
Mengapa Negara/pemerintah selama ini hanya promosi gerakan separatis harus dibrantas?
Mengapa Negara/pemerintah sibuk mengejar & menangkap KNPB?
Mengapa Negara/pemerintah tidak pernah memberikan ijin wartawan asing masuk ke Wast Papua?
Mengapa hampir 24 institusi yang memeriksa setiap wartawan yang mau masuk West Papua?


2. Negara/Pemerintah Tidak Hadir di West Papua
Pernyataan yang dikutip dibawah ini adalah paradoks. Negara seakan-akan hadir di West Papua. Sebenarnya Negara tidak pernah hadir di West Papua.
"Saya datang ke sini satu tim untuk menegaskan bahwa negara hadir. Pak Presiden Jokowi mendapat laporan (KLB campak di Asmat) langsung memberi perintah kepada Menteri Kesehatan dan Kementerian terkait agar diberikan bantuan yang diperlukan" (Sylvana Maria Apituley, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Antara News 18/01/2018).
Prof. Dr. Franz Magnis-Seseno pernah menulis:

"Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia" ( hal.255)
" ...kalau orang-orang asli Papua makin banyak yang meninggal karena AIDS, TBC, penyakit-penyakit lain, kalau mereka terus ketinggalan, miskin, dan tersingkir, kalau mereka mengalami nasib yang sama seperti Indian di Amerika Utara atau Aboriginal di Australia, kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak senjata tajam" (hal. 257). ( sumber: Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).

Selama ini pemerintah Indonesia berusaha menutupi kekejaman, kejahatan, kebrutalan dan kegagalannya dengan berbagai cara yang berbasis kebohongan. Numun demikian, kasus campak dan gizi buruk, kematian bayi di Asmat mengumumkan bahwa Negara tidak hadir di West Papua.
Negara/pemerintah hadir di West Papua hanya dengan kepentingan politik dan keamanan untuk mengamankan ekonomi dan melindungi penduduk Transmigrasi yang didatangkan untuk menguasai lembah-lembah subur dengan menyingkirkan penduduk asli sebagai pemilik negeri.
Benarlah & amin, apa yang dikatakan Prof. Franz, keadaan penduduk asli West Papua sangat buruk, tidak normal, tidak beradab & memalukan. Ini terjadi akibat dari negara tidak hadir di West Papua.

3. Gizi Buruk dan Kematian Bayi Tidak Saja di Asmat.
Ikuti apa yang dilaporkan Yones Douw adalah bukti ketidakhadiran Negara di West Papua.
"Ada apa ini kasus kematian anak terus terjadi di tanah papua Tahun 2016 kematian 72 anak-anak di Nduga setelah itu lanjut kematian 92 anak-anak karena wabah campak di 5 desa Daerah Debei distrk Tigi barat kab Deiyai dimulai awal april s/d juni tahun 2017, sekarang awal tahun 2018 kasus kematian 67 anak-anak Asmat di kabupaten Asmat. Gereja harus cek jumlah korban yang sebenarnya anak-anak di asmat ini sebab pemerintah selalu mengurangi jumlah kematian ini. Kenapa kematian anak-anak itu berturut-turut terjadi di papua. Dulu kematian secara massal itu tidak pernah ada. Kalau kematian seperti ini terjadi maka generasi muda penerus bangsa Papua habis ini" (Sumber: Yones Douw).

4. Ikuti Kesaksian Anak Asmat (Benyamin Gurik)
Siapa pembunuh Orang Papua sesungguhnya?
Saya lahir dan besar di tepi sungai Kok, Krongkel, Fayit, Aib, Siret di Wilayah yang dulu merupakan bagian dari kabupaten Merauke dan kini masuk dalam wilayah administrasi pemerintahan kabupaten Asmat.
Apakah Anda berbicara Asmat tahun 2018 supaya perbaiki Gizi?
Kakak saya tertua lahir 1965 dan saya yang bungsu lahir 1980an semua di daerah Asmat. Daerah Asmat yang dulu terkenal karena ukiran. Tapi kini karena daerah wabah.
Sy lulus SLTP N. I Pantai Kasuari di Asmat akhirvtahun 1990an. Bapa/ayah kandung sy Pdt. Bimbert Gurik adalah satu-satunya misionaris asli Papua yang sampai kini masih hidup di daerah Selatan. Tahun ini beliau memasuki usia 50 tahun di Medan penginjilan buat orang Selatan.

Kami karena tidak ada SMA saat itu di sana, kami semua lanjutkan SMA di Merauke dan Wamena. Kami terbiasa dulu hidup makan dan minum ikut pola hidup masyarakat adat di sana. Dan saya masih hidup. Tanpa gizi & makanan sehat ala Indonesia Jawa yang kamu agungkan.
Tidak ada beras dan supermi. Dulu kami tahu beras itu saat sebulan sekali kapal masuk dari Merauke bawa jatah beras untuk pegawai di sana. Sekarang siapa yg larang orang ke hutan dengan janji supermi dan beras akan di bantu tiap 1 atau triwulan?

Saya merasa kita yang besar di kota & merasa sok tau ini telah merusak tradisi orang asmat masuk hutan di hari senin & pulang di hari Sabtu bawah bekal dari hutan. Ginetoy Ariwei.
Jadi baku lempar batu sambil pukul dada bikin diri jadi org paling berjasa saat musibah skrg ini. Jangan kamu main sandiwara.
Cukup ingat saja bahwa semua wabah ini terjadi di masa pemerintahan Joko yang kamu dewakan sebagai presiden RI terbaik. Dan Isu ini mulai marak ketika pak SBY tampil dengan program perlunya raskin buat masyarakat bawah.
Kamu rubah pola hidup berhutan masyarakat dengan cepat tanpa memperhitungkan secara matang dampaknya nanti itu adalah pembuat kejahatan.

5. Tragedi Kemanusiaan Melanda Bangsa West Papua
Saya menulis artikel ini tidak berdiri sendiri pada pendapat dan pikiran saya, tetapi integrasi beberapa pikiran dan laporan serta pengalaman. Tulisan ini untuk memberikan gambaran yang utuh tentang Tragedi Kemanusiaan terhadap bangsa West Papua.
Ada pernyataan Deputi Staf Kepresidenan, ada pendapat Frof. Dr. Franz Magnis, ada laporan dari Yones Douw dan ada pengalaman hidup dari Benyamin Gurik. Saya berusaha integrasikan tulisan ini supaya menjadi jelas pokok masalahnya.

Terjadinya proses pemusnahan etnis bangsa West Papua tidak bisa kita pungkiri. Ada fakta cukup bahwa pernyataan Negara dan realitas sangat paradoks.
Selamat berdebat.
Ita Wakhu Purom, 23/01/2018



Manusia Indonesia: Multiminoritas Dan Orang-Orang Rantau Di Persimpangan Kiri Jalan



Oleh: Natalius Pigai

(Teori out of Africa dan Hasil uji genetika DNA Mitokondria oleh Max Ingman di USA membuktikan bahwa gen manusia modern (kita) tidak bercampur dengan gen spesies manusia kuno, penduduk asli nusantara. Jadi manusia Indonesia adalah orang-orang rantau yang sedang bingung di simpang jalan ).

Kebhinekaa bangsa saat ini berada di titik nadir, bangunan sosial terancam pecah karena ketidakharmonisan dan fragmentasi antar horisontal juga vertikal. Rasisme, Diskriminasi, kekerasan verbal yg didorong atas rasa kebencian Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Islam, China, Kristen, kafir, pendatang dan pribumi adalah kosa kata yang saban hari menghiasi media sosial dan juga dalam komunikasi interpersonal.


Berkali-kali baik di TV, Koran, Seminar, juga berbagai tempat telah kaum pluralis katakan bahwa kebinekaan bangsa Indonesia adalah suatu wahyu, sabda, titah yang tertulis sebagai adagium persatauan dan kesatuan, kebinekaan bangsa sdh final dan mengikat sanubari tiap orang, menjamurnya beraneka etnik, ras, budaya harus diterima sebagai kondisi kekinian, realitas bangsa bahkan keanekaragaman adalah suatu niscahya.

Kita terlalu terjebak dalam sektarianisme, eksklusivisme yang naif dan bahkan chauvinistik seakan akan sebagai pemilik negeri ini, klaim diri sebagai pahlawan, sedangkan suku Cina, Arab, India bukan pejuang dan pahlawan. Barangkali tidak lupa bahwa perjuangan bangsa indonesia dilakukan secara sporadis, berjuang sendiri2 di wilayahnya masing-masing dengan tujuan mengusir penjajah. Diponegoro tidak pernah memimpin perang dari sabang sampai merauke, tapi hanya wilayah Jawa Tengah, Laksamana Malahayati berjuang hanya di Aceh, Sisingamangaraja berjuang di Tanah Batak, demikian pula pahlawan Patimura hanya di Ambon dll.


Jasmerah, jangan sekali-kali lupa sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan orang-orang yang saat ini kita sebut sebagai pendatang, kemerdekaan ini juga diraih karena adanya kontribusi 7 orang pahlawan keturunan china; Jhon Lie, Koen Hian anggota BPUPKI dll, keturunan Arab; Baswedan dll, bahkan juga keturunan barat Belanda yang kita sebut penjajah seperti "Ijon Jambi" tokoh kopasus. Pahlawan besar beragama Katolik di Jawa Tengah tidak bisa diragukan lagi, nama-nama besar seperti Jos Sudarso, Adi Sutjipto, Adi Marmo, Slamet Riyadi, I.J Kasimo, dll. Kalau demikian apakah kita harus menafikan nama dan peran mereka dalam eksistensi Republik ini?


Persoalan Pendatang dan Pribumi, Mayoritas dan Minoritas tidak perlu terfragmentasi secara tajam karena kita semua di nusantara ini adalah bangsa pendatang, dimasa lalu nusantara hanya dihuni oleh Homo Soloensis, Homo Wajakensis, Homo Phitecantropus Erektus, homo Floresiensis yang akhirnya diketahui sebagai manusia Ebugogo.

 Mereka adalah manusia pigmeus atau pigmen yang merupakan manusia modern pemilik bumi nusantara telah punah di masa lampau, termsuk juga yang punah bersamaan dengan adanya jaman pleistosen jaman es yang membelai Sumatera dan semenanjung Malaya, Nusa Jawa, Bali, lombok, Nusa Nipa sampai di Timur Timor, Sulawesi dan Kalimantan, Papua dan Australia. Pada jaman itu pulalah penduduk pribumi yang menghuni bumi nusantara ikut punah. Karena itu, mereka bukan keturunan atau nenek moyang orang Indonesia jika merujuk pada asal-usul manusia lewat DNA mitokondria, Max Ingman, doktor genetik asal Amerika Serikat dalam tulisan bertajuk “Mitochondrial DNA Clarifies Human Evolution” pernah mengungkapkan, bahwa Gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen spesies manusia kuno.

Kita semua bangsa pendatang, bukan bangsa asli, Negeri ini Negeri Indonesia dihuni oleh bangsa-bangsa pendatang (imigran) yang berisi gugusan pulau-pulau yang jumlahnya 17 ribu secara beraneka ragam.
 negeri ini tidak ada penduduk pribumi. Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi adalah bangsa Proto Melayu dan Deutero Melayu yang berasal dari bangsa Mongoloid asal muasal dari Juan di China yang menelusuri melalui indochina atau Austro Asiatik, memasuki kawasan selatan, baik melalui Teluk Benggali, juga Laut China Selatan serta melalui jalan darat yaitu Jala, Patani, Naratiwat dan masuk ke semenanjung Malaya. Lintas barat memasuki Penang sampai Malaka menyeberang selat Malaka masuk ke Sumatera dan yang ke arah selatan memasuki pulau Jawa, Kalimantan dan ke timur menuju Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Bangsa Aceh di sebelah barat adalah suku Lamno keturunan Eropa bermata biru, Aceh Pidie dan Aceh Besar keturunan Tamil dan keling India serta suku Benggali, sebagian keturunan Arab.
Bangsa Proto Melayu atau Melayu tua di Indonesia seperti suku Batak, suku Sakai, suku Anak Dalam di Sumsel, Jambi dan Riau, suku Dayak di Kalimantan, suku Badui di Jawa barat, suku Bali Age di Bali, suku Sasak di Lombok, suku Toraja dan Suku Bugis di Sulawesi serta sebagian besar suku lainnya seperti Melayu Deli, Riau, Minang, Jawa, Bali Mojo dll adalah bangsa Melayu Muda atau Deutero Melayu.

NTT dan Maluku masih termasuk bangsa Melayu, bahasa Maluku adalah bahasa Melayu, Jawa dan Bugis, Maluku Utara adalah keturunan Arab, Manggarai NTT orang Makasar serta keturunan Bima di pinggiran atau pesisir, namun 70 persen lebih adalah dari suku Minangkabau. Bajawa keturunan India, Ende orang Arab, Sikka Portugis. Orang Rote, Sabu, Raijua dan Sumba adalah Arab campur India, jaman dulu disebut India Belakang.

Bahasa Flores Timur adalah bahasa Melayu Kuno, Maluku Utara memang sebagian keturunan Polinesia bukan Melanesia seperti Nuku, Pasifik ada juga sebutan Nuku Alofa, namun jumlahnya sedikit. Ada ikatan yg kuat antara kerajaan-kerajaan nusantara dengan Maluku, khususnya Ternate dan Tidore. Radja Boawae di Ngada adalah keturunan India, Budaya tenun di Sumatera, Jawa dan NTT adalah budaya India.

Secara antropologi ragawi, sampai hari ini hanya membuktikan bahwa Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan NTT adalah suku bangsa yang masuk kategori Ras Mongoloid, yang asal muasal dari Juan di China menyebar ke selatan bertemu bangsa Sino Tibetian atau di kenal sebagai bangsa Austro Asiatik menyusuri pantai barat semenanjung Malaka, masuk ke Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara. Sebutan Austro artinya Selatan, Mongoloid adalah sebutan bangsa sehingga menjustifikasi sebagai bangsa Mongoloid yg tinggal di bagian selatan Asia Tenggara. Kecuali Bangsa Papua yang tidak termasuk Ras Mongoloid tetapi Ras Melanesoid yaitu sebuah Ras yang mendiami kepulauan Pasifik Selatan yang disebut "Aquatic Zone).

Pembagian flora dan fauna oleh Wallace yang membagi 2 bagian yang ditandai oleh Garis Wallace yang melintasi Kalimantan, Sulawesi, Ngada di Flores dan Sumba tidak membagi rumpun etnik tapi hanya flora dan fauna.
Kalau mau membuktikan sebuah rumpun bangsa maka ada beberapa indikator yang harus di lihat:


1. Aspek antropologi ragawi
Secara Antropologi ragawi, feno tipus, ciri-ciri ragawi : Di Indonesia tes DNA Mitokondria dipakai untuk melacak jejak gen manusia dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Juni 2001 Wuryantari dalam tesis berjudul Haplotipe DNA Mitokondria Manusia Prasejarah Jawa dan Bali, ternyata, manusia prasejarah dari dua situs itu merupakan keturunan ras Asia atau Mongoloid dengan ciri Polinesia.

Hal ini hanya menunjuk Orang Indonesia dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Selawesi, NTT dan Maluku dan Namun Papua tidak termasuk. ciri-ciri ragawi Orang Melayu Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi bergelombang dan ikal, sama seperti yang kita temukan di Semenanjuang Malaya, Thai, Vietkong, Sino Thibetian juga orang Juan Thibet dan Monggol. Untuk suku-suku di Indonesia Timur oleh Wallace dalam ras manusia dijelaskan bahwa orang Maluku adalah Melayu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo serta pulau Buru , berbahasa kombinasi Jawa dan Bugis, sedangkan orang pulau Obi, Bacan dan semenanjung Jailolo tidak memiliki penduduk asli, semenanjung Jailolo utara suku Alfuru dari Sahu dan Galela, mereka bukan ras Melayu juga bukan ras Melanesia, berwajah seperti orang Papua dikelilingi bulu2, namun kulit mereka seperti orang Melayu artinya mereka bangsa Melayu Polinesia. sedangkan Papua adalah bangsa Melanesoid, Melanesia. Pada tahun 1832 seorang perancis yang bernama Jules Dumont d'Urville yang menjajah pulau-pulau kecil ditepian Samudra Pasifik menyebut sebuah kelompok etnis dan pengelompokan pulau2 yang berbeda dari Polinesia dan Mikronesia dengan sebutan ras Melanesia istilah yang diambil dari bahasa Yunani, Melano-nesos "nusa-hitam" atau "kepulauan hitam". Menyatakan berdasarkan ciri fisik dari etnis tersebut karena berambut keriting dan kulit hitam.


2. Antropologi lingguistik.
Antropologi lingguistik yaitu adanya kesamaan bahasa; Bahasa yang digunakan di Sumatera, Jawa, Kalimantan juga Sulawesi adalah Bahasa Melayu yang berinduk pada bahasa Sansekerta India dan di kombinasikan dengan bahasa-bahasa daerah yang dianut yang mencapai 800 bahasa. Bahasa Aceh adalah kombinasi dari bahasa Arab, India dan Melayu, Bahasa Minang kombinasi bahasa Melayu, orang Deli, Riau, Jambi, Palembang hingga Bengkulu adalah berbahasa dan berdialek Melayu, demikian pula Bahasa Sunda dan Jawa serta Bali yang kombinasi tiga bahasa Sansekerta, Kawi dan Melayu.

Kalimantan Barat berbahasa Melayu Dayak, Kalimantan Tengah berbahasa Melayu, Dayak, Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan berbahasa Banjar dan Jawa, Kalimantan Timur Bahasa Dayak, Jawa, Bugis dan Makasar. Demikian pula pulau Sulawesi bagian selatan berbahasa Bugis, makasar dan Buton yang dipengaruhi oleh kerajaan Goa dan Talo.

Sedangkan Sulawesi Utara dan Gorontalo berbahasa dan berdialek Tagalok dari Mindanao serta kejaraan Sulu di Philipina Selatan. Manggarai di NTT sedikit mirip ke bahasa Bugis dan Makasar (kraeng) Minang, Flores Timur adalah Melayu tua, Rote Sabu sedikit bahasa India dan sebagian besar dipengaruhi oleh kawi (jawi), juga Melayu pada umumnya kecuali di timor berbahasa Tetun dan Porto seperti di Belu, Melaka, Kefa dan Soe. Sedangkan Maluku secara keseluruhan di pengaruhi bahasa Melayu, contoh, kata beta, paci, maci itu panggilan akrab Melayu yg sering digunakan oleh orang Malaysia, Jala, Patani maupun Naratiwat di Semenanjung Malaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pula orang keturunan Kepulauan Formosa yg menyebar sampai di selatan termasuk suku bangsa Moro dan Sanger, Talaut, pulau Halmahera dan sebagian juga menggunakan bahasa Tagalok. Ada kesamaan signifikan antara Jolo, Mindanao, dan Maluku Utara sama2 agama islam.


3. Antropologi Budaya.
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTT dikenal budaya tenun, bangsa berbudaya tenun di dunia adalah bangsa India, hindustan menyebar ketimur melalui teluk Benggali memasuki kepulauan nusantara, kecuali orang Papua Melanesia tidak mengenal tenun, orang Meibrat di Sorong justeru tenun atau kain Timor menjadi mahal karena diimport dan dianggap barang langkah bukan produk asli. Demikian juga tenun Maluku, berbudaya siri dan Pinang tidak bisa dijadikan dasar karena orang Jawa dan Melayu justru makan Sirih dan Pinang bahkan Sirih dan Pinang merupakan budaya hidup orang-orang pesisir pantai baik Jawa, maupun di Timur. Demikian pula Berbudaya makan Sagu sebagaimana di Maluku dan di Papua juga kita temukan di pada suku Tolaki di Kendari Sulawesi Tenggara yang mereka sebut "Sinonggi". Demikian pula budaya Sagu juga kita temukan pada masyarakat Melayu di Kepulauan Meranti di Selat Panjang Riau.

Budaya bernyanyi di Sumatera terbagi 2 bagian yakni; bernyanyi secara keras dengan musik keras seperti Batak dan Nias lebih banyak dipengaruhi oleh lagu-lagu modern Eropa non lagu rohani, sementara Aceh, Minang dan Malayu cara bernyanyi dan gaya busana mirip India dan China khususnya Chino Thibetian, demikian pula di pulau Jawa Bali, Sulawesi dan Kalimantan bernyanyi dengan menampilkan kemolekan tubuh wanita dan lelaki bersenjata sabit atau badik berinduk pada budaya India. Bernyanyi yang sama kita jumpai pada masyarakat Vietnam, Laos, Kamboja juga Thailand. Bernyanyi dalam bangsa Melanesia adalah suatu ritus maka dikenal juga elegi bernyanyi kisah sedih tidak seperti Maluku dan NTT lebih untuk mengungkapkan kegembiraan. Bangsa Melanesia tidak mengenal budaya Kapak dan Parang, Tembikar, berbeda dengan Pedang di Maluku, dan NTT, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.

4. Historiografi.
Jaman Timur Purba sebutan pulau Flores adalah Nusa Nipa, atau Nusa Nive, sedangkan untuk Maluku dalam bahasa Sansekerta sebutannya Nusa Tutur artinya pulau-pulau lainnya. Papua dan Melanesia adalah daerah terbayang (tera incognita). Hal ini diperkuat dalam buku Negara Kertagama, karya Mpu Tantular bahwa NTT dan Maluku masuk kedalam wilayah 8 kita lihat syair 14, bait ke 5:
"Inkang sakasanusan Makasar Butun Banggawi, Kuni Ggaliyao mwang i(ng) Salaya Sumba Solot Muar muwah tikang i Wandan Ambwan athawa Maloko Ewaning ri Sran in Timur makadi ning angeka nusatutur".

Sementara Wilayah 1 sampai ke 7 adalah dari Madagaskar sampai nusantara dan utara Formosa. Berdasarkan penelusuran ilmiah ternyata Majapahit tidak pernah menguasai seluruh wilayah nusantara tetapi Majapahit hanya memiliki hubungan transaksi jual beli atau dagang dengan saudagar2 di nusantara. Hal ini ditunjukkan dengan Artefak atau Tembikar dan barang-barang berharga yang ditemukan di bekas kerajaan Majapahit karena kerajaan Majapahit bukan asli nusantara tetapi datang dari India dan kerajaan bercirikan hindu. Papua dan Melanesia hanya daerah terbayang (Terra incognita).

Di Jaman modern pun Sumatera dipengaruhi oleh Arab, India dan Belanda, kecuali Bengkulu serta Kepulauan Meranti dan Tanjung Balai Karimum oleh Kekuasan Ratu Inggris dibawah komando Jenderal Mauntbatten berpusat di Singapura. Pulau Jawa daerah pendudukan Belanda, Arab dan India, demikian pula NTB oleh Arab dan Bugis.

Pesisir Utara Sumatera, Jawa dan pesisir Kalimantan khususnya bandar-bandar adalah dihuni oleh orang2 China, kita lihat bandar-bandar di pesisir bagian Timur Sumatra Medan, Tanjung Balai, Dumai, Selat Panjangn, Bagansiapi api, Jambi, Palembang, Banten, Tangerang, Batavia sampai ke Jawa Timur meskipun di pulau Jawa bagian utara ada kombinasi China, Arab dan India . Pelayaran Laksamana Cheng ho membuktikan penetrasi China di pesisir utara. NTT dipengaruhi bangsa Portugis banyak nama-nama dipengaruhi Portugis contoh, Pereira, da gomes, da cunha, da silva, fernandes, di Sikka maupun juga Flores Timur dan sebagian NTT bahkan orang-orang Lamaholot oleh Gajah Mada disebut orang Solot (solor), atau Jaman purba atau bahasa Sansekerta namanya Nusa Solot atau pulau air, dalam bahasa Lamaholot air adalah solot.

Oleh karena itu, manusia Indonesia adalah bangsa Pendatang dan Multiminoritas penghuni gugusan pulau pulau nusantara. Tidak ada penduduk asli dan Pendatang, Pribumi dan non Pribumi. orang minoritas bisa menjadi Presiden RI, apalagi hanya gubernur. mari kita sudahi dikotomi asli dan pendatang, pribumi dan non pribumi, tok tulisan ini telah membuktikan kita semua adalah : Pendatang dan Orang Asli adalah Bangsa Pigmen atau Pigmeus yang telah punah. Dan asal-usul manusia lewat DNA mitokondria, Max Ingman, doktor genetik juga pernah mengungkapkan, bahwa Gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen spesies manusia kuno jadi kita semua Pendatang.

*Natalius Pigai, Staf Khusus Menteri Nakertrans 1999-2004, Dll. Pernah mengunjungi dan memahami 33 Provinsi, 450 (75%) Kabupaten/Kota. Peneliti migrasi Penduduk di Asia Tenggara, Malaysia, Singapura, Vietnam, Laos, Camboja, Thailand. Penulis Buku Migrasi Tenaga Kerja Internasional, 2005. Anak Indonesia Teraniaya, Derita Anak TKI di Malaysia dan Penulis " Dagang Manusia, Traficking di Asia Tenggara dan Indonesia, Jurnal Widya Riset, LIPI, 2006. Penulis Buku " Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik, 2000. Buku " Migrasi dan Pembangunan, 2004.



SEMANGAT MINGGU PANGGILAN



(Selamat Hari Minggu dan Minggu Panggilan Sedunia)


Pater Honoratus Pigai Pr
KITA dipanggiln dan dipilih sesuai rancangan Allah. Allah sebagai Perancang telah menempatkan kita sesuai keberadaan kita masing-masing. Penempatan keberadaan kita pun pastinya memiliki tujuan. Maka tujuan itulahbyang harus dikejar dan diperjuangkan. 

Apa tujuannya? Visi Yesus jelas, tidak membiarkan orang menderita, tidak menghina, tidak menindas, tidak melukai, tidak menjajah dan tidak membunuh.
Yesus datang ke dunia untuk membebaskan dan menyelamatkan orang dari penindasan, penjajahan dan perbudakan dosa. Karena itu, Dia menampilkan diri sebagai orang yang MENCINTAI. Cinta yang mendalam hingga harus wafat di salib. 

Para pengikutnya dan lebih khusus, para biarawan dan biarawati punya tugas yang sama dengan Dia. Jangan berlaku hanya mencari popularitas diri di bawah payung gereja, jangan memilah-milah umatmu, jangan mencari supaya dihargai dan dihormati. Yesus membawa nilai, kemanusiaan, keadilan, kedamaian, kebebasan dengan CINTA YANG MENDALAM. tugas kita juga sama. Cintaila umatmu dengan menebarkan nilai yang diwartakan Yesus. 

Marilah bersama kobarkan semangat CINTA dengan tulus bagi siapa saja, terutama bagi mereka yang tertindas, terjajah, termarginal, tersingkir, terasing, dan sebagainya. Karena kalau kita melakukan itu, ksalah satu pewartaan Yesus dapat kita wujudkan. Salam.

Sumber: https://www.facebook.com/Honny Pigai