PAPUA MEMBARA, BUTUH SENTUHAN HATI




(oleh Selpius Bobii_ Prisoner Abepura, Papua Indonesia
PAPUA MEMBARA, BUTUH SENTUHAN HATI


Oleh: Selpius Bobii.      

Penjara Abepura: 25 Agustus 2013


"Di Suriah ratusan warga sipil mati dalam sekejab mata karena diduga serangan senjata gas beracun pada hari Rabu, 21 Agustus 2013 di dekat ibu kota Damaskus - Suriah; sedangkan di Papua ratusan ribu warga Papua mati terbunuh dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun karena serangan operasi militer Indonesia secara terbuka dan terselubung yang ditempuh secara terencana, sistematik, dan terukur dari sejak tahun 1960-an sampai saat ini". (Data pendukung silahkan baca di web: www.scoop.co.nz/stories/HL1303/S00152/annihilation-of-indigenous-west-papuans-challenge-and-hope.htm). 

Dewan Keamanan PBB menggelar rapat mendadak untuk membahas dugaan penggunaan senjata gas beracun di Suriah pada hari Rabu itu. Untuk memastikan pihak mana yang menggunakan gas beracun menyerang warga sipil di Damaskus itu, PBB telah membentuk dan mengutus Tim Pencari Fakta. Karena penggunaan senjata pemusnahan massal, seperti gas beracun masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan. 

Sementara itu, Amerika Serikat sedang mempertimbangkan untuk melakukan agresi militer ke Suriah, jika terbukti bahwa serangan senjata pemusnah massal itu dilakukan oleh militer pemerintah Suriah. (Sumber: www.voaindonesia.com). 

Bagaimana dengan masalah kejahatan kemanusiaan oleh RI di tanah Papua? Apa sikap dan tindakan PBB untuk Papua Barat? Orang Papua mati setiap hari karena berbagai sebab, dan ini memang berada dalam rencana sistematik dan terukur oleh RI untuk memusnahkan etnis Papua. Apakah negara negara di dunia dan PBB akan terus membiarkan Republik Indonesia menjajah bangsa Papua sampai etnis Papua musnah dari tanah leluhurnya? (Data pendukung silahkan Anda kunjungi di web: www.scoop.co.nz/stories/HL1308/S00090/genocide-of-ethnic-papuans-for-whom-what-was-un-created.htm).

Mungkin mereka berpikir bahwa masalah Papua tidak serumit seperti masalah kemanusiaan di Suriah. Tetapi mereka belum melihat kondisi Papua Barat dari dekat secara teliti dan mendalam. Papua sedang terjadi darurat kemanusiaan terselubung yang amat mengerikan secara sistematik, terencana dan terukur. 

Papua terus membara. Sumber api pertama dan terutama adalah aneksasi bangsa Papua ke dalam NKRI melalui invasi politik dan militer. Dalam proses aneksasi itu ada empat pihak terlibat untuk memasang "api konflik" di Papua, yaitu: Indonesia sebagai inisiator dan aktor utama aneksasi, Belanda sebagai aktor dan juga sebagai korban agresi, Amerika Serikat sebagai perancang dan pendukung utama aneksasi, dan PBB sebagai eksekutor. Serta pihak kelima adalah bangsa Papua sebagai korban abadi konspirasi kepentingan ekonomi, politik dan keamanan.    

Api konflik Ideologi Politik Mabruk dan Ideologi Politik Pancasila telah merembes masuk dan menghancurkan sendi sendi kehidupan bangsa Papua. Api konflik ini telah melahirkan berbagai percikan api konflik. Kobaran api konflik terus membakar hak hak dasar masyarakat pribumi Papua, termasuk membakar hak hidup. 

Asap tebal terus mengepul dari dapur konflik (Tanah Papua). Berbagai pihak telah melihat asap tebal yang terus mengepul ini. Ada asap, maka tentu ada api. Sebaliknya, ada api, maka tentu ada asap. Demikian pula ada konflik, maka tentu ada korban. Sebaliknya, ada korban, maka tentu ada konflik. 

Selama ini berbagai cara dilakukan oleh orang Papua dan solidaritas Internasional untuk memadamkan kobaran api konflik utama dan berbagai percikan api konflik itu, namun nyala api konflik terus menjalar. Karena Negara Indonesia didukung oleh para sekutunya terus mempertahankan dan menyebar-luaskan berbagai api konflik di tanah Papua.    

Untuk memadamkan api konflik di tanah Papua dibutuhkan keterlibatan semua pihak, lebih khusus Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB sebagai aktor, serta Papua sebagai korban abadi konspirasi kepentingan. Api konflik utama dan pertama yang harus dipadamkan terlebih dahulu adalah api konflik sejarah  politik Bangsa Papua. Karena api konflik ideologi Politik ini telah melahirkan berbagai percikan api konflik.  Jika api utama ini ditangani dan dipadamkan, maka percikan api konflik lainnya akan ikut padam juga. Dan sebaliknya, jika api konflik utama itu tidak dipadamkan, maka berbagai api konflik terus berkobar sampai etnis Papua terbakar hangus, alias musnah dari tanah leluhurnya. 

Semua pihak yang berhati mulia dan menjunjung tinggi nilai nilai kebajikan memiliki tanggung jawab moral, baik secara langsung dan tidak langsung untuk menangani dan memadamkan api konflik antara pendukung ideologi Pancasila (pro NKRI) dan pendukung ideologi Mabruk (pro Papua Merdeka). 

Sepanjang api konflik antara pendukung dan penganut dua ideologi ini tidak dituntaskan, maka selama itu pula api konflik terus berkobar membakar hangus umat manusia yang tidak bersalah.    Selama itu pula air mata darah dari bangsa Papua terus akan menetes untuk menebus sebuah kebebasan total. Dan suara suara pembebasan dari orang Papua akan terus berkumandang sampai revolusi iman terwujud di tanah Papua. 

"Bangsa Papua tidak minta barang milik orang lain. Kami hanya minta mengakui hak asasi politik bangsa kami, bangsa Papua sebagai sebuah negara bangsa yang merdeka penuh, sama seperti negara negara/ bangsa bangsa merdeka lain di dunia". Itulah iman, kerinduan dan harapan bangsa Papua. 

Dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada pada kami, bangsa Papua terus akan berjuang sampai revolusi iman terwujud di tanah Papua. Dan selanjutnya dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada pada bangsa Papua, akan membangun negeri Papua di atas kakinya sendiri.  

Semoga suara bangsa Papua dapat didengar dan ditindak-lanjuti oleh semua pihak di mana pun Anda berada untuk menegakkan nilai nilai luhur, seperti keadilan, kebenaran, demokrasi, kejujuran, Hak Hak Asasi Manusia dan kedamaian untuk semua. 

Doa dan air mata dari bangsa Papua terus menyertai Anda semua yang peduli dengan kami, di mana pun Anda berada dan berkarya. 

Salam solidaritas tanpa batas! 

Penulis: Selpius Bobii, Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat, juga sebagai Tahanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura)


Sekian Lama Bungkam untuk Papua, Masyarakat Pasifik Minta Maaf



Jayapura, Jubi – Pada tahun 1965, sedianya pertemuan konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam dilakukan di Hollandia (sekarang Jayapura). Saksi bisunya masih ada. Pemerintah Belanda membangun Gedung DPRD Papua untuk pelaksanaan Konferensi Pasifik Selatan ini. Namun pelaksanaan Konferensi SPC ini tidak terwujud. Papua Barat saat itu berada dalam status sengketa dan menunggu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sejak saat itulah, hubungan antara Papua dan negara-negara Pasifik seakan putus.
Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) - Jubi


“Sejak tahun 70 an, hubungan Papua dengan Pasifik putus. Sejak itulah kami tidak tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Padahal, Papua Barat sebelumnya adalah bagian dari Komisi Pasifik Selatan,” kata Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) kepada Jubi, Senin (7/9/2015).

Emele menambahkan, sejak media sosial hadir, masyarakat sipil di Pasifik mendapatkan akses untuk tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Media sosial, memberikan informasi tentang kekerasan di Papua Barat, selain pembangunan yang terjadi selama hubungan antara Papua Barat dengan Pasifik terputus.

“Media mainstream dan media sosial, memungkinkan kami mendapatkan informasi langsung dari Papua Barat tentang kekejaman pelanggaran HAM, sehingga kami bisa mengkonfirmasinya. Karena itulah kami bisa mendesak misi pencari fakta atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia,” kata Emele.


Sejak konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam gagal dilakukan di Jayapura, Papua Barat memang tak memiliki akses dengan Pasifik. Hubungan dengan Pasifik dalam segala lini putus dan beralih ke Jakarta. Demikian juga sebaliknya, negara-negara Pasifik seakan tak memiliki sejarah dengan Papua Barat. Sama halnya dengan masyarakat sipil di Pasifik. Segala peristiwa yang terjadi di Papua Barat, luput dari perhatian mereka. Kekerasan, pembunuhan, perampasan tanah, hingga “pembunuhan” budaya orang asli Papua, melintas begitu saja di atas Pasifik. Mereka bungkam.
Namun lima tahun terakhir, solidaritas Pasifik untuk Papua muncul. Seperti dikatakan Emele, solidaritas ini muncul seiring eksisnya media sosial di Pasifik sebagaimana di belahan dunia lain.
“Pasifik tidak bisa diam lagi. Terutama masyarakat sipilnya. Masyarakat sipil di pasifik berkewajiban membuat pemerintah mereka peduli pada apa yang terjadi di Papua Barat,” kata Emele.


Masyarakat Sipil di Pasifik, lanjut Emele, sepakat untuk mendesak pemimpin negara-negara Pasifik yang akan bertemu minggu ini dalam Pasific Islands Forum (PIF) di Port Moresby untuk membicarakan masalah Papua Barat, selain perubahan iklim.
“Dua hal yang kami dorong untuk pemimpin-pemimpin di Pasifik, perubahan iklim dan dugaan pelanggran HAM di Papua Barat,” ujar Emele.


Perempuan Fiji ini juga mengatakan masyarakat sipil di Pasifik meminta maaf karena telah bungkam sekian lama atas penderitaan saudara-saudara mereka di Papua Barat.
“Dalam pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations di Port Moresby 1-3 September lalu, kami telah menyampaikan pada publik permintaan maaf kepada rakyat Papua Barat atas ketidakpedulian kami dan sekian lamanya kami bungkam, tidak bereaksi atas penderitaan saudara-saudara kami di Papua Barat,” jelas Emele.

Ia menambahkan, dua rekomendasi dari pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations ini akan disampaikan dalam Civil Society Organisation Regional Forum di Port Moresby, yang dimulai hari Senin (7/9/2015) .

Perempuan Pemimpin Masyarakat Sipil Pasifik lainnya, Pefi Kingi QSM yang mewakili Pacificwin-Vagahau Niue Trust, mengatakan masyarakat sipil di Pasifik sepakat untuk mendesak negara-negara Pasifik yang hadir dalam PIF untuk mengirimkan misi pencari fakta ke Papua Barat yang terdiri dari delegasi PIF, masyarakat sipil dan pemimpin gereja. Pertemuan masyarakat sipil se Pasifik ini juga sepakat untuk mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB sebagai langkah penting untuk kemerdekaan Papua Barat.
“Kami kembali mengingatkan kepada para pemimpin negara-negara Pasifik, Pasifik belum bebas sampai Papua Barat merdeka,” ujar perempuan Maori ini.

Terpisah, Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor mengatakan suara masyarakat sipil menjadi prioritas utama dari sekretariat Forum Kepulauan Pasifik (PIFs). Suara masyarakat sipil, kata Meg taylor, sangat penting dalam mengembangkan kebijakan daerah, terutama informasi untuk para pemimpin negara-negara anggota PIF.

“Saya seorang pendukung utama masyarakat sipil, dan saya percaya bahwa masyarakat sipil yang kuat dan bersemangat sangat penting untuk wilayah kita,” ujar Meg Taylor saat membuka forum regional Organisai Masyarakat Sipil Pasifik di Port Moresby, Senin (7/9/2015).
Meg Taylor yakin, forum ini sangat penting karena menyediakan ruang bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan tentang beberapa isu kunci yang akan disampaikan pada forum pemimpin Kepulauan Pasifik. (Victor Mambor)

Sumber : www.tabloidjubi.com

Aktivis Papua: Permintaan Maaf Tak Cukup, Rakyat Butuh Tindakan Nyata

Peneas Lokmbere (Dok. Jubi)
Jayapura, Jubi – Aktivis Hak Asasi Manusia mengatakan permintaan maaf yang disampaikan Pandam XVII Cendrawasih bertepatan dengan HUT  TNI ke 70 sebagaimana yang diberitakan media ini, Senin (5/10/2015) harus tindakan nyata, bukan obral kata-kata semu.
“Rakyat Papua tidak menerima permohonan maaf yang disampaikan Pangdam. Silahkan memohon maaf dengan kata-kata tetapi banyak rakyat Papua hari ini tidak butuh itu,”ungkap Peneas Lokbere, Kordinator Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua, di Abepura, Selasa (6/10/2015)


Kata Lokbere, rakyat Papua hari ini lebih membutuhkan tindakan nyata. Pertama, institusi keamanan Republik Indonsia di Papua, baik Pangdam maupun Kapolda Papua harus melakukan evaluasi resmi atas keamanan di Papua.
Evaluasi sangat penting, lantaran makin maraknya kasus-kasus penembakan terhadap warga sipil di Papua. Semua yang terjadi harus diungkap untuk melindungi rakyat.
Kedua, Rakyat Papua butuh TNI maupun Polri merubah pola pendekatan terhadap rakyat. Rakyat ingin TNI dan PoLRI yang menghargai HAM, tidak represif.
Ketiga, Pangdam dan Kapolda mengumumkan hasil penyelidikan kasus Paniai. Rakyat Papua menanti itu daripada permintaan maaf murahan yang tidak akan menyelesaikan luka orang Papua.
                 

Sementara itu Yanuarius Lagiwan, Sekretaris Jendral, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tegah Papua se-Indonsia (AMPTPI) mengatakan, tidak hanya minta maaaf tetapi Pangdam harus memberikan rasa keadilan bagi korban.

Kata Lagowan, Pangdam sudah tahu, anggota TNI mana yang melakukan tindakan brutal terhadap rakyat Papua. Kalau sudah tahu, Anggota TNI yang nakal itu harus diproses hukum.
“Ungkapan permintaan maaf saja tidak cukup. Kalau Pangdam sudah tahu ada kesalahan anggotanya maka harus ungkap dan adili semua anggota TNI yang melakukan kejahatan, sehingga semua orang yang mengalami kekerasan oleh TNI bisa merasakan keadilan,”tegasnya. (Mawel Benny)


Pemkab Biak Numfor Tutup Semua Tempat Penjualan Miras



Biak, Jubi – Pemerintah Kabupaten Biak Numfor telah menutup semua tempat –tempat penjualan minuman beralkohol di wilayah itu sejak 17 Agustus 2015 lalu.
Bupati Biak Numfor Thomas Ondy menegaskan, pihaknya benar-benar memerangi Miras dan seruan ini sudah disosialisasi sampai kepada mereka yang hidup di kampung-kampung.
“Saat ini semua surat izin tempat usaha dan sejenisnya tidak lagi diperpanjang. Apabila kedapatan, yang bersangkutan akan berhadapan dengan hukum yang berlaku,” tegas Bupati Thomas di sela-sela jamuan kasih bersama Muspida Provinsi Papua di salah sau Hotel ternama di Kota Biak, Minggu (18/10/2015).

Foto: Jubi / Engel Wally
“Miras bukan bagian dari budaya orang Papua. Dengan mengkonsumsi miras sudah banyak generasi muda Papua yang kehilangan nyawa, mental mereka menjadi rusak, dan juga penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga,”ujar Ondy.
Ketika disinggung dari sisi pendapatan asli daerah, Ondy mengatakan daerahnya masih punya sumber-sumber yang bisa diandalkan untuk pendapatan asli daerah. “Sumber daya alam disini masih cukup menjanjikan untuk diolah dan dijadikan sumber pendapatan. Apa gunanya pemasukan besar tetai sumber daya manusianya rusak akibat miras,” ujarnya.


Hal ini lalu diapresiasi oleh Gubernur Papua Lukas Enembe. Menurutnya gerakan yang dilakukan untuk memerangi Miras bukan hanya di Biak, tetapi diseluruh Kota dan Kabupaten di Papua sedang mengkapanyekan penutupan tempat penjualan miras.
“ Saya salut dengan pemimpin daerah yang terus memikirkan masyarakanya, miras ini sudah bukan budaya kita. Malah miras yang merusak budaya kita yang sesungguhnya, maka hal ini harus dilawan oleh semua masyarakat yang ada di papua,” kata gubernur. (Engel Wally).