Evo Morales Akan Bicara Keadilan Sosial Dengan Paus Fransiskus


Rencananya, hari Kamis (14/4) waktu Bolivia, Presiden Bolivia Evo Morales akan berkunjung ke Vatikan. Di sana dia akan bertemu dengan Paus Fransiskus.

Evo sendiri dijadwalkan akan bertemu dengan Paus Fransiskus pada hari Jumat (15/4). Kemudian, pada hari Sabtu (16/4), Evo bersama dengan Presiden Ekuador Rafael Correa akan menghadiri undangan Paus dalam pertemuan yang membicarakan keadilan sosial.
“Aku diundang oleh Paus untuk bicara beberapa isu penting, tidak hanya di Bolivia, tetapi juga konflik lain yang terjadi di seluruh dunia,” kata Evo seperti dikutip teleSUR, Kamis (14/4).
Sebelumnya, pada bulan Juli 2015 lalu, Paus Fransiskus mengunjungi Bolivia. Selain bertemu dengan umat dan gereja Katolik di Bolivia, Paus juga bertemu langsung dengan Presiden Evo Morales.
Pertemuan Paus dan Evo itu langsung membuat dunia gempar. Pasalnya, saat itu Evo Morales memberikan hadiah salib berbentuk palu-arit kepada Paus Fransiskus.
Kelompok konservatif di Gereja Katolik langsung menyerang dan menganggap hadiah itu sebagai penghinaan. Tetapi pemerintah Bolivia segera merespon, bahwa hadian salib palu-arit itu merupakan bentuk penghormatan kepada keberpihakan Paus Fransiskus terhadap kaum miskin.
Evo sendiri memuji Paus Fransiskus sebagai “Paus-nya kaum miskin”. Dia juga mengatakan, “Paus selalu disisi kaum yang terpinggirkan, terkecualikan, dan kaum miskin. Oleh karena itu, Paus akan selalu di sisi rakyat yang sedang dalam proses pembebasan.”
Kunjungan Evo ke Vatikan bersamaan dengan munculnya tudingan kelompok gereja Katolik Bolivia, yang menuding pemerintahan Evo Morales terkait dengan perdagangan narkoba.
Pemerintahan Evo sendiri sudah merespon tudingan gereja itu dan mendesak pihak Gereja untuk segera mengumumkan nama pejabat yang dituduh terkait perdagangan narkoba.
Raymond Samuel


BOLIVIA; JUAN EVO MORALES


 
Hugo Rafael, Presiden Venezuela, Fidel Castro, Prediden Cuba Dan Evo Morales Presiden Bolivia
Kehidupan Evo Morales
Juan Evo Morales Aima, Lelaki kelahiran 26 Oktober 1959 di di Wilayah Oruro, di Altiplano(daerah Dataran Tinggi) Bolivia. Evo, demikian ia akrab dipanggil, lahir di Orinco, sebuah kota pertambangan Seperti banyak penduduk asli di Dataran Tinggi, keluarganya pindah ke dataran rendah di Bolivia timur pada awal tahun 1980-an.

Keluarganya menetap di Chapare. Di sana mereka menjadi petani, termasuk menanam pohon koka, bahan mentah yang dibutuhkan untuk menghasilkan kokain. Sebelum terjun dalam arena perjuangan elektoral, Evo Morales adalah anggota dari gerilya bersenjata Tupac Katari pada tahun 1990an.

Keterlibatannya itu, mengantarkan dirinya ke penjara selama lima tahun. Selepas masa kurungan, sosok Evo tampil sebagai figur pembela kepentingan masyarakat adat Indian yang paling konsisten, khususnya dari suku terbesar Quecha dan Aymara. Morales berasal dari suku Indian (Aymara).

Dalam peranannya sebagai organiser, penggerak, dan pemimpin gerakan rakyat Bolivia, Evo sebagai musuh nomor satu pemerintah AS. Ia dituduh sebagai seorang “narco-teroris,” dan merupakan “ancaman bagi stabilitas” di kawasan itu.

Mantan duta besar AS di Bolivia, Manuel Rocha, dalam pemilu presiden 2002, pernah mengancam rakyat Bolivia agar tidak memilih Evo, yang disebutnya sebagai “narco-cocaine producer” and “instrument” dari Hugo Chavez dan Fidel Castro. Jika rakyat tetap memilih Evo, maka pemerintah AS akan mempertimbangkan untuk menghentikan bantuannya kepada Bolivia. Sebaliknya, Evo adalah perlambang dari sebuah masyarakat adat yang terpinggirkan, terisolasi dan terdiskriminasi. Ia adalah tokoh yang diharapkan bisa mengatasi kemiskinan dan marginalisasi masyarakat adat yang merupakan mayoritas.

Dalam bahasa Luis Macas, presiden dari Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (CONAIE), sebuah organisasi gerakan sosial yang paling kuat, kemenangan Morales merupakan peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi sejak negeri itu merdeka dari penjajahan Spanyol sebad lalu.
Kemenangan Evo bukan hanya kemenangan rakyat Bolivia tapi, juga kemenangan seluruh wilayah Amerika Latin. Rigoberto Menchú, seorang aktivis suku Indian Mayan, penerima hadiah nobel perdamaian pada 1992 mengungkapkan bahwa baginya, kemenangan Morales merupakan angin segar bagi penduduk asli, bahwa kemenangan Morales “merupakan sebuah preseden penting bagi perjuangan sosial di seluruh wilayah.” 

Dalam penampilan sehari-hari, Evo lebih menyukai penampilan yang bersahaja sangat jauh dari kesan militeristik dan formalistik. Bahkan misalnya saat menjumpai Presiden Jacques Chirac di Paris, ia lebih suka mengenakan busana favoritnya yang sederhana, yaitu jaket kulit atau pakaian semacam sweater yang dibuat dengan alpaca (bahan pakaian tradisional yang banyak dibuat orang-orang Indian). Begitu sederhananya, sehingga soal pakaian Evo Morales disoroti oleh sebagian media massa berbagai negeri lebih banyak daripada politiknya.

Ada yang menganggap bahwa pakaiannya yang sederhana ini, bahkan tanpa memakai dasi, kurang menghormati protokol. Secara pribadi, Morales pernah mengungkapkan rasa kagumnya terhadap aktivis pribumi Guatemala, Rigoberta Menchú, dan Fidel Castro. Ia kagum terhadap Castro karena perlawanannya terhadap AS. Morales juga percaya bahwa masalah kokain harus dipecahkan pada sisi konsumsinya, bukan dengan mengatur tanaman koka, yang sudah legal di daerah-daerah tertentu di Bolivia.

Ideologi Morales tentang narkoba dapat diringkas dalam kata-kata “daun koka bukanlah narkoba”. Kenyataannya, mengunyah daun koka telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat (Aymara dan Quechua) dan pengaruh obatnya tidak sekuat kafein yang terdapat di dalam kopi, namun bagi banyak rakyat Bolivia yang miskin ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk bekerja terus sepanjang hari — bagi sebagian orang itu bisa berarti 15 hingga 18 jam sehari.

Praktek mengunyah daun koka oleh penduduk pribumi di Bolivia sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun dan tidak pernah menimbulkan masalah narkoba di masyarakat mereka. Itulah sebabnya Morales percaya bahwa masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya, bukan dengan membasmi perkebunan koka.
Pemerintahan Morales sangat berbeda pendapat dengan Amerika Serikat dalam masalah undang-undang anti narkoba dan kerja sama antara kedua negara itu, namun para pejabat dari kedua negara telah mengungkapkan keinginan untuk bekerja sama dalam membasmi perdagangan narkoba. Sean McCormack dari Departemen Luar Negeri AS memperkuat dukungan terhadap kebijakan anti narkoba Bolivia, sementara Morales menyatakan: Kami akan menerapkan kebijakan nol kokain, nol perdagangan narkoba, namun bukannya nol koka.


Karir Politik Evo Morales
EVO adalah pemimpin sayap kiri gerakan cocalero Bolivia. Ini merupakan sebuah gerakan federasi longgar para campesino penanam daun koka yang melawan usaha-usaha pemerintah Bolivia untuk menghapuskan koka di provinsi Chapare di Bolivia tenggara. Morales juga seorang pemimpin Gerakan Menuju Sosialisme (Movimiento Al Socialismo/MAS) yang merupakan sebuah partai politik di Bolivia.

Ketika ia melihat bahwa perjuangan sosial di kalangan petani-petani coca ini perlu ditingkatkan menjadi gerakan politik, maka partai yang bernama MAS yang dipimpin Evo Morales menjadi kekuatan politik yang terbesar dan terkuat di Bolivia. Melalui kampanyenya yang terang-terangan mengutuk kejahatan-kejahatan perusahaan-perusahaan multinasional, mengkritik praktek-praktek neoliberalisme dan globalisasi yang dilakukan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO, Evo Morales juga banyak bicara tentang pentingnya negara Bolivia mengkontrol pengelolaan gas bumi, yang merupakan cadangan besar sekali di benua Amerika Latin.

Morales juga mengatakan bahwa ia tidak menyukai kapitalisme. Sejarah penjajahan Spanyol di Bolivia menunjukkan bahwa penjarahan besar-besaran kekayaan bumi Bolivia yang berupa timah hanya untuk kekayaan kapitalis-kapitalis Spanyol, sedangkan orang-orang dari suku Indian, yang merupakan mayoritas penduduk, tidak mendapat apa-apa atau sedikit sekali.

Pada masa reformasi ekonomi di tahun 1990-an, para mantan petambang mulai juga menanam koka dan ikut menyumbang perekonomian Bolivia yang kian meningkat dalam produksi dan penyelundupan narkoba internasional. Hal ini menjadi tersendat dan tidak lancar ketika pemerintahan Presiden Hugo Banzer mengupayakan penghapusan narkoba yang didukung Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an. Mulai saat itu muncul berbagai ketegangan disertai banyak bentrokan dan protes. Sebagai pemimpin para cocaleros, Morales terpilih menjadi anggota Kongres Bolivia pada 1997. Ia mewakili provinsi Chapare dan Carrasco de Cochabamba dengan 70% suara di distrik itu. Ini merupakan jumlah terbanyak di antara 68 anggota parlemen yang terpilih langsung dalam pemilu tersebut. 

Pada Januari 2002, ia dipecat dari kursinya di Kongres karena tuduhan terorisme yang berkaitan dengan berbagai kerusuhan. Demonstran menentang penghapusan penanaman koka di Sacaba pada bulan itu.

Empat petani koka, tiga tentara dan seorang perwira polisi terbunuh. Tetapi, ada yang menyebutkan pemecatannya dikarenakan bermacam tekanan berat dari kedutaan besar Amerika Serikat yang menuntut agar ia disingkirkan dari pemerintahan.


Garis waktu perjalanan keliling dunia Morales
·         30 Desember 2005: Evo Morales berkunjung ke Kuba setelah merayakan kemenangannya di kotanya Orinoca. Di Havana Morales disambut dengan karpet merah dan mendapatkan kehormatan lengkap dari Presiden Fidel Castro. Morales menandatangani perjanjian kerja sama antara Bolivia dan Kuba yang berisi janji Kuba untuk membantu
Bolivia dalam masalah-masalah seperti kesehatan dan pendidikan. Dalam pidatonya Morales menggambarkan Castro dan Chávez sebagai “kamerad dalam perjuangan pembebasan benua Amerika dan dunia”.[5]
·         3 Januari 2006: Bertemu dengan Hugo Chávez di Caracas. Chávez menawarkan
Bolivia 150 000 barel minyak solar per bulan untuk menggantikan impor dari negara-negara lain. Sebagai gantinya, Bolivia akan membayar
 Venezuela dengan hasil pertanian dari Bolivia.[6]
·         4 Januari 2006: Perdana Menteri Spanyol José Luis Rodríguez Zapatero menerima Morales di Istana La Moncloa. Zapatero mengumumkan penghapusan utang Bolivia kepada Spanyolsebesar 120 juta euro.
·         5 Januari 2006: Raja Juan Carlos menerima Morales di istananya di La Zarzuela.
·         Media Spanyol mengkritik Morales karena berpakaian tidak formal, dengan hanya mengenakan sweater yang terbuat dari wol alpaca dengan motif Amerindian dan warna-warna dalam pertemuannya dengan raja.[7] Pada saat yang sama José María Aznar mengumumkan bahwa ia akan menggunakan organisasi pengumpulan dana pribadinya untuk melawan Castro, Morales dan Chávez.[8]
·         6 Januari 2006: Bertemu dengan Presiden Perancis Jacques Chirac di Paris. Chirac menjanjikan bantuan ekonomi dan politik sejauh investasi Perancis di Bolivia dilindungi.[9] Pada hari yang sama ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot yang menjanjikan bantuan sebesar €15 juta per tahun.
·         7 Januari 2006: Bertemu dengan Javier Solana di Brussels yang juga menjanjikan dukungan ekonomi untuk Bolivia sebagai ganti perlindungan untuk investasi-investasi Eropa di Bolivia.[10]
·         9 Januari 2006: Bertemu dengan Hu Jintao dan Menteri Perdagangan Tiongkok Bo Xilai. Morales mengundang pengusaha dan pemerintah Tiongkok untuk menanam modal di proyek-proyek eksplorasi dan eksploitasi gas alam dan ikut serta dalam pembangunan pengilangan gas di Bolivia.[11]
·         10 Januari 2006: Morales diterima di Pretoria oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki. Morales membandingkan kunjungan bangsa Afrika Hitam di masa Apartheid dengan kunjungan bangsa-bangsa Amerindian di benua Amerika.[12]
·         11 Januari 2006: Bertemu dengan uskup agung Desmond Tutu yang melukiskannya sebagai manusia yang ‘sangat rendah hati dan hangat’, serta dengan bekas presiden F.W. de Klerk.[13]
·         13 Januari 2006: Berkunjung ke Brasil dan bertemu dengan Presiden Luiz Inácio Lula da Silvadan menggambarkannya sebagai “kamerad dan saudara.” Morales dan Lula sepakat bekerja sama dalam program mengakhiri kemiskinan.[14]


Presiden Nasionalisasi
Dalam kampanye pemilihan presiden, Evo Morales berjanji menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang menguasai ladang-ladang minyak dan gas Bolivia, dan pada akhirnya Morales benar-benar memegang kata-kata yang pernah meluncur dari lidahnya. Dunia sudah mafhum, siapapun yang mengangkat isu nasionalisasi tentu akan berhadapan dengan negara-negara barat dan kekuatan kapitalisme global.

Begitu meraih kursi Presiden dalam pemilu bulan lalu, Morales langsung menyumbangkan separuh gajinya buat negara, ia merangkul Presiden Venezuela Hugo Chaves membentuk “poros kebaikan”. Lalu menasioanalisasi” industri energi gas alam yang nerupakan terbesar kedua di Amerika Latin setelah Venezuela. Evo Morales juga melakukan rangkaian lawatan keempat benua.

Dalam berbagai lawatannya ia bersumpah akan meningkatkan kontrol negara atas sumber gas alam Bolivia.
Setelah terpilih menjadi presiden Bolivia, Morales justru menyatakan baru saja memulai langkah. Saat dilantik sebagai presiden pada 22 Januari 2006 ia mengatakan, “Telah sepatutnya kita memulai era baru. Sebuah era untuk menemukan keadilan sosial. Waktunya menemukan kesetaraan, juga kemerdekaan bagi warga kita,” kata Morales, ketika itu.

Rencana Morales itu disampaikan saat berada di Spanyol. “ya kami akan nasionalisasi. Presiden yang anti pasar bebas ini memang bersumpah akan meningkatkan kontrol negara atas sumber-sumber gas alam negerinya. Morales bakal meninjau ulang kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan minyak asing saat mulai berkantor.  

Namun, tantangan langkah “nasionalisasi” tersebut tak kecil. salah Satunya, negara-negara Eropa risau akan terjadinya pengambilalihan besar-besaran. Uni eropa mendesak Morales menjamin Investasi asing untuk mengubur keresahan negara-negara Barat. bahkan Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Javier Solana meminta jaminan resmi Morales atas investasi asing dengan alasan Bolivia adalah sebuah negara yang memerlukan uang dari luar negeri lewat investasi asing.  

Hasil Bumi, Milik Masyarakat Pribumi

Presiden pribumi pertama Bolivia ini bertekad menggunakan pendapatan dari sektor energi untuk memangkas kemiskinan di seluruh negeri. “Pemerintahan saya akan menggunakan hak atas kekayaan alam dengan sebaik-baiknya, itu bukan berarti pemerintahnya akan menyita kekayaan milik perusahaan asing. 

Pada Peringatan Hari Buruh, 1 Mei 2006, Morales Mulai Merealisasikan Rencana Besarnya. Dalam Pidatonya Itu, Morales Mengingatkan; “Perusahaan Minyak Asing Yang Beroperasi Di Bolivia Untuk Tunduk Pada Ketentuan Proporsi Pemilikan Yang Akan Ditetapkan Pemerintah Bolivia”.

Selain Itu, Semua Penjualan Produk Mereka Juga Diatur Pemerintah Bolivia. “Jika Menolak, Mereka Kita Persilakan Keluar Dari Negeri Ini,” Kata Morales, Saat Itu. “Saat Ini, Penjarahan Sumber Alam Kita Oleh Perusahaan Asing Telah Berakhir.”Tidak Hanya Sampai Disitu, Pada 1 Mei 2006, Presiden Morales Juga Mengumumkan Nasionalisasi Cadangan Gas Alam Negara Itu Di Andean, Terbesar Kedua Di Amerika Selatan Setelah Venezuela”.

Pemerintah Bolivia merundingkan kembali kontrak-kontrak yang telah dibuat dengan perusahaan-perusahaan asing. Sekutu Chavez lainnya, Presiden Ekuador Rafael Correa, memperingatkan rencana-rencana negara kaya minyaknya akan meninjau ulang semua kontrak untuk semua eksplorasi di wilayahnya dan mungkin membatalkan beberapa perjanjian.

 Petrobras, Repsol YPF, British Gas Bolivia Corporation, Andina, Chaco, Matpetrol dan Pluspetrol, pada 29 oktober 2006 kontan meneken kesepakatan. Dua perusahaan lainnya, Total SA dan Vintage Petroleum, telah menandatangani kontrak sehari sebelumnya. Dengan Nasionalisasi Itu, Bolivia Akan Menikmati 82 Persen Penerimaan Gas Dan Minyak Bumi Hasil Eksploitasi Perusahaan-Perusahaan Asing Tersebut.  Angka Itu Naik Pesat Dari Sekitar 50-An Persen Sebelumnya.

Saat diwawancarai media terkemuka Jerman, Der Spiegel, beberapa waktu lalu, Morales ditanya apakah sikapnya yang seakan memusuhi kekuatan ekonomi global itu tidak membuatnya khawatir akan masa depan rakyat Bolivia.

Saat itu Morales menjawab tenang, namun dalam. Sedalam pengalamannya melawan tirani sistem yang mengungkung kaum Indian, warga mayoritas di Bolivia. Tak ada yang diberikan kapitalisme kepada rakyat Bolivia, kecuali kemiskinan dan penindasan,” katanya.

Wartawan Spiegel mengaku, beberapa saat ia kehilangan pertanyaan. Langkah nasionalisasi ala Morales, bahkan tidak berhenti disini. Pada haris Selasa 1 Mei 2007, di La Paz, Morales bahkan mengumumkan bahwa negara kembali mengontrol semua bisnis asing, khususnya migas. Sebanyak 12 perusahaan asing telah bersedia menandatangani kontrak migas baru. Kontrol yang paling menonjol adalah bisnis minyak dan gas yang selama ini dikuasai asing.

Keturunan indian Quechua ini disebut berhasil menaklukkan para Goliat, julukan raksasa minyak asing yang ditakuti. Kontrol tersebut berlaku secara resmi sejak 1 Mei, atau setahun sejak Morales mendeklarasikan hal tersebut. Sebagian bisnis migas sudah dikuasai sebelum 1 Mei 2007.

Ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 Joseph E Stiglitz mendukung penuh tindakan Morales. Stiglitz sudah sejak lama mempertanyakan peruntukan hasil migas Bolivia yang selama ini dinikmati investor asing dengan kolaborasi yang rapi dengan politisi keturunan Spanyol.

Dengan pengumuman Morales itu, perusahaan minyak negara Bolivia, YPFB (Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos, mirip Pertamina) akan mengontrol semua kekayaan alam dan gas. Presiden YPBF Guillermo Aruquipa mengatakan, negara sudah resmi menjadi pemilik semua kekayaan gas dan minyak.

Sebanyak 12 perusahaan minyak asing juga langsung menandatangani kontrak baru, setelah pengumuman resmi nasionalisasi tersebut. Perusahaan yang menandatangani kontrak bisnis migas yang baru itu antara lain Repsol YPF SA (Spanyol-Argentina) oleh Presiden Repsol YPF Luis Garcia Sanchez dengan Presiden YPFB president Guillermo Aruquipa.

Perwakilan perusahaan minyak asing lain yang telah bersedia menandatangani adalah Petrobras (Brasil), Total-Fina-Elf (Perancis Belgia), British Gas (Inggris).  Dengan Kontrak Baru Itu, Semua Perusahaan Asing Harus Menyetor 82 Persen Dari Penerimaan (Bukan Total Laba) Ke YPBF Dan Hanya 18 Persen Untuk Perusahaan Asing Sebagai Operator Eksplorasi Minyak.
Dengan kontrol negara tersebut, YPBF juga dengan leluasa mengontrol praktik penipuan keuangan yang umum dilakukan perusahaan asing, yang bertujuan mengelabui negara tempatnya beroperasi.
Namun, Morales sudah menyatakan dengan jelas, “Kami masih terbuka untuk sebuah negosiasi, karena kami sebagai keturunan indian percaya dengan prinsip dialog,” kata Morales.  “Namun jika negosiasi tidak berjalan, kami memberi waktu enam bulan bagi mereka untuk berpikir atau meninggalkan negara ini.

Kami tidak akan takut untuk mengambil hak kami,” Kata Morales. “Dominasi Asing Atas Kekayaan Kami Sudah Berakhir. Hormatilah Harkat Bolivia,” Kata Morales. Kekayaan Bolivia Dikuasai Asing Sejak Dekade 1980-An, Lewat Program Swastanisasi Yang Dicanangkan Bank Dunia Dan IMF.

Presiden Bolivia ini juga sudah menutup pintu bagi penyelesaian sengketa dengan perusahaan asing melalui peran afiliasi Bank Dunia,International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID).

Di Bolivia, militansi dan mobilisasi serikat-serikat buruh, para petani koka, dan kaum miskin kota El Alto mampu menjatuhkan Sanchez de Losada dan Carlos Mesa serta mendudukkan Evo Morales sebagai pemimpin pemerintahan untuk merealisasikan nasionalisasi perusahaan minyak. 

Evo Morales dengan berani mencanangkan kebijakan nasionalisasi industri gas, yang mendapatkan reaksi keras dari Washington. Pemerintah Bush dengan sepihak membatalkan bantuan militer sebesar US$1.6 juta dan bantuan lain yang berkaitan dengan pemberantasan perdagangan obat terlarang.

Niat serupa juga ditunjukkan Spanyol, dimana perusahaannya Repsol YP, yang merupakan perusahaan industri gas terbesar kedua di Bolivia, terancam dengan kebijakan nasionalisasinya Morales. Bolivia juga kehilangan dana sebesar US$170 juta dari pembatalan ekspor kacang kedele ke Kolumbia, setelah yang terakhir ini membuat kesepakatan dagang dengan AS. 

Di masa lalu, tindakan yang ditempuh Washington ini, sudah lebih dari cukup untuk menendang Morales dari istana kepresidenan. Tapi, dengan Presiden Venezuela, Hugo Rafael Chávez, di belakangnya, Evo hingga kini masih bertahan di kursi kekuasaannya.

Sumber: http. Migani.mala.aga.kutia. Com