BUDAYA SUKU MONI TENTANG BISNIS KULIT BIA KABUPATEN INTAN JAYA

Oleh : Krismas Bagau

Ilustrasi Foto:Misael Maisini
Papua adalah salah satu wilayah yang terluas di wilayah dan terletak dibagian ufuk timur ditengah pulau Papua. Di Pulau Papua ini berbatasan dengan Negara Papua Nugini. Kabupaten Intan jaya adalah salah satu kabupaten yang merupakan pemekaran dari kabupaten induk yaitu; Kabupaten Paniai, Propinsi Papua. Pemekaran “berawal dari Kabupaten Dati II Paniai (dulu di Nabire), kemudian pindah ke Kabupaten Paniai Enarotali, hingga Menentukan Kabupaten sendiri”. Dengan kehadiran Kabupaten Intan Jaya banyak pergeseran terhadap budaya dan adat secara pelan dan itu pasti. Dalam situasi demikian manusia Migani diperhadapkan pada harapan dan kenyataan, perubahan pergeseran pradigma pun pula semakin terkikis terhadap budaya dan adat yang sebenarnya. Orang moni berbicara bisnis Kulit Bia terus berlanjut hingga kini sebagai bagian dari eksitensi orang moni. Kulit bia ini digunakan sebagai alat transaksi dalam kehidupan orang Moni yang terus ada dan dipergunakan dalam politik tradisional.

Dengan melihat begitu banyak perubahan pergeseran politik tradisional secara dratis dan signifikan terhadap budaya dan adat istiadat yang menjadi kebiasan orang Moni/Migani tentang bisnis Kulit bia. Kebiasan itu mengalami perubahan pergeseran karena adanya perkembangan perubahan pola pikir orang Moni/Migani. Namun, dalam perjalanan sejarah tampaklah pergeseran terus menerus di alami. Perkembangan ekonomi dalam rangka kebudayaan, meliputi bisnis kuli bia amat kental dalam melaksanakan krhidupan harian. Manusia moni untuk memenuhi kebutuhan hidup orang moni tentu saja melakukan bisnis Kulit Bia.

Pranan kulit bia sering di identik dengan perkembangan zaman adalah politik paraktis sekarang. Untuk lebih memahami lebih jahu untuk melihat peranan kulit bia dalam penyelesaian beberapa dimensi Sejak dahulu hingga saat ini kulit bia masih dapat digunakan oleh suku moni sebagai alat pembayaran maskawin dan kulit bia itu sendiri dapat dimanfaatkan oleh suku moni untuk keperluan hidupnya. Kulit bia tidak hanya digunakan oleh suku moni sebagai alat pembayaran ala kuno selain uang yang digunakan sebagai alat pembayaran ala modern. Tidak diketahui secara pasti tentang asal-usul kulit bia yang sudah sedang dan akan digunakan oleh suku moni tersebut. Karena kulit bia hanya terdapat di daerah pesisir pantai. Anehnya dipengunungan terdapat kulit bia yang tak terhitung jumlahnya.

Kulit bia yang dimaksud itu pun ada keterbatasannya. Dan juga dalam budaya orang migani kulit bia itu sendiri ada tingkatan dan juga ada nama tersendiri. Yakni nam-nama kulit bia itu yang lebih besar nilainya beda juga dengan kulit bia yang tak ada nilai sama-sekali.

Sistem pembayaran dalam suku moni selalu dipatokan dengan cara pembayaran ibu dari anak perempuan yang hendak mau diminta atau dituntut maskawin.
Sistem di atas sudah dianggap sudah menjadi ketentuan umum yang berlaku dalam kehidupan budaya suku migani atau suku moni. Cara membayarnya itu ikut sesuai dengan “tubuh manusia’ bukan beli manusianya tetapi cara membayarnya hampir mirip dengan tubuh manusia. Pertama yang harus dibayar adalah “Indo”. Indo dianggap sebagai kepala. Yang kedua yang harus dibayar adalah “Hondo”. Hondo dianggap sebagai leher. Dan yang berikut adalah “saje”. Yang dimaksud dengan saje disini adalah bagian terkecil dari inti maskawin itu. Kemudian ditambah dengan “Wogo”. Wogo yang dimaksudkan disini adalah babi. Jadi babi juga digunakan untuk membayar maskawin. Bayar dengan babi pun tergantung pada pembayaran awal. Pembayaran awal yang saya maksudkan adalah disamakan dengan ketentuan dari ibu si anak perempuan.

Tingkatan nilai kulit bia yang digunakan untuk menbayar itu pun tergantung pada ketentuan dari pihak perempuan. Sampai saat ini dalam kehidupan suku moni tingkat nilai kulit bia mencapai dua belas (12) tingkat. Dua belas tingkat sama sama dengan nilai uang seratus juta dan seterusnya sampai tingkat yang paling rendah dengan senilai Rp.100.000 dan lainnya dapat disesuaikan dengan ketentuan dan kesepakatan.
Ilustrasi Foto: Misael Maisini

Orang Moni/Migani yang memiliki kulit bia banyak gampang sekali menindas kaum lemah dengan cara monopoli kekayan orang lemah dengan janji-janji palsu. Jika janjinya tidak terpenuhi berarti akan terjadi perang dengan orang yang pernah membuat perjanjian palsu untuk menganti rugi. Jika hal tersebut tidak terpenuhi berarti akan muncul perang. Perang adalah salah satu cara yang paling terbaik untuk mencari solusi untuk menyelesaikannya. Dibahwa ini akan menjelaskan nama-nama kulit bia sebagai alat bartel dalam berbagai situasi sampai sekarang digunakan untuk mengatasi persoalan.

Orang Moni-Migani mengangap kulit bia sebagai kebun (Indo). Kulit bia sebagai kebun dan dianggap sebagai alat transaksi dalam perdangan termasuk pembayaran maskawin. Orang yang memiliki kulit bia sebagai salah satu benda budaya yang dapat mengerakkan orang Moni/Migani untuk berjuang dan bersaing mengumpulkan uang sebagai harta kekayan. Kulit bia digunakan dalam berbagai kesempatan untuk transaksi dan bisa pula usaha barter.

Orang Moni/Migani yang memiliki kulit bia banyak sekali menindas kau lemah dengan cara monopoli kekayan orang lemah dengan janji-janji palsu. Jika janjinya tidak terpenuhi berarti akan terjadi perang dengan orang yang pernah membuat perjanjian palsu untuk menganti rugi. Jika hal tersebut tidak terpenuhi berarti akan muncul perang. Perang adalah salah satu cara yang paling terbaik untuk mencari solusi untuk menyelesaikannya. Dibahwa ini akan menjelaskan nama-nama kulit bia sebagai alat bartel dalam berbagai situasi sampai sekarang digunakan untuk mengatasi persoalan.

Dibahwa ini beberapa contoh kulit bia (alat barter) yang berputar di Kabupaten Intan Jaya yang kini masih mekakukandi kalangan kepala suku (sonowi). Nilai harga kulit bia dan nama kulit bia yang di sepakati dalam MUSPAS (Musyawarah pastorlar) yang di tulis oleh Pastor Domokikus Hodo. Pr. Keuskupan Timika adalah sebagai berikut:
No Nama kulit bia Nilai harga
kulit bia
1 Mbujubaga, nangabaga, jupabokote 100.000.000
2 Pogowindu, mayatabenoa 90.000.000
3 Waudungagatau, anambomanabo, kugumenambi, wagulusolomo 80.000.000
4 Kobosoju, tambulage, jomboimu 70.000.000
5 Sanisege, kaebaga, jubasaba 60.000.000
6 Ogombagela, mbalugela, sugupakitatuji 50.000.000
7 Jengemaga, pogupayu, kibaskibabaga 45.000.000
8 Jigitaga,wawogotaga, dagabukebe, mambasiguh, iabagawiabaga 40.000.000
9 Imbanemega,dinebaga 30.000.000
1 Taulibagamundabaga, sugalapawanibaga 25.000.000
Nungaibobaga, kendeabaga, gilipetaga, kigibigamebiga,mungasegebaga. 15.000.000
1 Degendogagaibaga, sugalapawanibaga, 10.000.000
1 Begebolalibaga, megalagagetambulage 5.000.000
1 Hujibagapunibaga, bulapagehologenoga 2.000.000
1 Tujimaga,mbagimetau, wagubagasobaga 1.500.000
1 Iwijo, mbagimetau, wagubagasogabaga 1.000.000
1 Duagojametau,segebaga 500.000
1 Mugule-agale 100.000
1 Kesene-obone 50.000

Masih ada banyak nama kulit bia lain lagi yang tersusun sampai sekecil-kecilnya, dan sudah tidak terpakai lagi atau sebaliknya ada peningkatan nilai uang dari nama-nama kulit bia yang sudah disebut di atas. Kemudian sebagian dari keseluruhan dan keseluruhan dari sebagian belum dapat tercantum. Kulit bia diatas yang selalu digunakan sampai saat ini terus berputar untuk melakukan transaksi. Dengan demikian kulit bia sebagai salah satu alat transaksi yang dapat menyelesaikan persoalan kehidupan masyarakat pada umumnya.

Persoalan yang di hadapi ketika bisnis kulit bia diperlakukan. Orang moni memandang manusia dari kelas kehidupan. Para kepala suku dalam melakukan lobing/muna-muna sering meyepelekan hak orang lain. Hal ini merupakan tindakan tidak menghargai manusia sebagai sesama saudaranya tetapi dihambakan dan dibudakkan oleh para zonowi. Umpamanya: hamba dikerjakan di lading/kebunnya dengan alasan, akan mengkawinkan dengan prempuan ini dan itu atau akan membayar harta maskawin ibu/ibunya sampai selesai dengan kulit bia maka sebagai tembusannya balas budinya nanti pihak laki-laki akan dibayarkan maskawin tersebut, turuti semua apa yang diperintahkan semua kepadanya. Ini sebuah janji dan janji ini kadang ditepati dan kadang tidak ditepati tergantung orang yang hatinya sungguh-sungguh mau membayar harta maskawinnya. 

Faham tuan dan hamba seperti yang disebutkan diatas tentang kulit bia menyihir manusia Migani. Sehingga muncurlah konsep sonowi, mbogowi, kogo dan deba. Kita dapat melihat secara terperinci terhadap masing-masing makna sebagai berikut:
1. zonowi adalah kepala suku yang memiliki istri (poligami), kulit bia banyak, ternak banyak, tanah sebagai hak ulayatnya memiliki beberapa hektar.
2. Mbogowi adalah hapir selever dengan zonowi tetapi kulit bia dan harta kekayaannya sedikit.
3. Kogo adalah orang yang tidak memiliki apa-apa dalam arti kekayaan yang dimiliki..
4. Deba adalah orang yang tidak bisa dengar tetapi hanya berbicara dengan bahsa isyarat.
Dengan demikian pemahaman konsep seperti di atas terjadi kepemimpinan dan penguasan dalam pola kehidupan yang sudah tertata rapih. Pembedaan itu terjadi dan terus terjadi karena adanya sebab maka ada akibat atau ada akibat maka ada sebab terjadinya pembedaan zonowi, mbogowi, kogo dan deba. Perbedaan itu terlihat dari hal kekayaan yang dihimpun dan termasuk binis kulit bia berhasil dan memiliki beberapa tingkatan yang berbeda-beda dalam jumlah yang banyak.

Posisi sonowi atau pemimpin tidak sepenuhnya diwariskan, namun sebagian diwariskan dan sebagian dirahi sendiri. Ayah sonowi tentu akan membina para putra yang dianggap berpotensi namun hal ini tidak menjamin keberhasilan penerusnya. Kemampuan pribadi amat dituntut untuk memperoleh posisi ini, apa bila seseorang memiliki kekuatan kulit bia yang melampau batas artinya bahwa kekuatan lebih banyak yang dimiliki dan memliki kekuatan supranatural, hal itu juga dianggap sebagai nilai tambah. Namun putra tertua menjadi pemimpin, maka ia akan diuntungkan. Sementara putra yang lain akan berjuang sendiri untuk mencapai kehidupan sonowi. Hal ini yang menjadi sonowi tidak selamanya berada dalam satu garis keturunan tetapi tergantung kepada usahanya dan kerja keraslah untuk mencapai sonowi. Dalam budaya Moni-Migani sonowi sama artinya dengan kepala suku yang menjadi pemimpin untuk menguasai dan memimpin. Memimpin terlihat dari sudaut kekepmimpinan yang dianggap menjadi sonowi.

Dalam budaya dan adat masyarakat Moni-Migani sebelum Gereja dan Pemerintah masuk di daerah Moni-Migani sudah mengenal kepemimpinan. Dalam kepemimpinan kita sering terlihat bagaimana memerintah dan diperintah terutama kepada kogo dan deba menjadi budak pekerja kebun mereka. Bagaimana bisa kita bayangkan diperbudak oleh yang berkuasa seperti diangap sebagai “kuda tunggangan” pekerja kasar, budak dalam rumah tangga. Seperti bangsa firaun membudak orang mesir. “Menurut P. Pigors mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan indivindu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama”. Sebuah pemahaman tentang zonowi, mbogowi, kogo dan deba menjadi budak pekerja dan masih berlaku sampai saat ini walaupun tidak semua zonowi melakukannya.

Untuk dan demi pemahaman tentang kepemimpinan yang berlaku dalam kepala suku ini dihapus dapat menunjukkan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan kebaikkan terhadap kogo dan deba ini. Sesama manusia diobjekkan tetapi manusia Moni/Migani tidak sadaar akan hal itu, maka hal ini tidak perlu ada lagi dan tidak perlu dipertahankan . Sebab seorang pemimpin mempunyai pengaruh yang mengayomi tetapi dalam pranannya menjadi salah karena cara pengaturanya menjadi otoriter. Kogo dan dewa selalu tuntut dan taat pada pemimpin sebagai kepala suku. Seorang pemimpin selalu percaya untuk mengatur kehidupan yang ada dalam budaya. Seorang pemimpin seharusnya menjadi fasilitator yang baik dalam mengarakan sekaligus mendukung, menghargai, menghormati dan mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan bersama dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan memahami kehidupan Moni/Migani mengenal beberapa tingkatan kehidupan mulai dari sonowi sampai deba. Perbedaan nama menimbulkan juga tingkatan kelas ekonomi, politik, budaya dan bisnis kulit bia. Dalam perbedaan tersebut budaya eropa juga lahir dari budaya dan adatnya. Budaya dan adatnya sebagai identitas diri yang harus dipertahankan dan dilestarikan sehingga pendirian dalam menghadap situasi baru tetap kuat, esis dan tidaak digagungu gugat sehinga mampu menaklukan budaya lain. ”Para antropolog mendefenisikan budaya dan adat berkaitan erat dengan manusia. Seluruh cara berpikir dan bertindak manusia. Manusia moderen dipenggaruhi oleh akibat dorongan dari falsafah hidup mendorong manusia mempertahankan dan memperjuangkan budayanya untuk dapat dipertahankan”. Budaya dan adat sebagai sejarah kehidupan manusia yang dapat diwariskan dari generasi sampai generasi hingga sampai saat ini.

Antorpolog Papua, Dr. J. Masoben mengkelompokan bahwa suku-suku yang hidup di dataran tinggi Papua itu menganut system kepemimpinan big man sangat berbeda dari sistem “kepala suku” namun secara harapiah big man artinya laki-laki besar, dalam konteks antropologi, istilah ini memiliki makna yang amat luas . Dalam budaya Moni/Migani big man tidak memandang sebagai laki-laki besar, fisik kuat dll tetapi kepala suku dipandang sebagai sonowi orang yang bisa menyelesaikan persoalan dalam yang dihadapi warga setempat.

Setiap daerah di Papua cara memandang kepala suku berbeda-beda sub-suku (klan) big man di daerah kepala burung (artinya, Aifat dikenal dengan istilah bobot, orang Muyu menyebutnya Kawab, orang Mee menyebutnya Tonowi, sedangkan orang Moni/Migani menyebutnya Sonowi. Untuk mencapai atau mendapat nama sonowi tidak di nobatkan atau dilantik seperti dalam pemerintahan, tetapi dalam budaya dan adat menyebut kepala suku hanya melalui sebuah perjuangan keras untuk dan mendapat kekayaan. Untuk menduduki jabatan pun turun temurun dilihat dari aspek kekayaannya yang diperoleh dari hasil keringatnya yaitu: Dari hasil usaha ternak, diperoleh juga dari hasil maskawin adik prempuanya yang menjadi haknya berupa kulit bia yang tingkatanya sampai dengan nilai kulit bia Ogombagela, Mbalugela, Kibaskibabaga, Sugupakitatuji, sampai Jigitaga, Wawogotaga, Dawabukebe, Mambasigugu, Iabagawiabaga, dengan nilai uang (lima puluh juta sampai dengan empat puluh juta).

Kepala suku dalam budaya Moni/Migani dapat diukur dengan kekayaan nilai uang diatas dan kekayaan lainnya seperti ternak yang banyak membuat memberi nama kepala suku. Jika tidak demikian berarti dia bukan kepala suku tetapi disebut dengan nama Kogo. Orang sonowi atau orang kaya sama relevansinya dalam budaya Moni/Migani. Sonowi dalam pratek hidupnya sangat berperang dari sisi kehidupan. Dalam kehidupan sonowi itu bisa dapat menyelesaikan masalah dengan membayarkan sejumlah kigi (kulit bia) dan wogo ( Babi ) untuk mengatasi masalah sesama yang dihadapi. Masalah yang dihadapi dalam arti perang suku, pencurian, perampokan, perzinaan, pembunuhan, perampokan, penghinaan.

Dengan demikian orang moni/migani melihat kehidupanya sejak awal sebelum bisnis modern dalam perkembangan realitas hidup ini. Orang moni sudah melakukan bisnis kulit bia yang menjadi alat teranslaksi keuangan berupa kulit bia. Kulit bia ini amat bermanfat dan digunakan dalam berbagai kesempatan dalam kehidupan dulu, sekarang dan terus di berlakukannya. Generasi penerus melihat kulit bia sekarang sebagai alat puska yang harus diwariskan turun temurun untuk dapat dipertahankan. Dipertahankan karena leluhur orang moni sebelum adanya perkembangan transaksi dapat dilakukan dengan kulit bia. Hal ini membuat kulit bia terus digunakan berbagai kesempatan hingga kini

catatan kaki:
1. Belau, Arnold. Budaya membayar maskawin dan cara pandang serta peran sonowi atau big man dalam adat suku moni atau migani.

2.Membuka miteri tabir tentang budaya dan adat suku Moni/Migani, Krismas Domongaukiba Bagau.hln,74-75.

3.Dataran Tinggi Papua, Kal Muller, DW. Books, 2009, hln 2001.

4.Materi kulia STFT,Fajar Timur, 2010.

Penulis adalah Krismas Bagau yang sedang mengenyam pendidikan di salah satu kampus sospol Yogyakarta
Sumber:  http://suarakolaitaga.blogspot.com/2013/10/budaya-suku-moni-tentang-bisnis-kulit.html