Anggota KPUD Baru Di Rombak Tanpa Sepengetahuan KPUD Lama

INTAN JAYA- politik uang terjadi di Indonesia pada umumnya dan khususnya di kabupaten intan jaya, politik uang dalam seleksi penerimaan KPUD Intan Jaya, Pengamanan dan Uang kampanye.

Yanuarius Sondegau dan Misael Sondegau (Foto; Misael M)
Salah satu anggota KPUD Intan Jaya saat bertemu-nya di Jogata Senin 24/03/2014 pukul 3. 15 WPB mengatakan; atas perintah Bupati Intan Jaya dan KPUD Intan telah merombak Anggota KPUD baru tanpa sepengetahuan KPUD Lama. Pada tanggal 07/03/2014 ketua KPUD Intan Jaya telah mengganti Sekretaris KPUD intan jaya dan Sekretaris KPUD Baru dengan inisiatif sendiri dengan mengatakan bahwa ketua KPUD intan jaya tidak tahu tentang Logistik, jadi sekretaris yang baru di angkat ini mengurus Logistik dengan menganti Ibu Endang untuk mengirim logistik ke intan jaya.
Ulah dari sekretaris baru membuat atministrasi keuangan hancur sehingga saat ini kami hanya diberi uang perorang 2 Juta- 2 Juta untuk naik ke intan jaya. jadi saya tidak tahu apa yang akan terjadi kedepan saat pemilihan DPRD dan DPRP.

Sementara di tempat yang berbeda salah satu Tokoh Masyarakat, Elias Joani mengatakan; Pihak Gereja dan Semua orang yang punya hati untuk kabupaten intan jaya tidak boleh diam ditempat dengan melihat hal ini. dan juga Elias mengatakan bahwa TNI/POLRI yang saat ini bertugas di intan jaya jangan membela yang salah karena di Suap oleh oknum-oknum tertentu, namun TNI/POLRI seharusnya melihat mana yang salah dan mana yang benar, jangan bicara dibibir bilang keamanan namun kenyataanya buat Propokator agar masyarakat saling bunuh-membunuh.
Sementara salah satu Toko Pemuda Jokatapa, Yanuarius Sondegau mengatakan; TNI/POLRI datang ke intan jaya untuk berdagang dan cari bisnis seperti Judi Togel yang dalam satu bulan dibayar 18 Juta, Minum Mabuk, tukang ojek, pedagang, Adu Ayam dan operator sensor. Tugas sebagai keamanan haruslah di fungsikan sesuai dengan keadaan masyarakat intan jaya bukannya nonton-nonton dan membela orang yang sebenarnya sudah bersalah.

Yanuarius Sondegau juga mengharapkan agar Mahasiswa dan intelektual intan jaya yang ada di lapangan tidak  mempropokasi masyarakat intan jaya, karena masyarakat masih awam sehingga mereka akan mengikuti apa yang di sampaikan oleh mahasiswa dan intelektual. Oleh sebab itu tugas dan tagungjawab mahasiswa dan intelektual intan jaya adalah bagimana mengarahkan masyarakat ke jalan yang benar  supaya masyarakat memilih Celeg sesuai dengan hati nurani mereka tanpa dibayar atau dibujuk-bujuk.

Ketua KPU Provinsi Zadrak Nawipa & Ketua KPUD Intan Jaya Linus Tabuni
Ketua PPD Distrik Sugapa, Misael Sondegau mengatakan dirinya siap bekerja untuk masyarakat dan alam intan jaya dengan benar dan jujur tanpa melihat kepetingan kelompok dan kepentingan pribadi. Kuota suara yang sudah dipilih dari masyarakat melalui TPS dan PPS Itulah yang kami naikan ke KPUD untuk itu saya harap KPUD Jangan ulur-ulur waktu, karena waktu untuk menyelenggarakan agenda Negara tinggal 14 hari lagi.
Sondegau juga mengharapkan kubu-kubu yang bertikai beberapa minggu lalu segerah bersatu untuk menjaga keamanan daerah ini dan juga para pejabat intan jaya, para caleg, jangan propokasi masyarakat intan jaya agar masyarakat memilih para celeg sesuai hati nurani masyarakat.

MENAGIS BERSAMA RAKYAT PAPUA, YANG SEDANG MEMBURU MEMPEREBUT HAK ULAYATNYA

Pada umumnya dibelahan bumi Papua selalu saja terjadi konflik perebutan tanah, hak-hak, hak ulayat, harta benda dan seterusnya. Situasi ini menjadi masalah sosial yang sering bahkan kian membara di mana saja manusia Papua itu hidup dan didiaminya. Situasi ini terjadi maka pihak keamanan dilancarkan diberbagai penjuru angin di provinsi Papua telah diutus oleh pemerintah pusat maupun daerah menembatkan pihak keamanan agar mengamankan situsi kongkrit perang ini. Pengamanan harus di amankan sesuai dengan hukum yang telah tertata rapi dalam Undangan –undangan khusus untuk pengamanan keamanan rakyat /waraga Negara lebih khusus Papua. Papua akan selalu menjadi pilihan bagi pihak keamanan, untuk menagani masalah yang dibeberkan di atas misalnya perebutan tanah, hak-hak, hak ulayat, harta benda dll. Namun terkadan pihak keamanan yang hadir membuat situasi konflik yang dibuat menjadi tambah panas bahakan kehadiranya menjadi batu sandungan untuk bertambah konflik, serta terkadang pihak keamanan menjadi pelaku terjadinya konflik.
Panorama Intan Jaya (Foto: Misael Maisini)

Situasi perang yang terjadi di Timika antara Suku Moni dan Suku Dani, merupakan perbutan tanah. Perbutan tanah itu sering melewati beberapa cara penyelesaian konflik. Pertama Perebutan tanah, secara hukum adat istiadat, yang disebut dengan hak ulayat kedua suku tersebut tentu satu tidak mempunyai hak ulayatnya. Kedua perebutan secara siapa yang kuat dalam perang, namun belum tentu pihak mana yang menag tetapi jelas bahwa yang menang merupakan hak ulayat secara paksa terkadang bukan hak ulayatnya. 
Dua situsi ini yang terjadi dalam perang di Timika. Bagi kami pengamat situasi di atas tidak perlu adakan poin kedua dalam perebutan tanah. Karena di tanah Papua semua hak ulayat telah dan sudah punya hak ulayatnya yang masing-masing berdasarkan suku-suku yang ada. Allah Leluhur Bangsa Papua telah mengatur sedemikian rupa dalam pembagian tanah sesuai dengan hak ulayat. 

Apabilah ada Cara kedua maka hal itu dipertanyakan karena cara itu sering terjadi dalam kanca rana politik Nasional. Lebih khusus dalam pertahanan batas-batas wilayah pertahanan negaranya. Tetapi situsi ini tidak perlu terjadi di muka bumi Papua yang selalu di sebut Pulau Papua adalah Surga kecil yang jatuh ke bumi Cendrawasi. Artinya semua yang ada di tanah papua telah ada sesuai dengan rencana Allah leluhur bangsa Papua, bahkan setiap titik tanah telah menunjuk pemilik hakl ulayatnya.
Namun situasi perang di Timika, ada beberapa pihak yang memboncengi demi keperluaan diri, dan juga pihak keamanan juga terlibat perang, bukan kehadirannya untuk mengamankan melainkan membunu data ini diperole dari tempat terjadi perang dan dalam perang tersebut ada salah satu pihak perang dikorbangkan. Ini berarti ada indikasi pelanggaran hukum yang ada di Negara Indonesia, dan juga salah gunakan keberadan atau kekuasaan keamanan di arena perang. Sebenarnya pihak keamanan netral untuk mengamankan namun di medan lapangan perang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh kanca hokum yang ada.

Kami sebagai kaum intelek tanah Papua merasa tidak beres dalam penaganan dan juga terjadi konflik yang terjadi di Timika. Maka untuk menangani persoalan ini dapat diselesaikan secara hukum adat istiadat yang didukung oleh hukum Negara. Mengapa demikian, perang ini berkaitan dengan hak ulayat, tanah adat yang ada. Berarti akan jelas untuk penyelesaiannya berdasarkan siapa yang berhak tanah ini, milik nenek moyang suku Moni atau suku Dani. Maka jelas dan mudah untuk mengatasinya.

Dengan melihat realitas yang terjadi kimi berpesan kepada pihak Gereja baik Kristen Katolik maupun Kristen Prostestan bersatu untuk mengamankan umatnya, dan campur tangan pemerintah Mimika, dan pemerintah provinsi Papua. .Hal ini dibiarkan maka kestabilan keamana di papua tidak terjamin dan juga akan mengangu pesta demokrasi yang dilakukan pada bulan April. 
Semua usaha ini di buat dan aman maka air mata darah yang kian tampah henti mengalir akan pelahan-pelahan menjadi kering. Tandahnya bahwa tidak ada permusuan antara manusia Papua serta hidup sesuai dengan hak ulayat dan tanah adat masing-masing orang Papua.

Penulis: Benny Magay yang sedang mengeyam pendidikan di STFT Fajar Timur Abepura

MASALAH DUALISME SK PPD DI INTAN JAYA MASIH BELUM JELAS

INTAN JAYA-Di kabupaten intan jaya telah terjadi dua (2) Lisme SK PPD, SK dari Amos Widigipa dan SK PPD dari Linus Tabuni sehingga hari kamis tanggal 13/03/2014 masyarakat intan jaya melakukan pemalangan bandara Soko Paki Sugapa hingga pada hari ini Jumat 21/03/2014 ini telah melakluakn pemalangan jalan raya yang berujung pada saling lempar batu yang mencederai masyarakat pendukung masing-masing.
Dengan melihat kejadian ini wakapolres Paniai telah memberi  pemahaman kepada PPD yang melakukan pemalagan, dengan mendegar  arahan itu, maka PPD menerima arahan tersebut dan bubar pada jam 12. 00 dari Tempat Kejadian Perkara di Jogatapa Sugapa dengan aman.
Saling melempar ini terjadi ketika KPU Provinsi menginjak bandara Soko Paki Sugapa pada hari ini Jumat 21/03/2013 pukul 1. 45 Wpb sehingga masyarakat dari kubu masing-masing telah siaga dimasing-masing tempat untuk melakukan balasan antara kubu masing-masing.

Dengan melihat situasi yang memanas saat ini, maka masyarakat intan jaya pada umumnya meminta pihak yang INDEPENDENT dan pihak Gereja untuk mengatasi masalah PPD 6 Distrik yang ada di kabupaten Intan Jaya, karena PPD 6 Distrik dikabupaten intan jaya masih Dua (2) Lisme SK.
SK PPD dari Amos Widigipa dan SK PPD dari Linus Tabuni, masing-masing mempertahankan prinsip sehingga hari ini Jumat 21/03/2014 telah terjadi saling melempar yang mencederai masing-masing pihak.
Pemalangan Jalan Masalah PPD di Intan Jaya (Foto: Misael M)
Sehingga malam ini jumat 21/03/2014 Bupati Intan Jaya, Ketua KPU Provinsi, Kapolres Paniai dan PPD 6 Distrik ada lakukan pertemuan tertutup seputar dualisme SK PPD di kediaman Bupati yang di jaga oleh anggota Wakapolres Paniai bersama Polsek Sugapa untuk mencari jalan keluar yang terbaik untuk sukseskan Agenda Negara 09 April 2014 mendatang.
Jika tidak ada jalan keluar yang jelas akan terjadi konflik. Untuk itu masyarakat intan jaya pada umumnya meminta ke Pihak Gereja dan pihak yang Independen untuk melihat Kebenaran dan keadilan. Yang salah harus disalahkan dan yang benar harus dibenarkan menurut ajaran Agama di muka bumi ini tanpa memperhatikan Kepentingan apapun dan dengan cara apapun. 

Orang Migani Menyapa Dengan Hati

Amakaniee – Amanoaee – Amakibaiee – Amajambaee – Amadulukanee – Ndolapanuao

Migani Amakanee (Foto: Istimewa)
Salah satu suku di tanah Papua yang memiliki kata salam lebih dari satu kata adalah suku bangsa Migani. Ada banyak kata yang digunakan untuk menyalami orang seperti Amakanee, Amakanie, Amajambaee, Amakibaee, Amalulukanee, Delapanowaee, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata ini tidak selalu sama, tergantung kepada siapa ia harus menyapa, dimana dia harus menggunakan, dan kapan dia ucap setiap kata yang mengandung makna sangat mendalam itu.
Contohnya, kepada seseorang akan disapa dengan kata Amakanee, tetapi kepada orang banyak (lebih dari satu)  akan disapa dengan kata Amakaniee. Berbeda pula penyapaannya kepada seorang ibu yang pejabat, atau seorang ibu yang miskin papa. Kepada seorang yang dikasihi disambut dengan kata yang lain dan juga kepada seorang remaja sedawar mereka sapa dengan kata Ndolapanuaoo.

Hal ini berbeda dengan suku-suku lain di Papua. Orang Paniai memberi salam dengan satu kata Koyao kepada siapa saja dalam semua kesempatan dan situasi. Orang Sentani menggunakan kata Foi Moi, di Biak dengan kata Tabea, Dani Wa wa wa wa dan lain lain seterusnya. Suku-suku ini (selain Migani), mereka harus menggunakan kata tambahan didepan kata salam untuk memperjelas kepada siapa mereka memberi salam. Seperti di Paniai, bila memberi salam kepada seorang lelaki bujangan, disapa dengan kata Kagipaidabaa Koyaoo,  kepada seorang wanita disapa Kagiwaudabaa Koyaoo, atau di Biak kepada seorang gadis manis disana Insosee Tabea Mufa, dan lain-lain.

Menjelaskan tata bahasa seperti ini tentu menjadi tugas orang-orang linguistik untuk menganalisa susunan dan bentuk tata bahasa suku-suku di kepulauan Melanesia. Tetapi yang kami mau angkat dalam tulisan ini adalah keunikan yang dimiliki suku bangsa Migani ketika mereka menyalami orang. Bahwa, tidak semua sapaan sama, dan tidak banyak kata yang dipakai untuk menyalami orang. 1 kata untuk 1 moment atau 1 kata kepada siapa dan tentu itu dengan hati yang tulus.
Ketulusan itu akan nampak dalam pemakaian ucapan itu sendiri. Ucapan itu sendiri akan menentukan tingkat kesadaran dan kedewasaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kita sebagai manusia harus belajar menghormati, menghargai dan memposisikan orang lain pada tempatnya lewat kata-kata dan sapaan. Sebab, apabila kita menghargai dan menghormati orang, sebaliknya, kita akan dihargai dan dihormati.
Kesadaran alami itu sudah diajarkan turun temurun oleh moyang Migani kepada anak cucunya. Setiap orang Migani, harus mengenal tingkat stratifikasi sosial dalam kalangan orang Migani sendiri maupun dalam pergaualan dengan suku-suku disekitarnya. Disana ada Sonowi Menee, maka hargai orang itu sebagai Sonowi. Dialah pemimpin kita, sehingga kita sapa dia dengan kata-kata yang memang menjadi miliknya. Dia adalah rakyat miskin, guru, pemuda/i yang sama dengan saya atau berbeda dengan saya, maka hargai orang lain itu dengan baik, tetapi tidak hanya lewat sapaan, tetapi lebih dari itu dengan hati yang tulus dan ikhlas. Hal itu akan diuji dengan pemakaian kata-kata itu sendiri.

Asyik memang mempelajari bahasa-bahasa suku-suku di Papua. Dan, berbahagialah bagi mereka yang mengetahui bahasa suku lain, apalagi lebih dari tiga bahasa. Sebab orang yang merdeka adalah orang  yang mengenal bahasa suku lain, selain bahasa ibu.
Pada jaman sekarang,  dunia dituntut untuk harus menguasai bahasa Inggris. Tetapi sebenarnya tidak juga. Kami berpendapat, bahasa Inggris juga penting, tetapi lebih penting lagi kalau kita menguasai bahasa dari suku-suku tetangga, termasuk tetangga rumah kita. Contohnya; kalau tetangga kita orang Bugis, sepantasnya kita harus mengerti bahasa orang Bugis, apalagi kalau sudah mahir berbahasa Bugis. Kita diterima ibarat seorang raja dikalangan orang Bugis. Sebaliknya, kalau orang Bugis menguasai bahasa Ayamaru, wow ... orang Bugis itu diterima dengan baik dikalangan masyarakat Ayamaru. Contohnya agak mirip sedikit dengan Jhon Tabo, mantan bupati Tolikara.
Kembali ke pokok persoalan, bahwa orang Migani memberi salam dengan hati. Memang benar dan harus diakui bahwa orang Migani ketika memberi salam dia akan tunduk kepala sedikit sambil pegang susunya sendiri atau lipat jari tunjuknya kearah dirinya sendiri. Atau salam Kipo Motii (salam dengan jari), juga hormat di dada.

Orang Migani adalah salah satu suku bangsa yang berada di tengah suku-suku lain. Disebelah barat ada suku Mee. Dibagian selatan ada Damal dan Amungmee. Disebelah timur ada Nduga, Dani, Lani dan sampai ujung di Oksibil. Dibagian utara ada suku Kew dan Mamberamo. Sebagai suku yang ada ditengah-tengah, orang Migani harus menghargai saudara-saudaranya yang berada disekelilingnya. Secara alami sudah terbentuk sehingga orang Migani menguasai bahasa dari suku-suku tetangganya.

Menurut Bartol Mirip, orang Migani bagian Timur dan terutama orang Nduga (Hitadipa, Agisiga, dst) sangat fasih berbahasa Mee, Damal, Amungme, Lani dan Dani. Mereka menguasai semua bahasa, dan oleh karena itu pergaulan mereka sangat jauh.
Detik ini, orang Migani sejak Pastor Kamerer sembunyi di negeri Biandoga, 70 tahun silam, mereka sudah belajar banyak dari suku-suku tetangganya. Bahasa suku lain yang mereka kuasai, adalah modal utama untuk membangun hubungan pergaualan dan persahabatan. Sebab hanya dengan menguasai bahasa, kunci dunia terbuka dan informasi dan komunikasi mengalir dengan sendirinya. Kehadiran Kabupaten Intan Jaya menjadi bukti, bahwa orang Migani siap menyapa siapapun dia pada waktunya dan posisinya. Dan tentu, dengan hati.
Orang Migani menyapa dengan hati.   

                                         Ditulis oleh; Engelbertus P Degey

OTSUS PLUS, IDE SIAPA DAN UNTUK SIAPA?

Mengintip Isi Draf RUU Otsus Plus Papua(Bagian I)
Oleh : Oktovianus Pogau*   
Lahir Atas Usul Presiden SBY dan Gubernur Papua, Bukan Rakyat Papua
Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (pasal 77,UU No. 21/2001)
DALAM artikel ini, saya akan menuliskan catatan panjang tentang Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di tanah Papua (selanjutnya disebut RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua), juga mengintip draf keempat belas – acuan saya adalah draf final hasil singkronisasi tim Asistensi dari Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat – RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua pasal demi pasal.
Foto: Arnold Belau
Tentu, yang akan saya angkat dalam catatan ini adalah pasal-pasal yang dianggap krusial, dan dapat menimbulkan konflik dan perdebatan panjang dikemudian hari.
Pada tulisan bagian pertama, lebih dulu saya akan mengulas cikal bakal “dilahirkannya” RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua, yang diusulkan oleh Jakarta melalui Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Pemerintah Provinsi Papua melalui Gubernur Papua Lukas Enembe, tanpa adanya usulan kongkrit dari rakyat Papua Barat melalui Majalis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), seperti yang diamanatkan dalam pasal 77, UU No. 21/2001.
Lukas Enembe dan Klemen Tinal, secara resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Dr. Gamawan Fauzi, pada tanggal 09 April 2013, untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubenur Provinsi Papua periode 2013-2018. Agak berbeda dari biasanya, karena ini kali pertama di Indonesia ada pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur di luar Lapangan Terbuka, yakni di Stadion Mandala, Jayapura, Papua.
Tiga minggu usai dilantik, tepatnya pada 29 April 2013, Gubernur Papua Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, beserta Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda, dan Ketua MRP Timotius Murib, melakukan pertemuaan tertutup dengan Presiden SBY di Istana Presiden, Jakarta, pada pukul 14.00 Wib.
Presiden SBY sendiri  didampingi oleh Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Menteri Kordinator Perekonomian (Menkoperekonomian), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Sekertaris Negara (Mensekneg).
Dalam pertemuaan tersebut, Presiden SBY berbicara tentang konsep Otonomi Khusus Plus kepada Gubernur Papua dan rombongan; juga memberikan kewenangan yang lebih luas kepada rakyat Papua agar mengembangkan diri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik. Maksud SBY adalah, kira-kira Otsus plus merupakan kado untuk rakyat Papua di akhir massa jabatannya sebagai presiden.
Karena itu, pertemuaan 29 April 2013 merupakan cikal bakal, asal muasal atau ide awal untuk direkonstruksinya UU No. 21/2001, yang telah di implementasikan di tanah Papua hampir 13 tahun lamanya. Tampak jelas, ide ini diusulkan langsung oleh Presiden SBY bersama sejumlah menteri kepada rombongan dari Provinsi Papua, sembari mengabaikan amanat Pasal 77 UU No. 21/2001.
Menurut Gubernur Papua Lukas Enembe, arahan dan penegasan yang disampaikan Presiden SBY adalah perluasan Otsus, yang disebut sebagai Otsus Plus, dan diharapkan dalam tiga bulan ke depan draf Otsus Plus selesai, karena tujuannya ialah menjawab berbagai persoalan Papua yang harus tuntas diselesaikan sebelum Presiden SBY mengakhiri masa jabatannya.
“Pemerintah pusat lewat Presiden SBY bakal memberikan Otonomi Khusus Plus (Otsus Plus) bagi Provinsi Papua. Otsus plus ini diberikan untuk menjawab berbagai persoalan di Papua yang tak kunjung selesai. Ini penghargaan yang luar biasa bagi kami, karena kami dapat arahan dari Presiden SBY untuk membangun dan menata Papua yang lebih baik lagi,” tegas Gubernur Provinsi Papua, di Istana Negara, usai pertemuaan dengan Presiden SBY. “Ini kemauan baik yang luas biasa dari Presiden SBY. Kita berharap dari sisa masa jabatan Presiden SBY, persoalan-persoalan di Papua bisa tuntas,” kata Enembe.
Tampaknya, presiden SBY beserta para menteri yang hadir di pertemuaan 29 April 2013, juga Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua, serta Wakil Ketua I DPRP dan Ketua MRP tak paham dengan amanat yang ada di dalam pasal 77 dan 78, bahwa usulan perubahan atas UU No. 21/2001 hanya dapat lahir dari keinginan luhur rakyat Papua, yang kemudian diteruskan ke MRP sebagai representative adat, agama, dan perempuan; dan selanjutnya disampaikan ke DPRP, dan untuk selanjutnya disampikan ke Gubernur, dan selanjutnya diteruskan ke Presiden dan DPR RI. Atau pura-pura tidak tahu?
Universitas Cenderawasih Jadi Soko Guru Utama
Usai kembali dari Jakarta ke Jayapura, Gubernur Papua Lukas Enembe langsung bekerja super cepat. Pertama-tama adalah menggandeng lembaga akademisi atau perguruan tinggi di Jayapura, Papua, yakni, Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk menjadi soko guru utama dalam melakukan rekonstruksi terhadap isi amanat UU No. 21/2001.
Pada 13 Mei 2013, atau dua minggu setelah pertemuaan presiden SBY dengan rombongan dari Papua, Gubernur Papua Lukas Enembe di dampingi “gank” dari Dok II (sebutan untuk Kantor Gubernur Papua di Jayapura), yakni, Sekertaris Daerah (Sekda), Kepala Badan Keuangan, Asisten I Bidang Pemerintahan, dan Kepala Biro Tata Pemerintahan melakukan pertemuaan tertutup dengan tim dari Fakultas Hukum (FH) Uncen, yang diketuai oleh Dekan FH Uncen, Martinus Salosa, di ruang Kantor Gubernur Papua, di Dok II Jayapura.
Agenda pertemuaan adalah, Gubernur Papua menyampaikan tentang rencana penyiapan draf Revisi UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua menjadi Otonomi Khusus Plus, seperti yang disampaikan oleh Presiden kepada Gubernur, pada 29 April 2013 di Jakarta; dan akan dibentuknya tim asistensi, yakni dari Uncen dan Pemerintah Provinsi.
Disampaikan juga dua hal penting yang berkenan dengan Otsus Plus, yaitu, pertama, revisi UU 21/2001 seperti model Pemerintahan Aceh, termasuk pasal 4 tentang Kewenangan Daerah yang diperluas, termasuk moneter dan fiscal; dan kedua, bahwa dalam Otsus plus, termasuk penataan birokrasi dan kelembagaan atau pemerintahan, politik, hukum dan HAM. Martinus Salosa selaku Dekan FH Uncen menyanggupi tawaran Gubernur, dan berjanji akan menyampaikan kepada rektor Uncen yang baru, Prof. Dr. Karel Sesa, dan berjanji akan membentuk tim asistensi untuk bekerja.
Langkah kedua, Gubernur Papua menata birokrasi pemerintahan di tingkat Provinsi, agar dan dapat mendukung langkah rekonstruksi Otsus menjadi Otsus plus sesuai arahan Presiden SBY. Pada 27 Mei 2013, Gubernur melantik 10 pejabat eselon II, salah satu diantaranya adalah Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Papua, Dr. Muhammad Musaad, yang  akan bertidak sebagai ketua tim Asistensi Otsus Plus dari Pemerintah Provinsi Papua.
Kepada tim dari FH Uncen, juga kepada pejabat-pejabat di tingkat Provinsi yang berkaitan langsung dengan pengerjaan dan pembahasan Otsus Plus, Gubernur berjanji akan mendukung sepenuhnya kerja-kerja tim asistensi, termasuk dalam hal pendanaan hingga tahap akhir penyusunan. Mulai saat itu, tim asistensi dari Uncen maupun Provinsi tancap gas mengerjakannya.
Sosialisasi Kepada Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota
Selanjutnya, Gubernur Papua juga melakukan sosialisasi terbuka kepada Kepala-Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota yang ada di seluruh tanah Papua. Tepatnya, 29 Mei 2013, bertempat di Kantor Gubernur Provinsi Papua, digelar Rapat Kerja Daerah Khusus (Rakerdasus) antar Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, beserta sejumlah pejabat di Dok II, yang dihadiri juga oleh 28 Bupati/Wakil Bupati, serta I Walikota/Wakil Walikota yang berasal dari seluruh Papua.
Dalam arahannya, Gubernur Papua mengatakan, Rakerdasus dilakukan untuk mengevaluasi implementasi Otonomi Khusus dan melakukan rekonstruksi terhadap Undang UU No. 21/2001, serta melaksanakan pembangunan dalam berbagai bidang secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan,  serta menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang ada di Provinsi Papua secara menyeluruh dan komphrensif.
Dalam kesempatan tersebut, Lukas Enembe juga menjelaskan enam langkah strategis untuk mewujudkan visi Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera, yakni, pertama, adalah soal kebijakan komunikasi yang baik antara lembaga Pemerintah Papua, DPRP, MRP, Bupati dan Walikota se-Papua, juga dengan tokoh-tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat guna mengatasi berbagai persoalan mendasar di Papua; kedua, kebijakan pembenahan perencanaan daerah; ketiga, kebijakan penguatan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik; keempat, kebijakan pembagaian dana Otsus 80 % untuk Kabupaten/Kota dan 20% untuk Provinsi;kelima, kebijakan pembangunan kampung yang mana respek dirubah menjadi Prospek; serta keenam, adalah kebijakan sosial politik untuk mengubah konflik menuju kehidupan politik yang aman dan damai secara berkelanjutan.
Sebagian besar Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota yang hadir dalam Rakerdasus tersebut mendukung penuh rencana Gubernur Enembe untuk melakukan rekonstruksi ulang UU No. 21/2001, apalagi ada point yang mengatakan Kabupaten/Kota akan mendapatkan 80% dana Otsus Plus.
Mendapatkan dukungan dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, perwakilan DPRP, dan MRP, tapi apakah mendapat dukungan dari rakyat Papua, yang dalam amanat Otsus menjadi subjek dari pada UU Otsus? Yang juga diposisikan sebagai pihak pertama dan paling utama yang dapat memberikan usulan, saran, dan masukan agar UU No. 21/2001 dievaluasi atau direkonstruksi ulang?
Penolakan Keras Dari Rakyat Papua
Gubernur Papua boleh saja berbangga diri karena mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Papua, Lembaga Akademisi, Kepala Daerah di Kabupaten/Kota seluruh Papua, perwakilan DPRP (mayoritas anggota Partai Demokrat), dan sejumlah kecil anggota MRP, namun harus di ingat, rakyat Papua menolak secara tegas Otsus plus tersebu!
Pihak yang pertama kali menolak rancangan Otsus plus adalah rakyat Papua yang tergabung dalam Solidaritas Hukum, HAM dan Demokrasi Rakyat Papua (SDHRP). “Kami menolak tegas Otonomi Plus yang dicanangkan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe. Harus disadari bahwa Otonomi Khusus lahir karena keinginan Rakyat Papua dalam pemenuhan hak-haknya,” ujar Ketua SDHRP, Osama Usman Yogobi, kepada wartawan di Jayapura, Papua, pada 8 Juni 2013. Osama bersama beberapa pemimpin organisasi massa di Jayapura juga menyatakan, akan tetap melakukan aksi demonstrasi damai untuk menolak Otsus Plus dan meminta pertanggung jawaban Negara atas pelanggaran HAM di tanah Papua.
Penolakan yang paling representative muncul saat dilangsungkannya evaluasi Otsus versi orang asli Papua (OAP) di Hotel Sahid Papua, pada 24-27 Juli 2013, yang dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan mengundang  wakil-wakil orang asli Papua dari tujuh wilayah adat di tanah Papua, yakni, wakil adat wilayah Mamta/Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha/Ha Anim, La Pago, dan Mee Pago.
Ada dua rekomendasi utama yang dihasilkan pada akhir pertemuan, yakni, pertama, membuka ruang untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan ditempat yang netral pula; dan kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan Dialog Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point (1) rekomendasi ini.
Hasil evaluasi Otsus versi Orang asli Papua ini selain sangat representative, juga karena dihadiri oleh seluruh anggota MRP, anggota DPRP, tokoh-tokoh adat, agama, pemuda, dan tokoh-tokoh gereja di seluruh tanah Papua; juga dihadiri oleh beberapa akademisi, dan perwakilan mahasiswa di seluruh perguruaan tinggi di Jayapuara, Papua.
Yusak Reba, salah satu Dosen Universitas Cenderawasih Papua, juga menolak ide atau aspirasi dilahirkannya Otsus Plus, sebab ia tidak lahir dan tuntutan dan aspirasi rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001. “Perubahan tersebut harusnya datang melalui aspirasi masyarakat Papua, bukan berasal dari kehendak Jakarta,” tegas Reba, saat diwawancarai oleh wartawan. Ditambahkan, kebijakan untuk menata kembali Otsus haruslah melalui prosedur yang  diamanatkan sesuai dengan pasal 77 dan 78 Undang-undang Otsus 21 tahun 2001, dan harus diserahkan ke orang Papua, bukan Jakarta yang menentukan, lalu mengundang Gubernur, DPRP dan MRP untuk sekedar mewakili orang Papua.
Pernyataan penolakan Otsus Plus yang lebih keras dan radikal datang dari Ketua Umum Persektuan Gereja-Gereja Baptsi (PGBP), Pdt. Socratez Sofyan Yoman. “Otsus Plus tak perlu dan tak penting diterapkan, karena tak akan pernah menyelesaikan masalah di Papua. Bahkan MRP sebagai lembaga  kultur  masyarakat  Papua menyatakan menolak Otsus Plus. Hal ini sebagaimana rekomendasi dan konsultasi publik antara  MRP dan  rakyat  Papua  di Hotel Sahid Papua, Jayapura  25-27 Juli 2013 lalu.”
“Sebagai pemimpin Gereja di Papua, saya melihat realitas kegelisaan, penderitaan umat Tuhan di Tanah Papua ini, maka saya katakan Otsus Plus tak perlu diterapkan. Barangkali Otsus Minus bukan Otsus Plus,” tegas Yoman, ketika diminta tanggapannya oleh salah satu media lokal di Jayapura, Papua, awal Agustus 2013 lalu.
Dikatakan, pihaknya  mengusulkan hanya ada dua solusi yang relevan dan tepat. Pertama, dialog damai dan setara antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat dimediasi pihak ketiga di tempat  netral. Kedua,  pemerintah Indonesia mengakui Papua sebagai negara merdeka dan berdaulat sejak 1 Desember  1961 yang pernah dibubarkan oleh Presiden pertama RI  Ir. Soekarno.
Pernyataan penolakan juga datang dari rakyat Papua Barat yang tergabung dalam Gerakan Pemuda, Mahasiswa dan Rakyat (GEMPAR). “Gubernur tidak boleh menyepelekan tuntutan rakyat Papua yang disampaikan oleh MRP, yakni Otonomi Khusus telah gagal total, dan dilakukan referendum,” ujar Kordinator Umum GEMPAR, Yason Ngelia.
Dikatakan, evaluasi menyeluruh Otonomi Khusus adalah langkah paling utama yang akan menentukan langkah pembangunan selanjutnya, karena itu partisipasi dan dukungan rakyat sangat penting. “Namun sekarang yang kita lihat adalah rakyat tidak memberikan dukungan, namun gagasan untuk Otsus Plus datang dari Jakarta, yakni melalui Presiden SBY. Ini ada apa? Gubernur harus mendengar suara masyarakat akar rumput,” tegas Yason, yang ditahan tiga bulan penjara karena memobilisasi masa untuk melakukan demonstrasi penolakan Otsus plus di Kantor Gubernur Papua.
Draf Keempatbelas; Singkronisasi versi Papua dan Papua Barat
Walaupun mendapat penolakan keras dan kritik dari berbagai pihak di tanah Papua – bahkan beberapa mahasiswa Uncen harus terus berurusan dengan aparat kepolisian, hingga ada yang ditahan di penjara – pembahasannya tak pernah sedikitpun mengalami kemunduran. Gubernur Papua Lukas Enembe, bersama tim asistensi dari Pemerintah Provinsi Papua, dan tim eksternal seperti dari Kampus Uncen, MRP dan DPRP terus tancap gas sembari mengabaikan tuntutan rakyat Papua; Tim dari Provinsi Papua Barat relative bekerja dengan sedikit tenang, karena praktis tak ada penolakan dari rakyat atau mahasiswa di Papua Barat.
Atau, ini mungkin karena pengerjaannya draf yang dikerjakan secara “tersembunyi” atau tidak diketahui oleh public di Manokwari. Apalagi, deadline waktu yang diberikan kepada tim Asistensi dari Provinsi Papua Barat hanya seminggu. Tentu, ini waktu yang sangat-sangat singkat bukan!
Hingga saat ini, telah dihasilkan draf keempatbelas, yakni draf final atau hasil singkronisasi antara draf versi tim Provinsi Papua Barat dan Papua. Kesepakatan draf tersebut – walaupun ada beberapa point yang tidak saling bersepakat – telah ditanda tangani oleh Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe yang diwakili oleh salah satu pejabat tinggi Dok II, dan Gubernur Provinsi Papua Barat, yang diwakili oleh Sekertaris Daerah Ishak Halatu. Penandatanganan dilakukan di Lumire Hotel Senen, Jakarta, Pusat, Sabtu 15 Februari 2013, sekitar pukul 19.30 Wib, dan rencananya draf akhir ini akan dipaparkan di Kementerian Dalam Negeri, kemudian diteruskan ke DPR RI untuk mendapatkan persetujuan.
Rakyat di Papua sekarang  sedang “dipaksakan” untuk menerima sesuatu yang tidak mereka usulkan? Akan dipaksaan mentaati “aturan” yang tidak pernah mereka mau, dan sepakati secara kolektif. Memang, sungguh ironis pejabat kita di tanah Papua ini; yang menabrak aturan untuk mendengar “bisikan” Jakarta yang belum tentu membawa rakyat Papua ke arah yang lebih baik.
Pada tulisan bagian kedua, saya akan membahas tahapan pergantian nama, awalnya mulai dari nama “Otonomi Khusus Plus”, kemudian “Undang-Undang Pemerintahan Papua”, hingga yang paling terakhir sekarang adalah “Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua”, juga secara detil membahas pasal-pasal awal draf RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua yang dianggap sedikit krusial, dan dapat menibulkan perdebatan panjang di kemudian harinya.  (Bersambung)

KEBERPIHAKAN YANG GAMANG

Studi Banding 6 Media Di Timur Timur
Dalam buku ini menyeroti muatan kekuasaan dalam pemberitaan jajak pendapat Timtim di enam media utama Jawa Timur (Jawa Pos, Surya, Surabaya Pos, dan Memorandum) dan Bali (Bali Post dan Nusa), berangkat dari asumsi, terhalangnya right to know dan right to expression khalayak akibat tekanan kekuasaan (politik, ekonomi, dan budaya/komunalisme) merupakan urusan semua pihak.

Mengamatai peran pers dalam persoalan Timtim, kita akan menemukan sejumlah bukti pers telah memerankan diri sebagai sebuah alat propaganda dan kelengkapan perang urat saraf. Sejak awal menjelang integrasi Timtim ke Wilayah Indonesia, hal ini telah dilakukan para wartawan dengan dimotori para wartawan LKBN Antara, TVRI Berita Yudha yang kebanyakan bertugas menyusup ke Wilayah Timtim bersama dengan kekuasaan – kekuasaan kecil yang dibentuk pimpinan ABRI (sekarang TNI).

Para wartawan “Perang” tersebut yang telah terbiasa bergaul dengan kalangan militer, yang dalam beberapa momentum dipersenjatai, inilah yang menyebarkan sejumlah berita propaganda mengenai keadaan Timtim pada 1974 hingga 1976. Mulai dari merebaknya ancaman “Merah” di Timur Portugis, terjadinya perang saudara hingga bencana kelaparan hebat di Wilayah”tetangga” Indonesia tersebut.
Pada kurun ini sesungguhnya justru “Operasi Komando” dan “Operasi Flamboyan” tengah dijalankan pihak militer Indonesia. Para wartawan tak pernah membuka informasi adanya sejumlah langkah setematis dan persiapan militer yang mendahului pelaksanaan operasi besar – besaran untuk meng – “Integrasi” Timtim leat Operasi Seroja.
Pada saat bersamaan, sebetulnya pihak militer Indonesia juga melakukan penggalangan terhadap sejumlah tokoh politik Timtim, antara lain dengan mengundang para tokoh tersebut untuk datang”melihat - lihat” Jakarta dan keberhasilan pembangunan Indonesia pada 14 April 1975.
Aksi penggarapan terhadap para tokoh Timtim yang dikoordinir tokoh UDT, Lopez da Cruz, akhirnya melahirkan buburnya koalisi Fretilin – UDT. Lopez lantas melancarkan gerakan revolusioner anti – komunisme, yang mencerminkan phobia Indonesia dan Barat terhadap ancaman komunisme, pada 11 Agustus 1975 malam. Gerakan bersenjata yang disertai penangkapan terhadap Xavier do Amaral, Xanana Gusmao, dan sejumlah pimpinan Fretilin inilah yang kemudian berbuntut sebagai perang saudara.

Banyak kalangan juga tak pernah tahu, ABRI pada awal 1980 – an juga membentuk sebuah “Operasi Siluman” yang dipimpin oleh duet Prabowo Subianto (di kemudian hari jadi Dan Kopassus) dan Sjafrie Sjamsuddin ( di kemudian hari jadi Pangdam Jaya). Operasi ini dilakukan dengan cara melakukan penyusupan jauh ke “Wilayah” musuh dan menculik serta membunuh pimpinan masyarakat setempat yang dianggap anti – integrasi.
Secara resmi para wartawan baru memberitakan, pemerintah Indonesia memutuskan melakukan operasi militer ke Timtim baru pada 7 Desember 1975. Namun sesungguhnya langka pengambilalihan Timor Portugis telah direncanakan jauh hari, jauh sebelum terjadinya Revolusi Bunga di Lisabon pada 1974, bahkan rencana telah ada sejak jaman Soekarno.
Tokoh di balik penggembosan politik konfrontasi, Des Alwi, bahkan menyatakan hanya hanya sesat setelah hubungan Indonesia – Malaysia berhasil dipulihkan, Kepala Inteljen Malaysia Tun Abdul Razak menganjurkan pada Soeharto untuk segera mengambil ahli Timtim. Malaysia saat itu selain memberikan dukungan persenjataan juga mendatangkan sejumlah persenjataan canggih lain dari Israel.
Pers sengaja menutup kepalsuan konsep politik luar negeri bebas – aktif yang lebih banyak dikampanyekan sebagai ciri Indonesia sejak jaman Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Non – Blok. Pers segaja tidak memberikan kunjungan perdana Mentri Australia Gough Whitlam pada 6 September ke Wonosobo yang memberikan restu kepada Soeharto untuk menjalankan skenario pencaplokan wilayah Timtim.
Dukungan penuh juga muncul dari Presiden Amerika Gerald Ford yang menyempatkan diri untuk membicarakan masalah Titim pada 7 Desember 1975. Dukungan juga datang dari sejumlah pimpinan Central Intelligence Agency (CIA).
Pers secara spesifik jelas telah mengabaikan sejumlah pertemuan diplomatik antara pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Portugal sebagai bagian darai upaya mencegah terjadinya pertumpahan darah di Timtim, misalnya perundingan Macao pada 26 Juni 1975, dan pertemuan Roma, 3 November 1975. 
Pers lebih tertarik memberitakan keberhasilan militer Indonesia menyelamatkan bumi Timtim dariancaman komunisme dan perang saudara. Terlebih dari itu, ada semacam rekayasa untuk membangun citra, tentara Indonesia memasuki Timtim lebih dikarenakan panggilan suci kemanusiaan, yaitu menghentikan perang saudara.


Militer Indonesia segaja menutup rapat terjadinya sejumlah serangan militer sebagai bagian dari Operasi Flamboyan. Itu sebabnya lima jurnalis asal Australia, Inggris dan Selandia Baru yang menyaksikan serangan pasukan Indonesia ke Wilayah sipil di Balibo dibunuh oleh seorang perwira ABRI pada 16 Oktober 1975.  Peristiwa ini mengakibatkan munculnya kontroversial dan gugatan terhadap Letjen M. Yunus Yosfiah yang dituduh jadi eksekutor atas lima wartawan yang sebelumnya ditembak sempat berteriak dan menujukan identitas mereka adalah wartawan.

Suara Timor Timur yang pada awalnya mendapat bantuan manajerial dari grup kelompok Kompas – Gramedia (KKG) ini pada akhirnya memang jadi mesin propaganda kelompok Pro – Indonesia. Para pemimpin media ini tak lain adalah tokohj Golkar  dan Gubernur. Pada saat menjelang jajak pendapat, pimpinan media ini menutup pemberitaan dari suara lain, selain kelompok Barisan Rakyat Timor  Timur (BRTT) yang sangat Pro –    Jakarta dan tentara. Sang pemimpin redaksi, Salvador Ximenes, merupakan salah satu tokoh BRTT yang melakukan penindasan terhadap wartawannya sendiri yang mencoba bersikap kritis. Perihal ini bisa dilihat: Solahudin dkk, Ganasnya Satgas, Kejamnya Milisi Timtim. Jakarta: Aji Indonesia, 2001. Sejumlah pengamat berpendapat, para wartawan Indonesia lebih banyak menerapkan “jurnalisme omongan” (talking jurnalism) dalam meliput persoalan Timtim. Mereka mencari isu dari kantor berita atau penerbitan luar negeri lantas mengkonfirmasinya pada pejabat militer atau Departemen Luar Negeri, kemudian ditulis bertita. Kebiasaan ini berlangsung selama puluhan tahun.
      Cara ini mungkin Sedang dan sudah di praktekkan oleh para wartawan Pro – Indonesia di Bumi Papua.

Taburlah..!!!  dan Tuailah…!!!



SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2014 USKUP KEUSKUPAN TIMIKA

POLITIK YANG MENYELAMATKAN


Saudara-Saudara terkasih

Uskup Timika dan Pater Dekenat Moni Puncak Jaya
Selamat menjalankan masa prapaskah. Masa prapaskah adalah masa dimana kita membaharuhi diri dengan berdoa dan merenungkan kisah penderitaan Yesus, kita bersolider dengan mereka yang menderita melalui puasa dan pantang, kita mengaku atas kesalahan dan dosa serta membagun perilaku hidup sesuai dengan ajaran Tuhan. Tema APP dalam masa prapaskah adalah Belajar Untuk Hidup Sepanjang Hidup. Manusia tidak hidup dari apa yang diterima dari alam dan orang lain saja tetapi manusia hidup dari apa yang dipelajari dan bertindak berdasarkan apa yang dia pelajari. Dengan belajar, kita mau tahu sesuatu untuk buat sesuatu. Orang yang belajar, akan tahu membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, mana yang menguntungkan dan merugikan, mana yang baik dan jahat. Orang yang tidak belajar adalah orang yang selalu bertindak atas kebiasaan, bertindak menurut pikiran orang lain, bergantung pada keinginan orang lain. Dalam masa prapaskah, kita diajak untuk belajar dari pengalaman Yesus dan bertindak sesuai dengan ajaran injil. Sabda Tuhan menawarkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan hidup bagi setiap orang yang percaya. Sabda Tuhan mengajar kita: belajar untuk percaya dan bertindak karena percaya.


Saudara-saudarah terkasih
Secara khusus saya mengajak umat sekalian untuk merenungkan pengalaman Yesus yang bersentuhan langsung dengan kenyataan politik pada saat ini. belajar dari pengalaman Yesus, perjalanan penderitaan yang berpuncak pada wafat di kayu salib, tidak bisa dilepaskan dari kenyataan politik dan budaya bangsa saat itu. Kabar baik tiada henti ditawarkan melalui penderitaan dan fawatnya untuk menyelamatkan banyak orang khususnya yang lemah dan tertindas. Belajar dari pengalaman Yesus, saya mengajak kita untuk belajar dan bertindak ataskenyataan politik yang sudah kita menanggapi kenyataan politik yang menghancurkan keadaban publik dan kepribadian kita sebagai warga berbangsa dan kepribadian kita sebagai orang beriman ?

Kita semua merindukan gerakan politik bangsa yang menyelamatkan setiap orang untuk keluar dari pengalaman penderitaan dan ketidakberdayaan untuk menjalani hidup yang damai dan sejahtera. Kehidupan damai dan sejahterah adalah tagung jawab kita semua. Namun kita menyadari bahwa peran setiap warga sangat ditentukan juga oleh kekuatan politik, kekuatan ekonomi dan kekuatan aparat Negara. Oleh karena itu di tahun  2014 ada dua peristiwa penting yaitu pemilihan legislatif di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat serta pemilihan presiden. Pemilihan ini akan sangat menetukan nasib kehidupan damai dan sejahtera sangat ditentukan oleh perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan Negara yang ditentukan oleh para pemimpin eksekutif, yudikatif dan legislatif. Tahun ini kita semua diberi kesempatan untuk memilih orang yang dan partai yang tepat yang kelak dapat menjalankan pembagunan yang menyelamatkan semua warga Negara.


Saudara-saudara terkasih
Gereja sangat prihatin atas kenyataan bangsa yang sedang mengalamai krisis moral di segala bidang kehidupan, yang mengakibatkan kehancuran peradaban dan kepribadian masyarakat warga dan masyarakat berbangsa. Ada banyak pengalaman dan keluhan masyarakat antara lain; bahwa
Ø  Para pemimpin dan wakil rakyat yang menyalagunakan jabatan dan asset Negara
Ø  Para wakil rakyat yang jarang di tempat dan pribadi yang tidak beriman dengan kehidupan moral yang tidak sesuai dengan ajaran agama
Ø  Pemilu selalu dijalankan berdasarkan uang/jabatan/kepentingan pribadi dan kelompok tertentu
Ø  Pemilu selalu menyuburkan budaya kekerasan seperti perpecahan, konflik dan permusuhan yang mengorbankan semua lapisan masyarakat,
Ø  Monopoli usaha oleh para penguasa dan para penguasa
Ø  Kerinduan hidup damai dan sejahtera semakin jauh dari harapan .
Negara dan kita semua tidak bisa menyelesaikan masalah bangsa ini dalam waktu yang singkat tetapi kesempatan istimewa tahun ini, kita bisa buat sesuatau yaitu mengunakan hak pilih sebaik mungkin untuk memilih orang dan partai yang tepat. Jika kita memilih orang dan partai yang tidak tepat berarti kita juga turut menghancurkan kehudupan masyarakat. Oleh karena itu saya mengajak umat katolik dan semua orang yang berkemauan baik untuk memperhatikan sejumlah hal menyangkut pemilihan umum:
  1. Hak dan pangilan ikut serta pemilu
Hak ikut memilih dalam pemilu merupakan pangilan sebagai warga Negara. Dengan ikut memilih berarti kita ambil bagian dalam menetukan arah perjalanan bangsa kedepan. Maka itu setiap pemilih menetukan pilihannya dengan cerdas dan sesuai dengan hati nurani. Jangan sekedar ikut-ikutan. Siapapun calon dan partai apa pun pilihan anda, hendaknya dipilih dengan keyakinan bahwa calon tersebut dan partainya akan mewakili rakyat dengan berjuang bersama seluruh komponen masyarakat mewujudkan cita-cita bersama.
  1. Kriteria Calon Legislatif
Para calon legislatif yang akan anda pilih, harus dipastikan bahwa mereka itu memang orang baik, menghayati nilai-nilai agama dengan baik dan jujur, peduli terhadap sesama, berpihak kepada rakyat kecil, cinta damai dan anti kekerasan. Jangan memilih calon pemimpin dan perwakilan rakyat dan pastinya yang jelas-jelas berwawasan sempit, mementingkan kelompok, dikenal tidak jujur, korupsi dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan tidak layak. Hati-hatilah dengan sikap ramah-tamah dan kebaikan yang ditampilkan calon seperti membantu secara material atau member uang. Hendaklah anda tidak terjebak atau ikut dalam politik uang yang dilakukan untuk mendapatkan dukungan suara. Pilihlah calon dan partai yang mau berjuang untuk mengembangkan sikap toleran dalam kehidupan antar umat beragama dan peduli pada plestaraian lingkungan hidup. Secara khusus saya mengajak kita: pilihlah para calon perempuan sebagai tanda pengakuan akan hak dan martabat yang sama, pilihlah putra Papua terbaik yang tahu kepentingan masyarakat banyak.

  1. Kriteria Partai Politik
Pilihlah partai yang tepat, yang memiliki calon legislatif dengan kemampuan memadai dan wawasan kebangsaan yang benar. Pilihlah partai yang memperjuangkan kesejahteraan dan kedamaian setiap warga, partai yang menjamin kebebasan hidup beragama, partai yang tidak mengunakan hak rakyat untuk kepentingan pribadi atau partainya. Partai yang memperjuangkan kepentingan kelompok apalagi tidak berwawasan kebangsaan, hendaknya tidak dipilih.
  1. Pengawasan atas jalan pemilu
Setiap warga Negara diharapkan ikut memantau dan mengawasi proses dan jalannya pemilu. Pengawasan itu bukan hanya pada saat penghitungan suara, melainkan selama proses pemilu berlangsung demi terlaksana pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Kita perlu mendorong dan memberikan dukuingan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang dengan cermat mengikuti dan mengkritisi proses  penghitungan suara bahkan harus terus mengawasi pengumpulan suara dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten agar tidak terjadi rekayasa dan kecurangan.
  1. Pemilu yang Aman dan Damai
Amat penting bagi semua warga masyarakat untuk menjaga pemilu berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, damai dan berkualitas. Jangan sampai terjadi kekerasan dalam bentuk apapun, baik secara terbuka maupun secara terselubung, karena bila sampai terjadi kekerasan maka damai dan rasa aman tidak akan mudah dipulihkan. Perlu tetap waspada terhadap usaha-usaha memecah belah atau mengaduh domba yang dilakukan demi tercapainya suatu target politik. Bila ada sesuatu yang bisa menimbulkan kerawanan, khususnya dalam hal keamanan dan persatuan, maka segenap warga masyarakat harus berpartisipasi untuk menangkalnya.
  1. Para calon legislatif
Para calon legislative, kami hargai anda karena tertarik dan terpanggil terjuan dalam dunia politik. Keputusan anda untuk mempersembahkan diri kepada ibu pertiwi melalui jalan itu akan menjadi kesempatan untuk berkontribusi secara berarti bahkan maksimal bagi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. Karena itu, tetaplah memegang nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta tetap bejuang untuk kepentingan umum dengan integritas moral dan spritualitas yang dalam. Anda dipanggil dan diutus menjadi garam dan terang dunia!
Saudara-saudara terkasih
Demikian harapan dan ajakan Gereja bagi semua umat untuk ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi. Belajar dari pengalaman dan belajar dari sabda Tuhan, jangan mengulangi dosa yang sama. Semoga masa prapaskah turut segera inspirasi dan meneguhkan semangat perutusan kita sebagai seorang beriman sebagai Garam dan Terang dunia.

Semoga Bunda Maria, Ibu segala bangsa, senantiasa melindunggi bangsa dan Negara kita dengan doa-doanya.
                                                                                                          Salam dan doa,
                                                                                              Mrg, John Philip Saklil, Pr.