BUDAYA MIGANI MEMBUNUH SUMBER DAYA MANUSIA INTAN JAYA

 SUGAPA- Budaya merupakan kebiasaan dan kebiasaan itu menetukan suatu suku bangsa, ras,golongan,kelompok dan juga budaya menetukan cara hidup seseorang/pribadi. Budaya atau kebiasaan itu diberikan Cuma-Cuma oleh sang pencipta alam semesta beserta isinya kepada nenek moyang tiap-tiap suku bangsa, untuk di teruskan dari generasi ke generasi. Budaya migani di intan jaya sudah ada sejak nenek moyang migani, namun budaya yang kurang baik harus disesuaikan dengan perkembangan jaman modern. Masalah mas kawin perempuan dan masalah selingku sering terjadi perang marga dan perang suku di kabupaten intan jaya, sehingga menyebabkan korban jiwa dan luka-luka akibat anak panah. Mas kawin perempuan migani biasa dibayar dengan 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sedangkan bayar kepala manusia biasanya 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah). 

Foto: Misael  Maisini
Hal inilah yang membuat anak-anak migani kurang dalam sumber daya manusia. Jika dilihat orang migani memiliki kekayaan yang melimpah ruah, namun di sebabkan oleh faktor budaya, sehingga manusia migani kurang dalam sumber daya manusia. Pagi menjelang siang noken bersama beberapa pemuda hendak pergi ke kepala air sungai Dogabu untuk mencari tahu persoalan-persoalan yang terjadi di sana. Kami lalui beberapa bukit dan anakan sungai serta beberapa perkampungan. Ternyata banyak persoalan yang di hadapai masyarakat di kampung Sonabu dan Mbaituga. Hari itu rabu tanggal 29 Agustus 2012 pukul 12.35 kami tiba di kampung Magalogae dan noken hendak mencari tahu siapa tokoh perang tersebut. 


Pemuda setempat mengantar noken dan hendak ke rumahnya bapak Enos Nayagau. Noken bertemu dengan bapak Enos Nayagau dan saling sapa-menyapa. Bapak Enos menerima noken dengan senang hati untuk diwawancarai. Bapak Enos Nayagau sebagai pemilik perang atau dalam bahasa migani mengatakan Mbole Auu mengatakan bahwa; Tepatnya pada tahun 2003 seorang pemuda selingku dengan istri kepala suku, sehingga kepala suku yang bernama Begagelani Selegani meminta pihak pelaku untuk membayar denda, namun pihak pelaku membanta pernyataan tersebut, maka kepala suku Begagelani Selegani mengangkat busur dan menembak pihak pelaku, sehingga terjadilah perang marga yang dapat menewaskan Naigaukiba Nambagani dan Kepayabega Duwitau serta yang lainnya luka-luka.
Kami sudah bayar kepala (Munggagi/Kigi Indo) dengan kulit bia yang bernama Jigigitagawabogotaga, kulit bia ini sama nilai dengan uang 150.000.000.000 (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah) ditamba kulit bia yang bernama Bodalibaga (RP. 8.000.000) delapan juta rupiah, tambah munggagiagibagapabaga (RP.6.000.000) Enam juta rupiah, tambah Tujimigi (RP. 2.000.000) Dua juta rupiah, tambah Sagalawanibaga (RP. 8.000.000) tamba Degendogangaibaga (RP. 7.000.000) tamba Tomojimbubaga (RP. 15.000.000) tamba Kigi bagu serta babi 30 ekor. Kulit bia dan babi ini kami bayar marga Tigau dan Bagubau dan saat ini kami sedang mengumpulkan kulit bia dan uang untuk bayar kepala Kepayabega Duwitau. 

Kami sudah bayar kepala (Munggagi/Kigi Indo) Kepayabega Duwitau dengan kulit bia yang bernama Sugupakitatuji yang sama nilai dengan uang sebesar 400.000.000 (Empat Ratus Juta Rupiah) tambah kulit bia Anibela (RP.30.000.000) Tiga puluh juta rupiah, tamba Isasigabobaga (RP. 7.000.000) tamba Tujimigi (RP.2.000.000) tamba Engapawanibaga (RP. 3. 000.000) tamba Munikibuga Agibagapabaga (RP 1. 500.000) tambah babi 3 ekor yang sudah disiapkan, sedangkan yang belum disiapkan kami belum bisa untuk memberi keterangan, karena ini perang. Kulit bia dan babi ini kami akan bayar Marga Sondegau, Duwitau, Kum dan Maisini sedangkan untuk Emole Nambagai yang kena luka anak panah baru meninggal kemaring, kami sudah siapkan Jasigabokote yang sama dengan nilai uang lima ratus juta rupiah tamba uang empat puluh lima juta tamba kulit bia Iabumibeabumii (RP. 16.000.000) tamba mbulu-mbulu baga (RP. 5. 000.000) tamba Tujimigi (RP. 2. 000.000) tamba babi empat ekor. 

Selain itu kami kampung Sonabu dan Mbaituga sudah selesaikan beberapa persoalan perselingkuhan dengan uang, babi, ayam serta kelinci dan juga ada beberapa istri kami yang belum bayar mas kawin lalu meninggal dunia, sehingga kami akan hadapi dalam beberapa bulan kedepan. Persoalan-persoalan ini membuat anak-anak kami pulang dengan tangan kosong ke tempat kulia mereka di Jayapura, Makasar dan di Manado. Ini memang budaya suku migani di Intan Jaya yang diberikan Cuma-Cuma oleh Tuhan, namun budaya migani seharusnya disesuiakan dengan perkembangan jaman yang ada. 

Sekolah di Distrik sugapa sudah di bangun sejak tahun 1958, namun masih memiliki sumber daya manusia yang kurang kerena faktor budaya sangat memperhambat proses pendidikan. Sehingga harapan kami kedepan jangan lagi terjadi perselingkuhan, karena akibat perselingkuhan berjatuhan korban jiwa maupun harta, selain itu mas kawin juga harus di sesuiakan dengan situasi keberadaan seseorang, marga dan suku.

Papua Dari Nama ke Nama

Oleh: Oktovianus Pogau*

ADA banyak nama yang pernah diberikan untuk pulau Papua (meliputi Papua dan Papua Barat). Kebanyakan nama pemberian orang asing yang melakukan ekspedisi di wilayah ini. Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia termasuk putra asli Papua sendiri ikut memberikan nama.

Pulau Papua berada di wilayah paling timur negara Indonesia. Ia merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Greendland di Denmark. Luasnya capai 890.000 Km² (ini jika digabung dengan Papua New Guinea). Besarnya diperkirakan hampir lima kali luas pulau Jawa.

Pada sekitar tahun 200 M , ahli Geography bernama Claudius Ptolemaeus (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama Labadios. Sampai saat ini tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios.

Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa China diberi nama Tungki. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pengarang Tiangkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang China saat itu untuk Papua.

Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tugki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Cina Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.

Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedangan dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan juga Samudranta, yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.

Pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama, yakni Wanin dan Sram. Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di daerah Fak-Fak dan Sram, ialah pulau Seram di Maluku. Ada kemungkinan, budak yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini disebut.

Sekitar tahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai Papa-Ua, yang sudah berubah dalam sebutan menjadi Papua. Dalam bahasa Tidore artinya tidak bergabung atau tidak bersatu (not integrated). Dalam bahasa melayu berarti berambut keriting. Memiliki pengertian lain, bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang raja yang memerintah.

Ada juga yang memakai nama Papua sebagai bentuk ejekan terhadap warga setempat—penduduk primitif, tertinggal, bodoh— yang merupakan slogan yang tidak mempunyai arti apapun dengan nama Papua.

Respon penduduk terhadap nama Papua cukup baik. Alasannya, sebab nama tersebut benar mencerminkan identitas diri mereka sebagai manusia hitam, keriting, yang sangat berbeda dengan penduduk Melayu juga kerajaan Tidore. Tapi, tentu mereka tak terima dengan ejekan yang selalu dilontarkan warga pendatang.

Pada tahun 1511 Antonio d’Arbau, pelaut asal Portugis menyebut wilayah Papua dengan nama “Os Papuas” atau juga llha de Papo. Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun kemudian (1526-1527), ia tetap menggunakan nama Papua. Ia sendiri mengetahui nama Papua dalam catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia menyebut dengan nama Papua. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di pulau Tidore.

Berikutnya, pada tahun 1528, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut Spanyol beri nama pulau Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut.

Pada tahun 1545, pelaut asal spanyol Inigo Ortiz de Retes memberi nama Nueva Guinee. Dalam bahasa Inggris disebut New Guinea. Ia awalnya menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Nueva Guinee/Pulau Guinea Baru.

Nama Papua dan Nueva Guinea dipertahankan hampir dua abad lamanya, baru kemudian muncul nama Nieuw Guinea dari Belanda, dan kedua nama tersebut terkenal secara luas diseluruh dunia, terutama pada abad ke-19. Penduduk nusantara mengenal dengan nama Papua dan sementara nama Nieuw Guinea mulai terkenal sejak abad ke-16 setelah nama tersebut tampak pada peta dunia sehingga dipakai oleh dunia luar, terutama di negara-negara Eropa.

Di tahun 1956, Belanda kembali merubah nama Papua dari Nieuw Guinea menjadi Nederlands Nieuw Guinea. Perubahan nama tersebut lebih bersifat politis karena Belanda tak ingin kehilangan pulau Papua dari Indonesia pada zaman itu.

Pada tahun 1940-an oleh Residen JP Van Eechoud pernah membentuk sekolah Bestuur. Disana ia menganjurkan dan memerintahkan Admoprasojo selaku Direktur Sekolah Bestuur tersebut untuk membentuk dewan suku-suku. Didalam kegiatan dewan ini salah satunya adalah mengkaji sejarah dan budaya Papua, termasuk mengganti nama pulau Papua dengan sebuah nama yang mencerminkan budaya Papua, dan nama tersebut harus digali dari bumi Papua.

Tindak lanjutnya, berlangsung pertemuan di Tobati, Jayapura. Di dalam turut dibicarakan ide penggantian nama tersebut, juga dibentuk dalam sebuah panitia yang nantinya akan bertugas untuk menelusuri sebuah nama yang berasal dari daerah Papua dan dapat diterima oleh seluruh suku yang ada.

Frans Kaisepo selaku ketua Panitia kemudian mengambil sebuah nama dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang termahsyur dan dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian.

Dalam bahasa Biak Numfor “Iri” artinya tanah, "an" artinya panas. Dengan demikian nama Irian artinya tanah panas. Pada perkembangan selanjutnya, setelah diselidiki ternyata terdapat beberapa pengertian yang sama di tempat seperti Serui dan Merauke. Dalam bahasa Serui, "Iri" artinya tanah, "an" artinya bangsa, jadi Irian artinya Tanah bangsa, sementara dalam bahasa Merauke, "Iri" artinya ditempatkan atau diangkat tinggi, "an" artinya bangsa, jadi Irian adalah bangsa yang diangkat tinggi.

Secara resmi, pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisepo yang mewakili Nieuw Guinea dalam konferensi di Malino-Ujung Pandang, melalui pidatonya yang berpengaruh terhadap penyiaran radio nasional, mengganti nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian.

Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107-108).

Selanjutnya, Pada 1 Desember 1961, Komite Nasional Papua, disebut Nieuw Guinea Raad oleh Belanda, sebuah lembaga yang disponsori kerajaan Belanda, menyatakan masyarakat Papua siap mendirikan sebuah negara berdaulat, dan mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora. Mereka menetapkan nama Papua sebagai Papua Barat.

Sedangkan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan khusus yang dibentuk PBB untuk menyiapkan act free choice di Papua pada tahun 1969 menggunakan dua nama untuk Papua, West New Guinea/West Irian.

Beritkunya, nama Irian diganti menjadi Irian Barat secara resmi sejak 1 Mei 1963 saat wilayah ini "dianeksasi" dari Kerajaan Belanda ke dalam pangkuan Negara republik Indonesia. Di tahun 1967, kontrak kerja sama PT Freeport Mc Morran dengan pemerintah Indonesia dilangsungkan. Dalam kontrak ini Freeport gunakan nama Irian Barat, padahal secara resmi Papua belum resmi jadi bagian Indonesia.

Setelah Papua menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui PEPERA 1969 yang dianggap penuh rekayasa oleh sebagian besar rakyat Papua, perjuangan untuk tetap memisahkan diri dari Negara Indonesia untuk menjadi Negara merdeka dan berdaulat terus suarakan.

Pada tanggal 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem, pimpinan Pemerintah Revolusioner sementara Republik West Papua di Markas Victoria menggunakan nama West Papua untuk Papua. Kehadiran organisasi ini tak begitu lama karena berhasil di tumpas oleh pemerintah Indonesia melalui beberapa operasi militer.

Dan kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya. Penggantian nama tersebut dilakukan bersamaan dengan peresmian eksplorasi PT Freeport Indonesia yang pusat eksploitasinya dinamakan Tembagapura.

Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, beliau memaklumkaan bahwa nama Irian Jaya saat itu dirubah namanya menjadi Papua.

Kembalinya nama Papua sejak diberikan oleh Kerajaan Tidore di tahun 1800-an memberikan arti tersendiri, bahwa pulau ini dihuni oleh penduduk yang berambut keriting, kulit hitam, punya Ras Melanesia. Ia tak sama dengan ras Melayu –ras masyarakat Indonesia pada umumnya.

*Penulis kordinator Honai Study Club (HSC), tinggal di Jakarta.

PT.Freeport Ke Intan Jaya, Berkat Atau Laknat?

NABIRE- Setelah kurang lebih sepuluh tahun(1990-2000)PT. Freeport Indonesia Company (PT.FIC)meningalkan luka di hati masyarakat Intan Jaya dengan kerusakan lingkungan pemusnahan ekosistim baik flor maupun fauna lewat kegiatan Eksplorasinya kini perusahan Raksasa milik Amerika Serikat itu kembali mengincar kandungan alam diwilayah intan jaya.

Foto: Misael Maisini
Salah satu tokoh pemuda Intan Jaya,Misael Joani kepada Papua Pos Nabire,kamis(18 februari 2010)lalu,mengatakan,Jika peruhan raksasa itu hendak melakukan kegiatanya,terlebih dahulu harus membuat perjanjian kontak kerja (MOU)antara masyarakat pemilik hak ulayat, pemerintah dan disaksikan oleh pengurus Dewan Adat, Tokoh Agama serta pihak berkompoten lainnya.tanpa” Mou” masyarakat tidak akan mengijinkan perusahan itu beroperasi lagi. ujar Misael Joani.
Dikemukakan,setiap areal konsesi PT Freepor selalu saja meningalkan kesan yang mengecewakan masyarakat pemilik ulayat.Ibarat sapi perah yang diperas susunya demi kepentingan manusia,kandugan alamnya dikuras demi PT.Freeport, yang tertinggal hanyalah kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di lokasi penambanggan “entah perusahaan tekad untuk membawah berkat atau Laknat,harus membuat “Mou “terlebih dahulu, tandas Misael Joani.

Menurut Misael Joani,masyarakat masih merasa trauma sebagaimana pengalaman yang pernah dialami oleh saudara-saudara tetangga,suku Amungme dan Kamoro di Timika dan Tembagapura.Oleh karna itu,kata dia belum cukup dengan hanya mengatakan bayar dulu ganti rugi atas segala kerusakan lingkungan yang pernah di lakukan selama kurang lebih sepuluh tahun kegiatan eksplorasi di daerah itu.

Namun justru yang paling penting adalah sebelum melakukan semua kegiatan,apakah eksplorasi ,studi kelayakan,eksploitasi ataupapun Pariwisata (Mbai Gela/Cartens ) terlebih dulu harus membuat Perjanjin konrak kerja/Mou yang akan menguntungkan semua pihak terutama Masyarkat pemilikm hak ulayat.Tanpa perjanjian kontrak kerja/Mou jelas-jelas merupakan penipuan saja” tegas Misael Joani.

Foto Lokasi PT. Minersave di Intan Jaya
Lebih jauh dikatakan,jika dipaksakan atau membuat Perjanjian/Mou sepihak dalam hal ini antara perusahan dengan pemerintah saja tanpa melibatkan masyarakat,maka sama halnya dengan menciptakan konflik sosial yang berkepanjangan dan penindasan di atas kekayan Alam sendiri.Untuk itu lanjut Misael Joani.jika kandungan alam di Intan Jaya tergolong potensial,tentu akan menguntungkan semua pihak termasuk Penambahan Pendapatan Asli Daerah Intan Jaya,maka tidak ada alasan tahap eksplorasi ataupun alasanya,tetap ditolak kalau tanpa membuat perjanjian kontrak kerja (MOU) terlebih dahulu.

Ditambahkan, masyarakat sudah mengetahui bahwa tahap eksplorasi selama sepuluh tahun lalu,sudah lewat. Bahkan hingga masa studi kelayakan pun sudah lewat, setelah perusahan itu menggandeng PT.Mine Serve International (MSI) selama kurang lebih satu tahun. “Kalau bahasanya hanya sedang melakukan eksplorasi atau studi kelayakan itu hanya penipuan saja untuk merasa cuci tangan terhadap semua kesahalan yang pernah dilakukannya,jadi,tetap ditolak,” tutur Joani.

(Papua Pos Nabire)

PEMDA INTAN JAYA MUSTI MEMBUKA MATA HATI

Era Globalisasi saat ini sangat menuntut kebutuhan dalam bidang ilmu komunikasi dan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat. Sehingga sangat mempengaruhi kebutuhan sehari –hari dalam bidang pendidikan entah di Tingkat SD,SMP, SMA dan PT. hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh Gereja, pemerintah maupun LSM. Dijaman dahulu kurangnya teknologi sehingga kebutuhan pun tidak menuntut tiap – tiap orang yang ada dibangku studi.

Foto: Misael Maisini
Kini kebutuhan sangat menuntut tiap – tiap pribadi, sehingga semua yang ada dibangku studi musti pakai alat – alat teknologi seperti Notebook, Leptop, Kompur, Alat Cetak/ Printer, Salin /Foto Copy maupun kebutuhan lainnya.

Khususnya kabupaten Intan Jaya jika dilihat saat ini mahasiswa dan pelajar Intan Jaya se - indonesia tidak mencapai Enam Ratus orang dan Dana yang dianggarkan setiap tahun untuk pendidikan pun kadang tidak jelas dan tidak diberikan tepat pada waktu semester berjalan. Jika saat ini Pelajar dan Mahasiswa tidak diberi sponsor secara baik dan benar bagaimana mau tingkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Kabupaten Intan Jaya yang handal dan siap dipakai.

Ekonomi Masyarakat Kabupaten Intan Jaya saat ini masih sangat dibawah standar, sehingga tidak akan mencukupi kebutuhan anak – anak mereka yang sekolah maupu kuliah dan saat ini juga mau cari tempat kerja sampingan seperti borongan sudah tidak bisa lagi, karena tenaga kerja Tukang maupun buruh semua diantar dari luar Papua.

Saat ini pemerintah Kabupaten Intan Jaya musti buka mata hati untuk belajar melihat keadaan yang sebenarnya terjadi ditanah Papua, entah dibidang Pendidikan, Kesehatan, Pembagunan, Ekonomi, Sosial Budaya dan Kekayaan Alam untuk meneta Kabupaten Intan Jaya secara baik, Benar dan Terarah, Semoga,…!!!!

Menanti Pelantikan DPRD Intan Jaya

ANTUSIAS masyarakat Intan Jaya menanti, kapan waktu pelantikan DPRD Kabupaten Paniai 6 februhari lalu, akan segera dilantik.Tanpa terasa, waktu terus bergukir, hingga satu bulan telah terlewati. Pro dan Kontra dari pihak yang merasa tidak puas dengan hasil pleno KPUD Paniai pun tak terhindarkan.

Disatu pihak ingin hasil pleno penetapan DPRD Intan Jaya terus diproses.Dilain pihak,hasil peleno tersebut sudah sah. Memang diakui, bahwa sebagai bagian dari Negara yang menganut paham demokrasi,yang senantiasa menuntut adanya transparansi,maka protes,proses dan tuntutan yang diajukan adalah sah- sah saja,sebagai aspirasi dan sejau sesuai dengan koridor hokum yang berlaku.

Namun disisi lain akibat dari adanya,akibat dari adanya proses demi proses,bukankah daerah dan rakyat kabupaten intan jaya menjadi korban kepentingan? Karena, target anggran yang ditetpakan untuk periode tertentu akan terbuang begitu saja dan dapat jadi, disalah manfaatkan dengan berbagai dali dan alasan seperti tutup buku, kembalikan kekas Negara dan sebagainya. Bahkan tak menutup kemungkinan masuk kekantung pejabat.

Untuk itu masalah proses atas ketidakpuasan hasil pleno hingga persiapan pelantikan DPRD harus dilihat sebagai masalah pemerintah dan masyarakat Intan Jaya,bukan masalah kepentingan seseorang atau sekelompok partai politik atau KPUD Paniai.sebab jika kondisi ini dibirkan maka, konfilik Horisontal maupun vertical dapat terjadi,degan demikian pihak- pihak “pintar” akan memanfaatkan kesempatan untuk menggelapkan anggaran.

Dengan demikian diharapkan segera untuk menyelesaikaan beberapa masalah urgen yang merupakan PR bagi pemerinth kabupaten intan jaya adalah setidaknya beberapa hal antara lain;memindakan kabupaten intan jaya yang selama ini di Nabire untuk segera naik ke Sugapa,mefasilitasi pelantikan DPRD,mengerakan roda pembangunan di Sugapa serta menyiapkan pelaksanaan pemilukada bupati dan wakil bupti.

Benar bahwa semua pihak menghendaki,kalau diwal pembangunan Intam Jaya ini, mulai dengan meletakan pondasi yang kuat dan kokoh, pondasi tersebut merupakan karya cipta putra/I negeri intn jaya,dari magataga hingga mbulu-mbulu secra bersma yang akan menopang beban pembangunan.

Menurut hemat kaca penulis,kehadiran 20 anggota DPRD,sudah mencerminkn warna intan jaya,jika ada warna yang merasa tidak terwakili dalam meghiasi ke-20 kursi empuk anggota DPRD Kabupaten Intan Jaya itu, maka bukan berarti gagal,karena masih banyak peluang dan kesempatan lain yang akan dapat diisi,walau dalam hal lain.sebab,kegagalan kali ini merupakan keberhasilan yang tertunda untuk hari- hari mendatang. Sebab memang harus banyak belajar berjiwa besar,karena akibat dari pengambilan sebuah keputusan,tidak semua orang akan merasa puas.

Namun,tentu saja,ada yang pulang dengan kepuasan karena membawa hasil.sebaliknya ada juga yng pulang dengn rasa kecewa,Karen tidak berhasil sehingga pulang dengan tangan hampa. jika protes dan proses demi kepentingan kelompok partai politik,akan mengorbankan daerah dan masyarakat intan jaya,untuk itu, demi pembangunan daerah,sebaliknya jangan mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah tetapi,pemerintah bersama KPUD kabupatem paniai dan semua pihak yang berkepentingan dalam hal ini untuk secepatnya duduk bersama mengambil langka terbaik sehingga mempercepat proses pelantikan agar roda pembangunan dapat berjalan sesuai impin dan harapan kita bersama.

Penulis adalah sala satu tokoh pemuda Intan Jaya tinggal di Bumiwonerejo,
Nabire ( Martinus Alfa Mujiju )
.

Kapan Anak Daerah Intan Jaya Mau Diberdayakan ?

NABIRE-Kapan lagi kalau bukan sekarang, dan siapa lagi kalau bukan anak daerah intan jaya yang harus diperhitungkan pada urutan pertama pada keterlibatan dalam setiap kegiatan.Kondisi ini seperti terjadi pada kegiatan bimbigan teknis (BIMTEK) keuangan yang pesertanya lebih banyak terlihat putra non Intan Jaya.

Foto: Misael Maisini
Sala satu kepala Dinas,pada saat menyampaikan pesan dan kesannya mengatakan,peserta pelatihan Bimtek (Bimbingan Teknis)lebih banyak diisi putra non Intan Jaya.Hal ini secara langsung maupun tidak langsung menunjukan adanya pengabaian dan pembunuhan generasi mudah anak derah intan jaya untuk belajar dan bersaing dengan orang lain.

Kepala Dinas tersebut mengaku sangat kecewa,karena peserta yang mengikuti Bimtek (Bimbingan Teknis) nampak “muka baru” yang belum punya SK di Kabupaten Intan Jaya,baru didatangkan lantas diikutkan dalam kegiatan Bimtek,ujarnya.

Soal kemampuan atau ketidkmampuan anak daerah maupun non putra daerah,bukan ukuran.Justru supaya diawal meletakan pondasi pembagunan Intan Jaya,anak daerah harus diberdayakan karena mereka ingin belajar dari belum tahu,sehingga menjadi tahu. Dengan demikian,,tekad baik bimbigan teknis (Bintek) keuangan yang digelar Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan Kabupaten Intan Jaya menjadi “Tidak bernilai” dalam hal pemberdayan bagi anak daerah.

Hal ini terkesan Ibarat memberikan makan kepada orang yang sudah kenyang.Sangat mengecewkan anak daerah.Jika cara seperti ini tetap di perhatikan maka kedepan akan menciptakan jurang pemisahan antara yang satu dengan yang lain (Mengaduh-dombakan) sesama yang dulunya mempunyai hubungan kekeluragaan yang sangat erat antara satu sama yang lain,kemudian terpeca bela karena kepentingan dan kekuasaan semata.

Hal ini dilahirkan oleh para penguasa daerah Intan Jaya.Sebab,dapat jadi demi kepetingan para kepala SKPD. Jika demikian kepala SKPD bersangkutan tidak mencintai daerah dan masyarakatnya,karena hanya diatas bibir yang mengatakan sebagai penggagas pejuang dan lain sebgainya untuk lahirnya Intan Jaya. Justru kepala SKPD non putra Intan Jaya seperti BKD, Kependudukan dan Catatan Spil serta Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Perempuan adalah contoh baik yang patut ditiruh.

Sebaliknya, Dinas Pariwisata,Perhubunggan,Informatika dan Komunikasi merupakan contoh paling buruk dimata pemerintah maupun rakyat Intan Jaya yang harus dihindari. Bukan tanpa alasan.Merasa diri sebagai sang kepala Dinas, mendatangkan pegawai baru, lantas dalam hitungan detik langsung diserahai jabatan “katanya” Bendahara dan Operator Computer,tanpa ada satu penghargaan pun terhadap Pegwai lama yang notebene putra daerah dan mengabdi di Dinas Informatika dan Komunikasi(Almarhum Martinus Alfa Mujijau) bahkan dengan beraninya menayakan buku kas Dinas Infokom karena merasa diri orang dekat dengan Kepala Dinas perhubungan (Leo Sondegau).

Memang di sadari bahwa alamat Protes Pegawai Dinas Perhubungan,Pariwisata, dan Komunikasi adalah bukan kepada Pegawai baru atau Operator Computer.Tapi cara bertanya itu sebaiknya pakai etika organisasi. Atau mungkin sudah disuntik sang kepala Dinas (Leo Sondegau),sehingga bicaranya blak-blakan tanpa menyadari dirinya orang baru.

Selain itu,pergantian Bendahara baru pada Dinas Informatika dan komunikasi Yaitu (Martinus Alfa Mujijau ) di Kabupaten Intan Jaya tidak melalui Prosedur.Merasa diri sebagai pemegan kendali Dinas Perhubungan,Pariwasita,Informatika dan komunikas (Leo Sondegau ) di kabupten intan jaya,padahal justru “Buta Aturan”, sehingga kepala SKPD yang satu ini mengganti bendahara tanpa koordinasi.

Saat menayakan siapa sebenar-nya Bendahara yang mengikuti Bimbign Teknis (Bimtek) supaya sesuai dengan jumlah yang di atur panitia yang hanya tiga orang setiap Dinas yang mengikuti Bimtek.Namun di awal mengikuti Bimtek,Kepala Dinas (Leo Sondegau) mengatakan ikut saja semua.Padahal dalam kenyataanya Sudah di Ganti.

Hal ini baru diketahui bendahara lama,yaitu (Martinus Alfa Mujijau) pada saat sekedar untuk mengecek Dana di Bank Papua Cabang nabire,namun mantan bendahara ini dikagetkan dengan permintaan Rekening Giro oleh salah satu petugas BPD.Karena masalah itu tidak ada hubungannya dengan petugas Bank,justru masalah Dinas,sehingga mantan bendahara (Martinus Alfa Mujijau ) pun menolak menyerakan Rekening giro.

Menolak menyerhakan Rekening Giro itu karena Pergantian Bendahara Ada Aturannya.Tidak bisa semuanya itu diatur sewenang-wenangnya oleh Kepala Dinas Perhubungan,Pariwisata,Informatika dan Komunikasi (Leo Sondegau). Apalagi saat itu sedang bermasalah dan belum ada solusi/ jalan kelur yang baik.

Martinus Alfa Mujijau

PEMBANGUNAN DI INTAN JAYA HARUS ADA KOORDINASI DENGAN MASYARAKAT ADAT

Sugapa – Intan Jaya, Siang itu kami mulai berjalan sambil bercerita menuju Jogatapa dan setibanya disana kami jumpai masyarakat yang sedang menonton pertandingan bola. Wah,.. asiknya bukan main kami juga ikut meramaikan kegiatan tersebut. sementara kami sedang nonton pertandingan tersebut ada yang panggil kami dari arah Kantor Distrik Sugapa. Kami kesana dan menjumpai mereka sambil bersalam – salaman dan kami bercerita sambil menonton bola.

Foto: Misael Maisini
Tepatnya hari senin tanggal 08 Agustus 2011 pukul 12. 29 WPB mereka mengajak kami untuk pergi cerita disamping kantor Distrik sehingga kami bertiga kesana. Disana mereka menyampaikan keluhan mereka yang selama ini di abaikan oleh Pemda Intan Jaya maupun para Kontraktor di Sugapa.

Kami sudah serahkan tanah ke pemda Intan Jaya dan tanah – tanah yang awalnya sudah digusur tidak dibangun bangunan sehingga rumput tumbuh lalu mereka mengusur tanah – tanah baru dan membangun bangunan ditempat yang baru gusur, hal ini kami sangat tidak senang, karena tempat – tempat keramat juga digusur tanpa sepengetahuan kepala suku Sambilli, Thom Abugau.

Sehingga harapan kami kedepan harus mengetahui kepala suku, sebab kepala suku yang tahu persis tentang alam dan tanah, dia tahu dimana tempat -tempat keramat dan dimana tempat – tempat bukan keramat, jangan datang dan membangun tanpa sepengetahuan kepala suku dan masyarakat setempat, tegas Damaskus Sani.

Bangunan – bangunan yang dibangun disinipun sangat membingungkan kami, karena dalam satu lokasi ada berbagai kantor yang bercampur baur. Kami akan bingung karena disitu ada kantor dinas Kesehatan, dinas DPU, kantor KPU maupun kantor – kantor yang lain dan juga rumah – rumah para pejabat tidak dibangun satu tempat, semua kantor dan perumahan kocar - kacir.

Hal ini akan membuat kami masyarakat bingung di kemudian hari. Kemudian hari apabila ada urusan di kantor dan lain sebagainya yang jelas dari satu tempat kami akan ketempat yang lain. kami usulkan agar kedepannya pemda Intan Jaya harus bangun satu dinas dalam satu lokasi demikian juga dengan dinas – dinas lain, jangan kocar – kacir seperti bangunan yang sudah ada ini, Tambah Yohanes Tigau.

Akhir – akhir ini kami melihat banyak persoalan, terutama Minuman Keras yang sudah beredar disini, ini sangat berbahaya dan berbahaya bagi kabupaten Intan Jaya. dimana – mana persolan selalu terjadi karena dipicu dari mengkonsumsi minuman keras. Minuman keras ini harus dimusnahkan dari sekarang dan semua pihak harus mengambil sikap tegas terutama Dewan Adat Intan Jaya dan Pemda Intan Jaya. Jika pengedar miras ini dibiarkan, maka daerah ini akan menjadi daerah merah. Oleh sebab itu harus diatasi sebelum terjadi, tegas Yohane Tigau.

Akar Rumput Intan Jaya Mengharapkan Jiwa Seorang Pemimpin

Bukan saatnya kita percaya basa-basi, tapi tindakan nyata di ditengah – tengah akar rumput. Uang bukan patokan atau ukuran, tapi yang menjadi Patokan atau ukuran adalah Sebuah bukti dari perputaran Roda Pembangunan di negeri Intan sesuai dengan apa yang di harapkan oleh masyarakat akar rumput.

Foto: Mepa
Pemimpin di negeri Intan harus melayani dan beta tinggal dengan akar rumput koteka dan cawat.Para Pemimpin Intan Jaya bersama Masyarakat.

Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang selalu merasakan penderitaan akar rumput dan juga pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mengadakan komunikasi langsung antara atasan dan bawaan begitu juga antara bawaan dengan atasan sehingga melahirkan suasana saling mengoreksi dan saling melengkapi. Jika ada suasana saling mengoreksi dan saling melengkapi antara atasan dan bawaan demikian juga antara bawaan dengan atasan, maka roda pembangunan intan jaya akan lebih baik dan lebih maju dari sekarang.

Ini yang dikatakan pemimpin yang merasakan penderitaan akar rumput negeri Intan. Sehingga pemimpin merasa masyarakat akar rumput merupakan satu bagian yang tak dapat dipisa-pisakan dari pada-nya. Ibarat satu anggota tubuh yang terdiri dari mata, telingga, hidung, tangan, kaki dan lain Sebagainya, contohnya apabila tangan kita terpotong oleh pisau atau suatu benda, maka yang akan merasa sakit adalah satu anggota tubuh itu, yaitu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Namun sebaliknya apabila tidak terjadi komunikasi, saling melengkapi, saling mengoreksi antara atasan dengan bawaan dan bawaan dengan atasan, maka yang menjadi korban pembangunan dan korban politik adalah akar rumput Intan Jaya. Jiwa seorang pemimpin harus merasakan keluhan, kelemahan, kekurangan dan harapan-harapan dari akar rumput Intan Jaya, pemimpin dan bawaan harus mengadakan evaluasi dalam setiap dua bulan entah itu antara atasan dan bawaan dan juga bawaan dengan atasan serta bawaan dengan pihak berkompeten lainnya.

Hal ini dilakukan agar sikap seorang pemimpin benar-benar memahami dan mengetahui penderitaan akar rumput serta melihat, mempelajari dan menjawab keluhan – keluhan mereka. Untuk melihat, mempelajari dan menjawab keluhan – keluhan akar rumput bukanlah hal yang mudah semudah membalik telapak tangan langsung jadi, namun dibutuhkan waktu dan proses.

Dalam waktu dan proses tersebut dibutuhkan kejujuran, kesetiaan, kebijaksanaan, ketaatan, keberanian dan ketenagan serta saling menerima dan menghargai antara atasan dengan bawaan, demikian juga sebaliknya.
“Pemimpin yang baik berawal dari bawaan yang Baik dan Bijaksana serta Sonowi yang baik berawal dari Kogome yang baik dan Bijaksana”,..Semoga,.!!!

Penulis Adalah Anjing Jalanan/Keago – Keago Home
Tinggal di Port Numbay – Papua Barat

Persaingan Versus Pembangunan di Intan Jaya


           
Pemerintah kabupaten adminsteratif Intan Jaya telah berjalan kurang lebih delapan bulan,setelah mentri dalam negeri melantik MaximusZonggonau sebagai pejabat bupati.Namun secara efektifnya dapat dikatakan enam bulan,terhitung sejak pejabat bupati mebentuk kabinet dan melantik para pejabat esalon II,III,IV Diakui atau bahkan dilupakan pun, walaupun usianya baru seumur jagung dalam menjalankan roda pemerintahannya selama  beberapa bulan terakhir telah banyak menunjukkan keberhasilan melalui sejumlah sektor pembangunan daerah.

Foto: Misael  Maisini
Hasil tersebut tentu merupakan keberhasilan seorang pejabat bupati serta kebanggaan daerah dan masyarakat,supaya nama Intn Jaya menjadi harum di kancah daerah hingga Nasional. Sebagai pejabat bupati yang memiliki ‘pekerjaan rumah’ yang harus ia laksanakan, sudah barang tentu bukan pekerjaan mudah semudah membalik telapak tangan langsung jadi.

Disatu sisi ia dikejar oleh waktu, karena ada ketentuan batasan waktu yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk menggerakan roda pemerintahan Atministrasif Intan Jaya dalam periode tertentu dan disisi lain  ada banyk harapan, keluhan dan kebutuhan rakyat yang perlu dijawab dalam wakyu yang sama. sehingga tugas mulia yang diembanya, ibarat ‘sambil menyelam minum air yaitu melaksanakan tugas yang dipercayakan pemerintah pusat sambal menjawab kebutuhan dan tuntutan masyarakat didaerah kepemimpinannya. Namun sebaliknya selama beberapa bulan roda pemerintahan Adminstertif Intn Jaya berjalan ada saja pemalangan dan keributan terus terjadi di kantor penghubung yang letaknya di siriwini itu.

Ada apa dengan bangunan mewah bercat pernis tersebut ?. Ketika mengintip kedalam, ternyata nampak terlihat sekelompok orang datang dengn baju keki hansip penuh wibawah namun penuh kecewa dan pesimis terhadap roda pemerinthan yang sedang berjalan.

Ada apa di dalam bangunan mewah yang dibangun oleh para tukang dengan kontruksi bangunan tahan gempa ini ? Ternayata, setelah menengok ke dalam, selain pejabat bupati yang dilantik  berdasarkan SK Menri Dalam Negeri, ada juga ‘bupati- bupati kecil’ yang berkuasa dan meminkan peranya atas pemerintahan Adminstratif intan jaya. Akibatnaya nampak tercipta golongan dan kelas-kelas yang menimbulkan kesenjangan cukup pemprihatinkan. Ada yang merasa diri golongan kelas satu ada pula dikelasduakan dan seterusnya.

Memang tidak menjadi soal, entah dinomor satu atau dinomorduakan yang paling penting adalah tidak mempengaruhi visi dan misi pejabat bupti. Ibarat halnya orang lian yang makan nagka, tetapi lainyaa yang kena getanya. sehinga entah dengan maksud terselubung atau tidak bau dampakny tidak mempengruhi kinerja kepemimpinn pejabat bupti serta yang paling dikuatirkan rakyat jelata ditingkat akar rumput, sebab memang dalam hal kondisi rakyat dengan keadaan yang kumu dan polos terhadap semu pengaruh, perubahan dan masalah karena mereka harapkan adalah bagimana merasakan segarnya angin pembangunan dan perubahan setelah hadirnya intan jaya ditengah merek.

Namun harapan itu tinggalah harapan semata. Karena yang sedang terjadi adalah ‘kekuasan dan kepentingan’ melulu disemua lini pembangunn. Mengapa tidak, setelah dikelurkanya Undang-Undang Daerh Otonomi baru dengan nama Intan Jaya bersama pejabat Bupati disusul lagi dengan penyusunan kabinet dalam pemerintahan Administeratif hany nama dan waja bupti yang ada ditengah masyarkat.

Bukan tanpa Alasan masyarakat diwilaya Intan Jaya tahu hanya bersyukur kehadiran kabupaten Intan Jaya secara simbolis saja, karena para pejabat dengan proses administersinya bukan dijalankan diintan jaya, namun justru di Nabire.
Selama proses administerasi dijalankan dinabire dengan Alasan kantor penghubung di Nabire yang letaknya di Sriwini para  kepala SKPD juga semu mengontrak sejumlah rumah, bahkan rumah pribadi dijadikan sebgai kantor.

Mungkin  belum cukup dengaan kantor penghubung di Sriwini dan ditambah lagi dengn motor bebek plat merah berwarna hijau merek Jupiter yang perna dibagikan kepada para kepala SKPD lagi- lagi mengontrak rumah.

Kantor Bupati Intan Jaya, Foto: Robby Migau
Motif apa dibalik semu itu ?Apakah dan hibah hanya unutk menunjang tugas para kepala SKPD dan merasa diri besar pangkat dan golongan besar saja lalu bagimana dengan penunjang kebutuhan bagi staf dan golongan kecil, karena soal golongan dan jabatannya memang beda tapi kebutuhan hidup  di Nabire kan sama toooo,..…………….Kenapa suru dataang berkantor di Nabire tapi penunjang tugasanya hanya diberikan kepada yang golongan besar saja. Apa lagi jarak tempat tinggal warga intan jaya lebih banyak bermukim disekitar Karang Tumaritis dan Gerbang sadu. Ketimbang para kepala SKPD dan mereka yang merasa diri golongan kelas satu yang hanya cukup mengelurkan ongkos bensin tidak lebih dari sepuluh ribuh per hari.

Dari kondisi dan pengalaman ini, mukinkah pembangunan intan jaya akan dijalankan dengan balas dendam sesuai periode kepemimpinanya. Tercipta jurang dan gep-gep. kalau demikian siapa yang untung dan siapa yang rugi,.? Tentu saja hanya para elit politik yang notebane penguasa dan penguasa semakin menjadi Konglo-merat sementara rakyat jelata sedang konglo- melarat.

Bahkan lebih disesalkan lagi adalah rakyat Intan Jaya belum mengetahui wajah dan kinerja para pejabat yang perna dilantik bupati dan karya nyata ditengah-tengah masyarakat belum ada, namun dikagetkan  sengan isu pemilukada dan justru cikal bakal kandidatnya adalah para pejabat yang kinerjanya belum diketahui etnis kotek dan cawat di intan jaya itu,entalah,..................


                                     Penulis adalah sala satu tokoh pemudah Intan Jaya tinggal di
                                     Bumiwonerejo, Nabire ( Martinus Alfa Mujijau).


MIGANI MENE: KATAKAN TIDAK PADA SAPUSA


Katakan Tidak Pada Sapusa, Berarti Tidak Ikut Menyanyi Sapusa, Tidak Me - Rekam lagu – lagu Sapusa entah di Hendphone, di Laptop maupun di alat bantu lain - nya.
Kawan – Ku Sebelum Kau Merubah Diri Sendiri, Jangan Harap Kau Mau Rubah Diri Orang Lain. Bagimana kau mau mengajak Orang Lain Untuk Katakan “Tidak Pada Lagu Sapusa”, Sedangkan Kau Sendiri Masih Cinta Lagu Sapusa dan Ikut Menyanyi, Merekam dan Melakukan - nya. 

PERUBAHAN Itu di Mulai Dari Diri Pribadi dan ke Kelompok, maka di sana akan Tercipta Suatu Perubahan.

Kawan – Ku,…. Sadarlah,….Bahwa;
TUHAN ALLAH Menempatkan setiap SUKU di setiap Dearah dengan budaya mereka masing – masing. Demikian juga Budaya SUKU MIGANI di Tanah Migani.  Budaya Migani di berikan TUHAN ALLAH kepada nenek Moyang Migani untuk di teruskan dari Generasi ke Generasi. 
Ataukah,.? Nenek Moyang Migani pernah belajar kah,..??? Mengenai bagimana cara buat Rumah,.?  bagimana cara menyanyi,.? Bagimana cara buat Kebun,.? Bagimana Cara Buat Cawat dan Koteka,.?  dan cara – cara lain – lain,..!!! Penulis rasa TIDAK,..!!! karena  Budaya itu di berikan Cuma – Cuma dari TUHAN ALLAH kepada Tiap – Tiap SUKU di setiap daerah dan wilayah Untuk di Teruskan dari generasi ke generasi.  

Mulai Saat Ini Generasi Harus Sadar Akan Hal ini, Karena Cara yang selalu digunakan oleh neo- kolonial di belahan dunia  mana saja adalah bagimana meng - Hancurkan Budaya Kaum Pribumi.  Ketika budaya Kaum Pribumi sudah dihancurkan, maka “Jati Diri” sebagai orang pribumi terhilang; jika ini yang terjadi, maka Dasar Pijakan ter - Hilang, Hancur dan kehilangan Arah Hidup, setelah budaya dihancurkan dan dimusnahkan oleh Neo - Kolonial,  maka neo- kolonial “Akan Menguasai Tanah dan Kekayaan Alam Kaum Pribumi”.  Begitu tanah dan kekayaan alam sudah di Kuasi oleh Neo- Kolonial, maka habis juga kaum pribumi di atas tanah leluhur mereka.

Kawan – ku,…Bukalah Mata – Mu dan Lihatlah,...!!!

Rumah Adat Suku Migani; Foto; Martinus Nayagau
Budaya Migani Saat ini Terkikis dengan Sendiri - nya dan Mulai Punah dari Bumi Intan Jaya. Jika Generasi Saat Ini Tidak Sadar Akan Hal ini, maka Budaya Migani Akan Punah dan Punah dari Bumi Intan Jaya. 

Kebenaran Dapat di Salah - kan, Tetapi Tidak Dapat Di Kalah - kan, Karena Kebenaran Tetaplah Kebenaran




SALAM PERUBAHAN,…!!!
APA YANG ENGKAU TABUR KINI, ENGKAU AKAN MENUAINYA

Masyarakat Intan Jaya Jangan Hanya Ingat Makan Hari Ini dan Pakai Hari Ini

Pemandangan Negeri Intan, Foto; Martinus Nayagau
Berbagai fakta membuktikan bahwa sumber daya alam hilang akibat dari kaum pribumi dengan sengaja maupun tidak sengaja melepaskan lahan secara besar – besaran hanya untuk mendapatkan keuntungan sesat. Hal ini juga diakibatkan dari harapan kaum pribumi akan mendapatkan hidup yang lebih baik jika menjual tanah atau melepas lahan kepada para pembeli atau para pengusaha, namun sebaliknya kaum pribumi kehilangan sumber – sumber hidup setelah menjual tanah atau lahannya kepada pengusaha. 

Pengusaha juga kadang memanfaatkan keterbatasan dan ketertinggalan kaum pribumi untuk membuat usahanya dilahan yang telah dilepaskan oleh kaum pribumi, sehingga para pengusaha tidak pernah membuat perjanjian yang jelas dan pasti untuk kaum pribumi. sehingga kaum pribumi pada akhirnya tidak bisa berbuat apa – apa, karena telah ditipu oleh pengusaha dengan jaminan yang tidak jelas dan tidak pasti.

Sesuai pantauan “Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya” (KOMISI) dari Magataga sampai Mbulu – mbulu pada bulan juli sampai dengan Agustus tahun 2011 di Intan Jaya telah melihat lahan Hutan yang telah dilepas oleh masyarakat kepada pengusaha kayu di sepanjang jalan Duginduga menuju Kemadoga tepatnya di Migipigumba Intan Jaya.

Hutan – hutan yang dianggap keramat oleh nenek moyang pun dibabat habis tanpa peduli akan leluhur yang menghuni alam tersebut, karena yang diharapkan masyarakat “Hanya Ingat Makan Hari Ini dan Pakai Hari Ini” sehingga tempat dimanah Roh – roh dan arwah – arwa para leluhur tinggal tidak di pedulikan oleh masyarakat. Namun disisi lain sebenarnya roh – roh dan arwa – arwa para leluhur itulah yang melahirkan, menyusui dan membesarkan kaum pribumi untuk menikmati alam yang telah ada.

Saat ini roh – roh dan arwah – arwah tidak akan menyakiti kaum pribumi yang menjual tanah dan hutan, tetapi akan dirasakan pada beberapa tahun mendatang, karena ditempat itulah kaum pribumi dilahirkan dan dibesarkan, namun kaum pribumi tidak sadar dan masih terus menjual tanah dan hutan.  Disisi lain  hutan dan kayu tidak akan dinikmati oleh anak dan cucu mereka, karena telah di jual habis.

Masyarakat Intan Jaya perlu sadar dan tahu bahwa pohon – pohon atau hutan – hutan berada didekat pinggiran rumah dan bukit – bukit kecil sedangkan di gunung hanya terdapat pohon – pohon kecil yang dalam bahasa setempat mengatakan (Tugapa), oleh sebab itu “Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya” (KOMISI) menegaskan kepada seluruh masyarakat Intan Jaya dari Anepone – Sanepone sampai Mbulu – Mbulu bahwa harus membuat perjanjian yang jelas dan pasti dengan pengusaha kayu atau hutan. 
Jika pengusaha kayu tidak membuat perjanjian yang jelas dan pasti kepada masyarakat, jangan masyarakat coba – coba untuk melepaskan lahan, karena pada akhirnya masyarakat yang akan mengalami segala kerugian, yaitu berupa tempat keramat, hutan maupun kayu dan juga generasi tidak akan menikmati. 

                                                            Oleh Misael Maisini