BUDAYA MIGANI MEMBUNUH SUMBER DAYA MANUSIA INTAN JAYA

 SUGAPA- Budaya merupakan kebiasaan dan kebiasaan itu menetukan suatu suku bangsa, ras,golongan,kelompok dan juga budaya menetukan cara hidup seseorang/pribadi. Budaya atau kebiasaan itu diberikan Cuma-Cuma oleh sang pencipta alam semesta beserta isinya kepada nenek moyang tiap-tiap suku bangsa, untuk di teruskan dari generasi ke generasi. Budaya migani di intan jaya sudah ada sejak nenek moyang migani, namun budaya yang kurang baik harus disesuaikan dengan perkembangan jaman modern. Masalah mas kawin perempuan dan masalah selingku sering terjadi perang marga dan perang suku di kabupaten intan jaya, sehingga menyebabkan korban jiwa dan luka-luka akibat anak panah. Mas kawin perempuan migani biasa dibayar dengan 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sedangkan bayar kepala manusia biasanya 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah). 

Foto: Misael  Maisini
Hal inilah yang membuat anak-anak migani kurang dalam sumber daya manusia. Jika dilihat orang migani memiliki kekayaan yang melimpah ruah, namun di sebabkan oleh faktor budaya, sehingga manusia migani kurang dalam sumber daya manusia. Pagi menjelang siang noken bersama beberapa pemuda hendak pergi ke kepala air sungai Dogabu untuk mencari tahu persoalan-persoalan yang terjadi di sana. Kami lalui beberapa bukit dan anakan sungai serta beberapa perkampungan. Ternyata banyak persoalan yang di hadapai masyarakat di kampung Sonabu dan Mbaituga. Hari itu rabu tanggal 29 Agustus 2012 pukul 12.35 kami tiba di kampung Magalogae dan noken hendak mencari tahu siapa tokoh perang tersebut. 


Pemuda setempat mengantar noken dan hendak ke rumahnya bapak Enos Nayagau. Noken bertemu dengan bapak Enos Nayagau dan saling sapa-menyapa. Bapak Enos menerima noken dengan senang hati untuk diwawancarai. Bapak Enos Nayagau sebagai pemilik perang atau dalam bahasa migani mengatakan Mbole Auu mengatakan bahwa; Tepatnya pada tahun 2003 seorang pemuda selingku dengan istri kepala suku, sehingga kepala suku yang bernama Begagelani Selegani meminta pihak pelaku untuk membayar denda, namun pihak pelaku membanta pernyataan tersebut, maka kepala suku Begagelani Selegani mengangkat busur dan menembak pihak pelaku, sehingga terjadilah perang marga yang dapat menewaskan Naigaukiba Nambagani dan Kepayabega Duwitau serta yang lainnya luka-luka.
Kami sudah bayar kepala (Munggagi/Kigi Indo) dengan kulit bia yang bernama Jigigitagawabogotaga, kulit bia ini sama nilai dengan uang 150.000.000.000 (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah) ditamba kulit bia yang bernama Bodalibaga (RP. 8.000.000) delapan juta rupiah, tambah munggagiagibagapabaga (RP.6.000.000) Enam juta rupiah, tambah Tujimigi (RP. 2.000.000) Dua juta rupiah, tambah Sagalawanibaga (RP. 8.000.000) tamba Degendogangaibaga (RP. 7.000.000) tamba Tomojimbubaga (RP. 15.000.000) tamba Kigi bagu serta babi 30 ekor. Kulit bia dan babi ini kami bayar marga Tigau dan Bagubau dan saat ini kami sedang mengumpulkan kulit bia dan uang untuk bayar kepala Kepayabega Duwitau. 

Kami sudah bayar kepala (Munggagi/Kigi Indo) Kepayabega Duwitau dengan kulit bia yang bernama Sugupakitatuji yang sama nilai dengan uang sebesar 400.000.000 (Empat Ratus Juta Rupiah) tambah kulit bia Anibela (RP.30.000.000) Tiga puluh juta rupiah, tamba Isasigabobaga (RP. 7.000.000) tamba Tujimigi (RP.2.000.000) tamba Engapawanibaga (RP. 3. 000.000) tamba Munikibuga Agibagapabaga (RP 1. 500.000) tambah babi 3 ekor yang sudah disiapkan, sedangkan yang belum disiapkan kami belum bisa untuk memberi keterangan, karena ini perang. Kulit bia dan babi ini kami akan bayar Marga Sondegau, Duwitau, Kum dan Maisini sedangkan untuk Emole Nambagai yang kena luka anak panah baru meninggal kemaring, kami sudah siapkan Jasigabokote yang sama dengan nilai uang lima ratus juta rupiah tamba uang empat puluh lima juta tamba kulit bia Iabumibeabumii (RP. 16.000.000) tamba mbulu-mbulu baga (RP. 5. 000.000) tamba Tujimigi (RP. 2. 000.000) tamba babi empat ekor. 

Selain itu kami kampung Sonabu dan Mbaituga sudah selesaikan beberapa persoalan perselingkuhan dengan uang, babi, ayam serta kelinci dan juga ada beberapa istri kami yang belum bayar mas kawin lalu meninggal dunia, sehingga kami akan hadapi dalam beberapa bulan kedepan. Persoalan-persoalan ini membuat anak-anak kami pulang dengan tangan kosong ke tempat kulia mereka di Jayapura, Makasar dan di Manado. Ini memang budaya suku migani di Intan Jaya yang diberikan Cuma-Cuma oleh Tuhan, namun budaya migani seharusnya disesuiakan dengan perkembangan jaman yang ada. 

Sekolah di Distrik sugapa sudah di bangun sejak tahun 1958, namun masih memiliki sumber daya manusia yang kurang kerena faktor budaya sangat memperhambat proses pendidikan. Sehingga harapan kami kedepan jangan lagi terjadi perselingkuhan, karena akibat perselingkuhan berjatuhan korban jiwa maupun harta, selain itu mas kawin juga harus di sesuiakan dengan situasi keberadaan seseorang, marga dan suku.