Sejumlah Biarawan Katolik Peduli HAM Ditangkap Polisi di Abepura



Jayapura, Jubi –  Sejumlah Biarawan Katolik dari Ordo Fransiskan dan Agustinian (OSA) ditangkap polisi dalam demo damai menutut pengungkapan kasus pembunuhan 4 siswa di Paniai 8 Desember 2014 di depan kantor Pos Wilayah Maluku Papua, Abepura, kota Jayapura, Papua, Kamis (8/10/2015).


“Saya pas foto penangkapan biarawan yang badan besar itu (Yulianus Pawika OFM). Polisi ambil kamera saya. Mereka takut to,” ungkap Abeth You, wartawan Jubi dan kontributor Majalah Selangkah di lokasi kejadian.
Lanjut Abeth, saat ia meminta kembali kameranya, polisi malah todongkan senjata ke dadanya.
Polisi melakukan penangkapan saat demonstran berorasi secara bergantian di depan Kantor Pos sebelum ke kantor DPRP.


“Polisi tiba dan langsung tangkap demonstran,” ungkap seorang saksi mata di lokasi. Saat penangkapan tidak ada perlawanan dari demonstran kecuali protes atas tindakan polisi.
Biarawan yang ditangkap polisi  antara lain Soferus Pangguem OSA, Fr. Fredy Pawika OFM, Fr. Dorman Skukubun OFM, Fr.Benyamin Tanang OFM, Fr. Gaspar Bahala OFM, Fr Didimus OFM.
Mereka dinaikan di truk Dalmas bersama sejumlah masa aksi. Mereka dibawa ke Polsek Abe untuk proses lebih lanjut.


Olga Hamadi, pengacara Hak Asasi Manusia Papua yang berada di lokasi melontarkan protes terhadap polisi. Kata dia, tidak ada yang melanggar aturan tetapi mengapa polisi tangkap dan naikkan mereka di truk tahanan polisi?
“Mereka tidak melakukan yang melanggar aturan. Mengapa mereka mau dibawa? Mereka mau dibawa ke mana? Turunkan mereka. Kita bicara di sini,” ungkap Hamadi kepada polisi.
Olga menganggap polisi tidak menegakkan aturan. Polisi bertindak sewenang-wenang terhadap masa aksi.

“Bapak polisi baca aturan dengan baik ya,” ungkapnya serius kepada polisi.
Direktur Sekretariat Kadilan Pedamaian dan Keutihan Ciptaan (SKPKC). Fransiskan Papua, Yuliana Langawuyon yang berada di lokasi pun melontarkan protes kepada polisi.
“Kita tidak melakukan apa-apa? Kita tidak bicara apa-apa? Mereka mau dibawa kemana itu,” ungkap Wanita alumnus Fakultas Hukum Universitas Cenderwasih ini kepada polisi di lokasi.


Mamun polisi tidak peduli dengan kedua wanita ini. Polisi ngotot membawa para biarawan bersama demonstran lain yang sudah berada di truk tahanan polisi.
“Mereka tidak dibawa ke mana-mana. Kita ke Polsek Abe sama-sama. Sabar, sabar, sabar ibu, kita ke Polsek sama-sama ya,” ungkap satu anggota Polsek Abepura, Kompol Albertus kepada Hamadi dan Langawuyon. (Mawel Benny)


6 Perusahaan Sawit Cemari Sungai di Merauke



Sekitar enam perusahaan sawit dalam proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua, mencemari tiga sungai yang mengalir di kawasan Suku besar Malind Bian di Kota Merauke. Tiga sungai itu masing-masing,  Sungai Kum, Bian, dan Maro. Akibat pencemaran limbah perusahaan, ikan-ikan mulai banyak mati, seperti gabus dan mujair. Tak hanya ikan,  buaya juga naik ke daratan.


Enam perusahaan sawit berskala besar beroperasi di kawasan Malind Bian, Merauke, yaitu PT Dongin Prabhawa (Korindo Group), PT Bio Inti Agrindo (Korindo Group), PT Central Cipta Murdaya (CCM), PT Agriprima Cipta Persada, PT Hardaya Sawit Papua dan PT Berkat Cipta Abadi. Keenam perusahaan ini telah beroperasi di kawasan Malind Bian.
Carlo Nainggolan dari Sawit Watch mengatakan,  dari hasil investigasi dampak pencemaran limbah 10 perusahaan sawit,  menyebabkan ketiga sungai berubah warna dan mengeluarkan bau tak sedap. “Masalah air bersih tidak cukup bagi warga yang bermukim di sekitar kali itu,” katanya di Jayapura, Jumat (21/12/2012).


Perkebunan sawit di sepanjang Kali Bian dan Kali Maro, menimbulkan masalah besar bagi pemilik ulayat. Perusahaan membersihkan lahan dengan membakar, mengakibatkan air tercemar, situs budaya masyarakat, dan kekayaan alam hilang. Perusahaan sawit, katanya, harus bertanggung jawab memulihkan dan memberikan kompensasi kepada di sepanjang pesisir Kali Bian, Kaptel, dan Kali Maro. “Persediaan air bersih minim. Sekarang Papua Selatan kemarau panjang. Kami menduga akibat aktivitas perusahaan besar di sana.

Ada tiga perusahaan besar milik Korea yang beroperasi.”
Warga Malind Bian mulai resah karena hutan-hutan ditebang untuk MIFEE. Perusahaan sawit PT Korindo Tunas Sawaerma, PT Bio Inti Agrindo, PT Berkat Cipta Abadi, dan PT Papua Agro Lestari, membuka hutan tanpa memperhitungkan dampak lingkungan. “Ditambah lagi kontrak 35 tahun. Kami memperkirakan, kalau kontrak diperpanjang hingga 120 tahun, pemilik tanah bukan hanya kehilangan hak ulayat tapi hutan mereka makin rusak.”


Menyangkut masa kontrak, yang bakal menjadi masalah adalah hak guna usaha (HGU) diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUP Agraria). Berdasarkan pasal 29 UU Agraria, HGU dapat diberikan maksimal 25 tahun (perusahaan dengan kebutuhan tertentu, dapat diberikan maksimal 35 tahun). Setelah habis jangka waktu, HGU dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.


Pengaturan mengenai HGU dapat ditemui pada PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Menurut aturan itu, setelah sebagaimana diatur dalam UU Agraria, bisa diberikan pembaruan hak. “Ini masalah serius yang harus diperhatikan pemerintah setempat. Perusahaan dan pemerintah harus memberikan kejelasan kepada pemilik lahan.”


Dalam rilis Sawit Watch, tahun 2011, lebih dari 11,5 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia. Proyek MIFEE, dimulai Agustus 2010 seluas 1, 2 juta hektar merupakan hutan alam, tempat sumber makanan pokok bagi Suku Malind Anim. Pada September 2012,  Badan Perencanaan Investasi Daerah (Bapinda) Merauke, mencatat 46 perusahaan mendapat izin. “Dari 46, 10 perusahaan sawit. Perusahaan ini di Sungai Digoel, dan Malind Anim,” kata aktivis Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, Nelis Tuwong.


Sepuluh perusahaan sawit itu adalah PT. Dongin Prabhawa (Korindo Group) PT. Papua Agro Lestari, PT. Bio Inti Agrindo (Korindo Group),  PT. Mega Surya Agung, PT. Hardayat Sawit Papua, PT. Agri Nusa Persada Mulia, PT. Central Cipta Murdaya (CCM), PT. Agri Prima, PT. Cipta Persada dan PT. Berkat Cipta Abadi. Aktivitas perkebunan sawit dimulai sejak 1997 melalui PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo Group.


Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malind Bian mendesak pemerintah mencabut dan membatalkan izin lokasi sejumlah perusahaan perkebunan dan sawit di Kabupaten Merauke. “Aktivitas perusahaan kami saksikan telah membongkar hutan adat yang selama ini kami lindungi, jaga dan pelihara. Ini menghilangkan berbagai macam obat-obatan tradisional,” kata Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken.

Kini, warga sulit mencari sagu, binatang buruan, bahan pakaian tradisional serta perlengkapan adat yang tersedia di hutan. Bagi mereka, hutan adat rusak sama dengan menghilangkan budaya. Ibu-ibu yang dulu menimba air bersih di sekitar rumah, kini harus berjalan kaki berkilo-kilo meter mencari air bersih.

Perusahaan, katanya, datang ke kampung tak pernah memberi informasi lengkap, jelas dan benar. Tidak juga melibatkan masyarakat adat dan pemilik tanah sejak awal rencana investasi. “Begitu juga peraturan dan perizinan, tidak disampaikan terbuka, jelas dan terperinci, termasuk dampak yang berpotensi muncul dari izin-izin perusahaan itu terhadap tanah adat kami.”

Dalam proses sosialisasi, konsultasi, verifikasi marga pemilik, dan negosiasi perusahaan, kata Ndiken, tidak pernah melibatkan marga keseluruhan. Perusahaan hanya mengajak ketua marga dan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk aparat pemerintah distrik agar tanah adat digusur dan dibongkar. Pelibatan ini seperti hadir dalam proses penyusunan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), konsultasi dan penilaian Amdal.

Tak hanya itu. Perusahaan menyewa tanah adat dengan harga murah. Tahun 2007, sewa tanah selama 35 tahun Rp50 ribu, naik menjadi Rp70 ribu, sekarang Rp350 ribu per hektar. “Kami minta harga tanah naik menjadi Rp5 juta, perusahaan tidak mau.” Perusahaan, menjanjikan mendirikan sekolah dan puskesmas, tapi tidak dipenuhi hingga kini.

Paustinus Ndiken, Sekretaris Lembaga Adat Malind Bian mengatakan, kehadiran perusahaan di tanah adat menimbulkan kerusakan besar. “Ikan, kura-kura, dan binatang air lain banyak mati.” Air sungai dan rawa untuk kebutuhan warga sehari-hari tercemar limbah perusahaan. “Mereka harus berjalan jauh untuk mencari air bersih. Karena hutan habis dibabat, warga kesulitan mencari sagu, binatang buruan, dan kulit kayu sebagai bahan pakaian tradisional. Hutan adat yang rusak itu sama dengan menghilangkan budaya kami,” kata Paustinus.

David Dagijay, warga Suku Yeinan mengungkapkan,  satu perusahaan sawit, Wilmar Group, berupaya negoisasi dengan warga pemilik lahan agar mengizinkan tanah untuk menanam sawit. Namun, masyarakat bersikeras menolak. Wilmar Group berencana membuka lahan sawit 40 ribu hektare. Masyarakat tak mau dibohongi seperti tetangga mereka, Suku Malind Anim.

“Kami masih tarik ulur untuk sepakati kehadiran perusahaan itu. Kan ada enam kampung di Yeinan. Jadi, dua kampung sudah kasih izin, Kampung Bupol dan Poo. Sedangkan, empat kampung lain belum.” Wilayah Suku Yeinan meliputi Kampung Toray, Poo, Erambu, Tanas, Bupul dan Kweel. Yeinan bagian dari Suku besar Malind Bian.

Bupati Merauke, Romanus Mbaraka mengatakan, masih menyeleksi sejumlah perusahaan yang akan investasi di Merauke. Menurut dia, MIFEE berdampak kerusakan lingkungan dan sosial. “Terjadi pendangkalan di Sungai Bian dan para pemilik lahan hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar.”


 Sumber: http://www.mongabay.co.id


Di Atas Batu Ini, Saya Meletakkan Peradaban Orang Papua



Nama Wasior mulai dikenal luas ketika Pdt. Izaac Samuel Kijne mendirikan Sekolah Zending di Wondama pada 1925. Ia pindah dari Marsiman, tempat Injil masuk pertama kali di Papua pada 5 Februari 1855. Tahun 1857 Ottow dan Geissler membuka sekolah untuk mengajar anak-anak dan orang dewasa Papua tentang Injil dan etika hidup sebagai orang Kristen. Pusatnya di rumah zending dan gereja.

Salah satu yang paling dikenal di Wondama adalah Batu Peradaban yang diletakkan oleh Pdt. I.S. Kijne dengan pesannya: 
"Di Atas Batu Ini, Saya Meletakkan Peradaban Orang Papua. Sekalipun Orang Memiliki Kepandaian Tinggi, Akal Budi Dan Marifat Tetapi Tidak Dapat Memimpin Bangsa Ini, Bangsa Ini Akan Bangkit Dan Memimpin Dirinya Sendiri” (Wasior, 25 Oktober 1925). 

Pesan religius Kijne selaku Bapak Peradaban orang Papua ini memiliki makna bahwa orang Papua akan tampil sebagai pemimpin di atas tanahnya sendiri. Selain Batu Peradaban, di Miei juga ada Batu Inspirasi. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kalau orang naik ke atas batu dan melihat alam indah di Wondama, dari situ muncul berbagai inspirasi untuk melakukan perubahan baru.

Rev Izaak Samuel Kijne, Kepala Sekolah, yang juga menyusun teks lagu Hai Tanahku Papua yang kini di pakai sebagai lagu negara Papua Barat.


“Orang Papua Akan Bangkit Memimpin Dirinya Sendiri”


Didiklah Wanita Papua, Untuk Memperoleh Generasi Yang Terdidik

Suva, 28/3 (Jubi)—“Orang lain yang datang tidak akan pernah membangun Papua. Orang Papua sendiri yang akan bangkit memimpin dirinya sendiri,”pesan singkat Kain kepada saya mengingatkan saya nubuat Pdt. Isak Samuel Kijne yang selalu menjadi buah bibir orang Papua ketika bicara soal pembangunan Papua yang karut-marut  saat ini.


“Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekali pun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri,”tulis I.S. Kijne dalam batu peradaban di Teluk Wondama.
Pesan itu menjadi situs sejarah penting dalam peradaban orang Papua.
Usai membaca nubuat hamba Gereja itu, terlintas pertanyaan di benak.  Mengapa orang bermakrifat tinggi yang mendatanggi orang Papua tidak dapat memimpin orang Papua? Kenapa orang Papua yang harus bangkit memimpin dirinya sendiri? Kapan orang Papua akan bangkit dan akan memimpin dirinya sendiri?

 
Nubuat hamba Tuhan ini suatu kepastian yang belum bisa kita jawab hari ini. Walaupun belum, kita yakin bahwa ‘waktu’ pasti akan menjawab. Waktu refleksi dan waktu tindakan usaha pembuktian nubuat akan menjadi satu kenyataan, orang akan Papua memimpin dirinya sendiri. Refleksi dan tindakan pembuktian nubuat itu sangat penting.


Waktu refleksi kita meyakini bahwa wejangan I.S. Kinje ini lahir dari suatu pengamatan realitas hidup orang Papua, kemudian masuk ke dalam penafsiran konteks kitas suci. Kalau bicara kitab suci, nubuat ini sangat mendasar. Kitab Perjanjian Lama orang Kristen dan juga kitab orang Yahudi menulis kisah penciptaan alam semesta dan bangsa-bangsa manusia di bumi.
Kisahnya begini. Allah menciptakan alam semesta dengan satu struktur yang sangat teratur. Allah menciptakan langit dan bumi, segala isinya, lalu berpuncak pada menciptakan manusia. Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk menguasai alam. Kuasa Allah kepada manusia untuk mengolah alam.


“Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi,”Ktab Kejadian berkisah mengenai penciptaan dan kewenangan manusia atas alam semesta. (Baca:Kejadian 1:1-29).

Kalau kisah yang orang Kristen yakini itu satu kepastian, Tuhan tidak mungkin salah dalam menciptakan bumi, isi bumi, dan manusia Papua. Allah tidak mungkin menciptakan alam Papua yang sungguh indah, alam yang suguh kaya raya yang luar biasa ada dengan kemampuan manusia Papua yang rendah. Allah pasti menciptakan manusia Papua dengan kecerdasan dan kebijaksaan yang mampu menguasai alam ciptaan Tuhan yang menjadi miliknya.

“Orang Papua harus yakin bahwa Allah pasti menciptakan manusia Papua dengan kemampuan mengatasi keindahan dan kekayaan alam Papua,”ujar Kain dalam satu diskusi dengan saya. Lalu, kata Kain lagi kepada saya, “Karena itu, sangat salah kalau mengatakan orang Papua tidak bisa, bodoh, dan pemalas. Salahnya terletak pada sistem penyadaran orang Papua akan potensinya yang melebihi alam Papua itu.”


Orang Papua harus kembali kepada satu kesadaran penuh akan kemampuannya. Kemampuan orang Papua yang mengatasi alam itu dengan satu tujuan yang khusus: orang Papua mengolah alam yang indah menjadi lebih indah, mengolah kekayaan alam yang ada menjadi lebih kaya tanpa merusak. Hanya orang Papua yang bisa tahu dan bertidak menjadikan Papua lebih indah dan kaya.


Karena itu, ingat! Orang lain tidak akan mungkin membangun Papua lebih indah dan lebih kaya. Orang lain pasti membuat Papua lebih rusak dan makin lebih buruk dan memuakan orang Papua dengan kemampuan yang Tuhan ciptakan untuk mengolah negeri mereka. Orang Papua pasti makin miskin dan termarginalkan disamping kemampuan orang mengolah alam Papua. Lebih jahatnya, penghabisan orang Papua.


Kita saksikan saja realitas Papua hari ini menuju kepada kehancuran total itu. Orang Papua makin tergantung kepada kekuatan orang lain. Orang lain lebih berkuasa daripada orang Papua. Orang Papua ditidurkan dengan sejumlah tawaran yang merusak. Uang yang merusak moralitas manusia Papua. Uang yang mamatikan potensi manusia Papua mengolah alam dan kekayaannya. Orang Papua mengutamakan materi daripada memelihara hak miliknya sebagai kekayaan warisan leluhur dan anak cucu.

Tindakan imoral itu menodai alam semesta dan menodai keutuhan ciptaan Tuhan yang suci dan luhur yang ada di Papua. Karena itu, “bangsa ini menjadi bangsa yang tidak bermoral,” menjadi satu lebel yang diberikan kepada orang Papua dari bangsa yang menganggap diri bermoral. Lebih itu menjadi satu kepantasan karena memang kenyataan demikian yang orang petakan.

Walaupun moralitas itu relatif, namun, ada pelanggaran nilai-nilai fundamental dan universal membuat kita memang menjadi manusia yang imoral. Kita melanggar kemerdekaan orang menjadi bebas membuat kita memang tidak bermoral. Kita menjadi manusia yang hidup dengan nalusi herder di tengah hutan. Ia mengongong hanya karena desakan nalurinya.

Supaya kita hidup tidak meluluh dengan nalusr, kita perlu mengakui kebebasan orang Papua memimpin dirinya sendiri dengan kemampuan yang Tuhan berikan untuk mengatur diri dan mengolah negerinya. “Orang Papua hanya membutuhkan pengakuan. Kita butuh pengakuan sebagai manusia,”ujar Markus Haluk dalam satu jumpa pers di kantor dewan Adat Papua, 13 Februari 2014  lalu.

Kalau orang lain mengakui konsep penciptaan, kebebasan, dan identitas, orang Papua pun tidak mungkin memimpin dirinya sendiri tanpa melalui satu proses. Orang Papua harus perlu melalui satu langkah proses penting yang memastikan kemampuan mengatasi alam papua itu melalui dunia pendidikan. Sistem pendidian orang Papua harus khusus dan lain dari yang ada sekarang.


Pertama, memperbaiki hidup orang tua papua. semua orang papua harus menolak hal-hal yang merusak hidup. penolakan itu langkah awal untuk memastikan orang sehat sehat secara jasmani dan rohani untuk menghasilkan benih generasi papua yang baik, sehat, dan berkualitas.
“kalau orang papua mau hidup baik, orang papua harus menolak semua hal yang orang papua tidak ingin terjadi pada dirinya dan di negerinya,”ujar pater neles tebay dalam satu diskusi di aula, stt gki, i.s. kijne pada 2009 silam. konsekuenasi baliknya, menurut neles tebay, orang papua hanya menerima hal-hal yang orang papua inginkan terjadi pada dirinya dan di negerinya.


Kedua, orang-orang papua yang memastikan diri sehat itu memulai satu pendidikan anak sejak hamil. Orang tua harus mengkonsumsii makanan yang mebentuk AQ dasar, melakukan hal-hal yang mendukung pembentukan AQ anak. Contoh kecil itu mendengar musik, melakukan kecendrungan psositif di bidang-bidang kehidupan yang lebih baik.


Ketiga, ketika anak sudah hadir ke dalam keluarga harus meneruskan pendidikan lebih baik dalam kenyataan hingga di dunia pendidikan formal. Orang Papua menjadikan pendidikan formal itu hanyalah sarana yang membuktikan kemampuan anak secara formal. Pendidikan di rumah harus menjadi perhatian utama.


Keempat, kalau orang tua sudah menyerahkan anak, institusi pendikan harus membantu anak mengembangkan potensi anak dengan merubah sistem pendidikan. Sistem pendidikan Kritis (mendidik anak meragukan segala sesuatu dan mempertanyakannya) yang harus orang Papua bangun untuk mencapai satu kebenaran orang Papua cerdas dan bijak memimpin diri di negerinya sendiri.


Sistem pendidikan kritis itu akan membawa anak didik akan memasuki dan bertemu dengan dunia potensi yang terkubur. Anak Papua akan menjumpai hal-hal yang baru yang membuktikan potensi mental dan fisiknya yang mengatasi alam yang kaya raya. Potensi orang Papua itu akan terkubur selamanya kalau hanya mengatakan bodoh tanpa usaha merubah sistem pendidikan copi paste ke sistem pendidikan kritis. Apakah kita hanya berputar dalam mitos anak Papua tidak kampu tanpa usaha ini? (Mawel)

Editor : Oyos Saroso HN