Yang Mulia, Uskup Agung Timika dan Pater Yustinus Rahagiar, Pr |
Kadang
dalam hidup ini begitu banyak hal yang sulit dimengerti. Saat-saat kita tidak
menjadi diri kita sendiri. Saat dimana kita menjadi orang lain, bahkan, hingga
kita telah melupakan diri kita yang sebenarnya. Tak ada jalan lagi untuk
menemukan diri sendiri selain berpaling dari kenyataan dan berjalan kembali ke
jalan awal yang telah kita lalui untuk menemukan diri kita kembali.
Sesungguhnya
ada sesuatu hal yang paling menakutkan dalam hidup ini. Ya, sesuatu yang sangat
membuatku termenung dan ragu untuk mengenali diri ini. Aku lebih takut pada
diriku sendiri ketimbang takut pada ratusan gerombolan perampok yang mengancam
hidupku ini. Sungguh kita patut mewaspadai diri kita sendiri. Apakah anda
pernah mengalami di saat-saat anda tidak menjadi diri anda sendiri? Di
saat-saat kita menjadi orang lain, seolah-olah mengalami distorsi mental?
Sesungguhnya
semua itu berawal dari pikiran kita, dikala kita mengiyakan sesuatu hal yang
baik, maka seluruh hal yang ada di pikiran kita akan mengkondisikan hal
tersebut terjadi sebagaimana yang telah kita pikirkan. Jika kita mengkondisikan
pikiran kita untuk hal yang buruk, maka jadilah hal buruk itu sebagaimana yang
kita pikirkan. Kalau memahami semua ini, terkadang aku menertawakan, apakah ada
hal baik atau buruk? Jika kita tidak lagi membayankan ini atau itu, maka ini
atau itu adalah tiada beda.
Sering
halnya orang menilai kita berdasarkan apa yang tampak secara kasat mata. Namun,
kebenaran sulit diukur dengan apa yang dilihat oleh indera manusia yang begitu
terbatas ini. Ya, indera ini begitu terbatas, hingga sulit untuk diyakini
kebenaranya dalam hal mempersepsikan suatu hal. Persepsi yang beragam inilah
yang menimbulkan distorsi dalam setiap penilaian kita terhadap suatu objek. Penilaian
yang berbeda inilah yang kelak akan menimbulkan masalah pada orang-orang yang
memiliki rasa egosentris yang kuat.
Aku
pernah jatuh ke masa-masa di kala aku pun tidak mempercayai inilah diriku.
Tidak aku maupun keluargaku pun tidak mengenali diriku lagi. Saat-saat bahagia
sirna begitu saja, dalam pikiran hanya ada kebencian yang tiada tara, baik bagi
diri sendiri maupun “musuh-musuh” maya yang tercipta oleh pikiran. Sungguh
menyedihkan, bila melihat diri sendiri, tapi tidak mengenali diri sendiri lagi.
Entah bagaimana halnya hingga aku bias melupakan diriku yang dulu.
Kondisi
traumatis yang mendalam, sungguh mampu membawa seseorang ke alamnya sendiri,
tanpa menyadari, jikalau diri telah berubah menjadi “makhluk” lain. Dalam
keadaan seperti itu, apapun dapat terjadi, bahkan hal yang tidak pernah
dibayangkan orang, pun dapat terjadi. Gelap dan kesepian, merudung jiwa, seakan
tiap sentuhan pada makhluk hidup hanya membawa nafas kematian dan penderitaan
tiada tara. Sungguh bila terjatuh “sakit” semacam ini, kita perlu obat!!
Kemampuan
untuk “menyembuhkan” pribadi sendiri sangat diperlukan, bila tidak memilikinya,
hendaknya sahabat ataupun keluarga dekat mendorong untuk kearah perbaikan.
Sungguh, distorsi mental dapat membuat dunia ini berbeda. Bila anda adalah
orang yang mengalaminya, aku sangat yakin, anda mampu membuat lingkungan di
sekitar anda menjadi serupa dengan neraka di dunia. Akan banyak yang mengalami
penderitaan, entah kita maupun orang lain akan merasakan penderitaan. Tidak
hanya sekarang, tapi di masa mendatang pun sungguh membawa banyak kesukaran.
Kali
ini, adalah saat yang berbahagia, kala di mana “rahasia” dari “penyakit” ini
telah ditemukan “obatnya”. Tak lain yang aku maksudkan adalah jiwa welas asih.
Tanpa welas asih, sukar bagi seseorang untuk “sembuh” dari “luka dunia” ini.
Kita tidak bisa memaksakan segala sesuatu berjalan sebagaimana yang kita
harapkan. Tapi kita bisa mengkondisikan diri untuk sesuai dengan keadaan
sekitar. Namun, hal ini janganlah disalahkaprahkan sebagai sesuatu pernyataan,
bahwa kita harus selalu menyesuaikan diri dengan keadaan. Bagaimana jika
keadaan yang ada di depan kita bukanlah sesuatu yang baik, tapi keadaan yang
justru membawa orang ke penderitaan?
Terkadang
kita begitu senang tertawa di atas penderitaan orang lain, begitu senangnya
kita hingga sanggup tertawa terbahak-bahak atas kelemahan orang, misalnya, demi
membuat guyonan atau lelucon yang menyenangkan teman-teman kita, kita rela
mengorbankan perasaan teman kita yang lain dengan mengisahkan hal-hal keburukannya
di depan teman-teman kita yang lain. Kita tahu hal itu tidak baik, mengapa?
Sebab baik secara langsung ataupun tidak langsung, sekarang maupun di masa
mendatang, cepat atau lambat, hal tersebut hanya akan membawa keretakan dalam
hubungan antarsesama.
Mungkin
bagi yang membuat lelucon konyol atas kekurangan temannya agar teman-teman
lainnya bahagia tidak akan merasakan dampak yang menyedihkan. Akan tetapi,
jelas, hal tersebut akan membuat objek yang ditertawakan masuk dalam kondisi
mental tertekan, hal ini adalah pemicu dari munculnya penyakit “distorsi
mental”. Efeknya bisa fatal, bukan hanya pada si penderita, tapi bagi
orang-orang yang berasa di sekitar penderita tersebut. Tidakkah anda merasa
takut, jikalau anda mengetahui orang yang dalam kondisi mental tertekan sanggup
membawa penderitaan yang berkepanjangan pada anda, orang yang telah membuatnya
tertekan?
Itulah
sebabnya, mengapa hidup ini ibarat padi yang telah ditanamkan di sawah. Mengapa
pak tani menanam padi dengan memberikan jarak tertentu antarpadi? Mengapa pak
tani tidak menabur benih padi tanpa memperkirakan jarak? Karena jika pak tani
melakukan hal tersebut, padi yang akan tumbuh akan saling bersikutan dengan
lainnya, hasilnya tidak akan sebagaimana yang diharapkan pak tani. Begitu juga
hubungan antarmanusia, bila terlalu dekat, terkadang hanya akan membawa
penderitaan, sebab kedekatan membuat seseorang melupakan norma-norma dalam
menjaga perasaan pihak lainnya. Kita lupa kalau kita pernah menyakiti pihak
lain. Kita senang bila diri kita terbebas dari perasaan tertekan karena dihina,
akan tetapi, kita lupa bahwa kita senang menghina orang lain, bahkan sahabat
karib kita sendiri.
Bila
ditelaah lebih jauh, segala sesuatu masalah sebagaimana yang telah kuutarakan
di atas, tak jauh dari kesenangan orang untuk bergosip, berbagi cerita dan
lainnya. Tiap hari, hidup tak jauh dari menggosipkan pihak lain, begitu banyak
kisah keburukan orang lain yang bisa diceritakan, hingga berhari-hari
diceritakan pun, tidak akan habis kisahnya. Apakah ada orang yang mau mengakui
kekurangan dirinya sendiri? Atau orang lebih suka mengorek kekurangan orang
lain dan menyebarkannya kepada pihak lain sebagai hobi? Atau memang dengan
mengisahkan keburukan orang lain atau rekaan cerita yang tidak benar tentang orang
lain bisa membuat kita terpuaskan? Aku yakin, setiap orang pernah berbuat ini,
entah disadari maupun tidak disadari. Tapi marilah kita membuka diri terhadap
kekurangan orang lain dan berusaha untuk mewaspadai diri kita ini.
Sebab
musuh terbesar dalam hidup kita ini sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Oleh
diri sendiri, seseorang menjadi mulia, oleh diri sendiri, seseorang dapat
menjadi hina. Bila menyadari diri sendiri hina, janganlah larut dalam kehinaan,
tapi biarlah diri kita menghirup nafas kebebasan, bebas dari rasa hina ini dan
memperbaiki diri hingga menjadi orang mulia.(TauuHilaiioo)