Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah kelompok negara-negara kecil di Kepulauan Pasifik, menyatakan belum bisa menerima keanggotaan United Liberation Movement for West Papua – ULMWP. Keputusan itu diambil dalam pertemuan di Honiara, Kepulauan Solomon yang berlangsung 14-16 Juli.
Keputusan bahwa MSG belum bisa menerima Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai anggotanya, diungkapkan oleh Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melalui laman Facebooknya.
Victor sendiri saat ini masih berada di Solomon, untuk mengikuti pertemuan MSG bersama sejumlah aktivis Papua Merdeka. Menurut Victor, keinginan ULMWP menjadi anggota MSG akan dibahas dalam pertemuan selanjutnya di Vanuatu.
Sebelum pertemuan itu, akan dibahas mengenai syarat-syarat keanggotaan, agar organisasi itu dapat diakomodasi. Dia juga menambahkan, bahwa proses ini hanyalah sebuah penundaan, dan telah ada komitmen dari anggota MSG yang lain untuk membuat sebuah perjanjian berisi dukungan bagi perjuangan ULMWP.
“Perjanjian ini akan ditanda tangani oleh PM Solomon Islands, PM Vanuatu, ketua FLKNS, dan sekjen ULMWP," kata Victor Yeimo. "Menuju kesepakatan itu, besok di Honiara, akan diadakan satu pertemuan khusus sejumlah anggota MSG dan PIDF dari Polinesia dan Mikronesia. Ini pertemuan pertama internasional di kawasan ini."
Sementara itu, melalui keterangan pers, Kementerian Luar Negeri memaparkan penundaan keanggotaan ini karena partisipasi aktif dan lobi intensif delegasi Indonesia. Delegasi ini terdiri dari perwakilan 5 provinsi bercorak budaya Melanesia Indonesia, yaitu Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat..Mereka telah berhasil meyakinkan para pemimpin MSG untuk tidak menerima aplikasi keanggotaan ULMWP.
“Tidak ada tempat bagi ULMWP dalam masa depan MSG. Hasil ini tidak seusai dengan harapan dan keyakinan gerakan separatis Papua atau ULMWP bahwa mereka akan diterima sebagai anggota penuh di KTT khusus MSG di Honiara,” kata Desra Percaya, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang turut mengikuti pertemuan.
Di Papua sendiri, ribuan orang berkumpul pada Rabu dan Kamis lalu di berbagai kota untuk menunggu keputusan MSG. Penundaan ini tentu saja mengecewakan, tetapi tidak mengurangi tekad para pendukung organisasi ini dalam memperjuangkan kemerdekaan, pemisahan Papua dari Indonesia. Ratusan orang diamankan polisi pada hari Rabu, tetapi kemudian dilepaskan dan kembali mengadakan aksi dukungan pada Kamis siang.
Sonny Dogopia, aktivis anggota Aliansi Mahasiswa Papua, di Jayapura kepada VOA mengatakan, masyarakat Papua bisa memahami apa yang terjadi di Solomon. Bagi mereka, menjadi anggota MSG adalah hak yang melekat karena faktor geografis dan etnografis. Sonny menegaskan, orang Papua ingin memiliki posisi yang sama dengan saudara yang tinggal di pulau-pulau kecil di sebelah timur mereka itu.
“Kita melihat dinamika yang terjadi di MSG terkait keanggotaan Bangsa Papua melalui ULMWP ini, dinamika yang sedang terjadi kita ikuti saja. Karena politik yang dimainkan oleh negara Indonesia sedang berlangsung, kemudian harapan rakyat Papua melalui ULMWP juga sedang berlangsung di sana," kata Sonny. "Kita tidak bisa memaksa untuk harus diterima, kami juga tidak harus memaksa untuk menunda. Kita ikut dinamika, karena ini sudah menjadi hak bagi kami untuk menjadi anggota."
Sonny menduga, keputusan MSG ini muncul karena pengaruh pemerintah Indonesia dalam pertemuan di Solomon. Dia juga mengkritisi protes pemerintah Indonesia terhadap pengibaran bendera Papua Merdeka di lokasi pertemuan. Namun dia memastikan bahwa upaya ini tidak akan terhenti oleh apa yang terjadi. Sonny menuntut diberikannya kebebasan mengemukakan pendapat seluasnya bagi orang Papua, karena selama ini hak itu sudah sangat dibatasi.
“Kami yang bergerak ini adalah rakyat yang sadar. Rakyat yang sadar ini mau bersama-sama melangkah. Tetapi ada bentuk-bentuk penghadangan, bentuk intimidasi oleh negara yang disebut Indonesia ini yang kemudian membatasi ruang gerak rakyat, menakuti rakyat, dan kalau saja kami diberi kebebasan untuk tampil di muka umum, mungkin jalan raya dan setiap tempat di Papua ini akan seperti lautan manusia," ujar Sonny.
Pembatasan dalam mengeluarkan pendapat tidak hanya dilakukan di Papua. Di Yogyakarta, ratusan mahasiswa Papua yang berkumpul di Asrama Kamasan, juga menggelar berbagai kegiatan untuk mendukung upaya organisasi pembebasan Papua masuk menjadi anggota MSG.
Namun aksi damai itu direspons dengan pengerahan pasukan pengamanan dalam jumlah besar di sekitar asrama. Jalan di depan asrama mahasiswa Papua bahkan ditutup. Roy Karoba, pemimpin aksi mahasiswa Papua di Yogyakarta menyebut, tindakan aparat kepolisian berlebihan dan tidak perlu.
“Yang kita lakukan hanyalah mimbar bebas di depan asrama Papua di Jogya. Sekadar hanya membacakan sikap terkait pelaksanaan Pepera yang tepat jatuh pada 14 Juli, kami baru di depan asrama, baru mau orasi, sudah dihadang aparat disuruh masuk kembali," sebutnya. "Bahkan ada beberapa kawan kami yang dipukul oleh aparat keamanan. Karena tujuan kami adalah aksi damai, maka kami masuk kembali ke asrama dan melanjutkan aksi di dalam.”
Roy memastikan tidak ada kekerasan yang terjadi dalam aksi yang rencananya akan berlangsung sampai hari Sabtu itu. Dia juga menyebut, demonstrasi kali ini didukung oleh sejumlah organisasi mahasiswa di Yogyakarta.
Polisi telah menolak surat pemberitahuan demonstrasi yang disampaikan organisasi bernama Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat. Menurut Roy, mahasiswa Papua menerima penolakan polisi dan memilih menggelar aksi di jalan depan asrama. Namun, pilihan itupun tidak diberi ruang, karena polisi mendesak mereka masuk ke area halaman.
“Kalau ada pemberitaan soal aksi kekerasan, perlu dibuktikan siapa yang melakukan kekerasan itu. Kami tidak melakukan aksi kekerasan bahkan kepada aparat yang berusaha menghadang kami. Kami memiliki video untuk membuktikan pernyataan ini," papar Roy.
Kepala Kepolisian Resor Kota Jogja, Kombes Pol Tommy Wibisono menyebut, upaya menghadang aksi mahasiswa Papua ini untuk mencegah mereka menggelar demonstrasi di tengah jalan. Dia khawatir, hal itu akan mengganggu keamanan masyarakat khususnya pengguna jalan. Karena itu, polisi meminta mahasiswa Papua menggelar aksi cukup di dalam asrama.