Bukit-Bilijau-Joambilli-Intan-Jaya-Foto-Misael-Maisini |
HIDUPKATOLIK.com
- ”Gunung-gunung, lembah-lembah yang penuh misteri. Kau kupuja s’lalu alammu
yang mempesona. Sungaimu yang deras, mengalirkan emas. So ya Tuhan t’rima kasih".
Penggalan syair lagu khas Papua yang dinyanyikan anak-anak pedalaman tersebut terasa masih terngiang di telinga. Ketika itu, akhir 2008, kami melakukan sensus demografi dan studi kepemilikan tanah adat di pedalaman Papua. Tepatnya di Desa Bilogai, Distrik (kecamatan) Sugapa, Kabupaten Paniai, Timika.
Distrik Sugapa berada di ketinggian sekitar 1600-2.500 meter di atas permukaan laut, sebelah timur laut wilayah kabupaten Paniai. Kadang temperatur udara mencapai kurang dari 10 derajat celsius. Cuaca kerap kali berubah dengan cepat. Biasanya cuaca pagi hari lebih cerah ketimbang setelah pukul 12.00 WIT.
Berdasarkan Profil Kabupaten Paniai tahun 2006, Distrik Sugapa menempati luas sebesar 2.262,90 kilometer persegi. Dia dibelah secara horizontal oleh Pegunungan Bulapigu dengan puncaknya Wabu Ridge setinggi 3.100 meter. Di Utara terbentang Pegunungan Zogopigu dengan ketinggian sekitar 3.700 meter. Di Selatan menjulang Pegunungan Mbainggela (bahasa Moni untuk Cartenz atau Grasberg) dengan perkiraan ketinggian 5.050 meter. Sementara di Timur berjejer pegunungan Gulumbulu atau sering juga disebut Gunung Gergaji karena bentuknya yang mirip dengan mata gergaji. Ada tiga sungai besar membelah Distrik Sugapa: sungai Kemabu, Dogabu dan Wabu.
Masyarakat masih hidup dengan sangat sederhanaa. Mata pencaharian mayoritas
penduduk adalah berkebun dan berburu. Kerapkali masyarakat asli berkebun di
lereng-lereng bukit dan dekat sungai. Mereka belum mengenal irigasi.
Pendidikan pun masih sangat terbatas. Di seluruh Sugapa hanya ada 1 SMP dan SMA. Sebenarnya ada 7 SD, namun tidak semua kegiatan belajar mengajarnya berjalan dengan baik, karena tidak ada guru.
Suku Moni
Di Distrik Sugapa hidup tiga etnis besar, yaitu: Moni, Dani, dan Nduga (Ndawa, Ndoga). Selain itu ada juga etnis Ndamal, Den, Wolani, dan Boemene. Di antara etnis-etnis tersebut, Moni merupakan etnis mayoritas,
tersebar di hampir seluruh desa di Sugapa.
Kata moni berasal dari istilah migani yang artinya ”manusia biasa” atau ”manusia asli”. Mereka memiliki sifat Ngadeau atau kasih yang paling mendalam. Falsafah ini masih dipegang kuat oleh orang Moni sampai sekarang. Orang Moni selalu melindungi orang luar yang datang minta pertolongan bila ada masalah. Mereka juga mengangkat para pendatang ke dalam famnya sendiri dengan syarat membantu melunasi harta mas kawin, membantu menyelesaikan dendam perang dan menyelesaikan masalah perzinahan.
Penggalan syair lagu khas Papua yang dinyanyikan anak-anak pedalaman tersebut terasa masih terngiang di telinga. Ketika itu, akhir 2008, kami melakukan sensus demografi dan studi kepemilikan tanah adat di pedalaman Papua. Tepatnya di Desa Bilogai, Distrik (kecamatan) Sugapa, Kabupaten Paniai, Timika.
Distrik Sugapa berada di ketinggian sekitar 1600-2.500 meter di atas permukaan laut, sebelah timur laut wilayah kabupaten Paniai. Kadang temperatur udara mencapai kurang dari 10 derajat celsius. Cuaca kerap kali berubah dengan cepat. Biasanya cuaca pagi hari lebih cerah ketimbang setelah pukul 12.00 WIT.
Berdasarkan Profil Kabupaten Paniai tahun 2006, Distrik Sugapa menempati luas sebesar 2.262,90 kilometer persegi. Dia dibelah secara horizontal oleh Pegunungan Bulapigu dengan puncaknya Wabu Ridge setinggi 3.100 meter. Di Utara terbentang Pegunungan Zogopigu dengan ketinggian sekitar 3.700 meter. Di Selatan menjulang Pegunungan Mbainggela (bahasa Moni untuk Cartenz atau Grasberg) dengan perkiraan ketinggian 5.050 meter. Sementara di Timur berjejer pegunungan Gulumbulu atau sering juga disebut Gunung Gergaji karena bentuknya yang mirip dengan mata gergaji. Ada tiga sungai besar membelah Distrik Sugapa: sungai Kemabu, Dogabu dan Wabu.
Umat-Paroki-Bilogai-Saat-Potong-Babi-Ucapan-Kurban-Saat-Peresmian-Gereja-Santo-Misael-Bilogai, Senin-27 Juni 2016 Di Halaman-Sepak-Bola-SD-YPPK-Santo-Misael-Bilogai-Foto-Arnold-Belau |
Pendidikan pun masih sangat terbatas. Di seluruh Sugapa hanya ada 1 SMP dan SMA. Sebenarnya ada 7 SD, namun tidak semua kegiatan belajar mengajarnya berjalan dengan baik, karena tidak ada guru.
Suku Moni
Di Distrik Sugapa hidup tiga etnis besar, yaitu: Moni, Dani, dan Nduga (Ndawa, Ndoga). Selain itu ada juga etnis Ndamal, Den, Wolani, dan Boemene. Di antara etnis-etnis tersebut, Moni merupakan etnis mayoritas,
tersebar di hampir seluruh desa di Sugapa.
Kata moni berasal dari istilah migani yang artinya ”manusia biasa” atau ”manusia asli”. Mereka memiliki sifat Ngadeau atau kasih yang paling mendalam. Falsafah ini masih dipegang kuat oleh orang Moni sampai sekarang. Orang Moni selalu melindungi orang luar yang datang minta pertolongan bila ada masalah. Mereka juga mengangkat para pendatang ke dalam famnya sendiri dengan syarat membantu melunasi harta mas kawin, membantu menyelesaikan dendam perang dan menyelesaikan masalah perzinahan.
Komunitas-Mahasiswa-Independen-Somatua-Intan-Jaya-(KOMISI)-Saat-Sosialisasi-Penyelamat-Tanah-Dan-Hutan-Di-Bumi-Intan-Jaya-West-Papua-Foto-Doc-KOMISI |
Tanah Adat
Bagi masyarakat Moni, tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga. Mereka menganggap tanah sebagai ”Mama” Atau ”Ibu”, Mai Go I Ama. Ungkapan senada juga ditemukan Tim PKPM Atma Jaya ketika melakukan penelitian di Distrik Aradide, Kabupaten Paniai. Di sana dikatakan: Maki Mee ukamee, maki amauwo mee nai. Artinya: tanah adalah mama karena ia memberi makan pada manusia.
Pada umumnya bidang tanah di Sugapa dan pedalaman Papua lainnya masih dimiliki atau dikuasai secara komunal. Untuk pelepasan tanah, para anggota fam akan melakukan Muna-Muna (Musyawarah) terlebih dahulu guna menentukan biaya ganti rugi. Bila sudah diberi ganti rugi berdasarkan kesepakatan, dan telah dilakukan upacara adat, maka pihak pembeli boleh menggunakan tanah tersebut.
Tapi kenyataannya, meski proses jual beli telah terjadi disertai dengan upacara adat, seringkali muncul klaim yang dilakukan anggota keluarga dari penjual sebelumnya. Mereka masih beranggapan bahwa tanah tersebut tetap milik mereka.
Bagi masyarakat Moni, tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga. Mereka menganggap tanah sebagai ”Mama” Atau ”Ibu”, Mai Go I Ama. Ungkapan senada juga ditemukan Tim PKPM Atma Jaya ketika melakukan penelitian di Distrik Aradide, Kabupaten Paniai. Di sana dikatakan: Maki Mee ukamee, maki amauwo mee nai. Artinya: tanah adalah mama karena ia memberi makan pada manusia.
Pada umumnya bidang tanah di Sugapa dan pedalaman Papua lainnya masih dimiliki atau dikuasai secara komunal. Untuk pelepasan tanah, para anggota fam akan melakukan Muna-Muna (Musyawarah) terlebih dahulu guna menentukan biaya ganti rugi. Bila sudah diberi ganti rugi berdasarkan kesepakatan, dan telah dilakukan upacara adat, maka pihak pembeli boleh menggunakan tanah tersebut.
Tapi kenyataannya, meski proses jual beli telah terjadi disertai dengan upacara adat, seringkali muncul klaim yang dilakukan anggota keluarga dari penjual sebelumnya. Mereka masih beranggapan bahwa tanah tersebut tetap milik mereka.
Contohnya Desy Kalisaran, pedagang kelontong
di Enarotali. Pendatang asal Manado ini pernah menghadapi persoalan seperti
itu. Beberapa tahun setelah membeli tanah yang sekarang digunakan untuk
warungnya, Desy didatangi orang-orang yang mengaku pemilik tanah tersebut.
Surat-surat yang menguatkan pembelian tanah tersebut tidak digubris.
Ujung-ujungnya Desy harus mengeluarkan uang untuk orang-orang tersebut.
Contoh lain diceritakan seorang dosen dan peneliti yang enggan disebut namanya. Dia mengatakan kayu yang paling mahal di dunia adalah kayu di Papua. ”Ya, kayu palang namanya. Harganya bisa MM-an. Kayu itu panjangnya sekitar 1-3 meter yang dipasang memalang oleh orang yang masih menganggap tanah itu miliknya. Dia tidak mau melepas palang itu sebelum mendapat ganti rugi,” ujarnya.
Di Sugapa setiap anggota fam memiliki sebidang tanah berdasarkan garis laki-laki (patrilineal system). Tanah tersebut bisa dijadikan tempat tinggal atau sebagai lahan untuk berkebun. Ada juga bidang-bidang tanah lain yang dimanfaatkan bersama seperti hutan yang menghasilkan kayu, rotan, air dan tempat-tempat keramat. Setiap fam sudah mempunyai bidang tanah dengan batas-batas yang hanya jelas bagi mereka sendiri. Batas itu berupa hutan, sungai, gunung, mata air, pohon, batu, dan lain lain. Bahkan, di satu tempat, konon batas tanahnya berupa suara yang akan muncul dari dalam tanah setelah suara siulan orang tertentu.
Perang suku yang disebabkan masalah kepemilikan tanah belum pernah terjadi di Sugapa. Memang saat tim PKPM Unika Atma Jaya melakukan pemetaan tanah adat di Sugapa, sempat terjadi ketegangan masalah batas desa. Penduduk dari dua desa yang berbatasan saling mengklaim batasnya. Ketegangan berubah menjadi baku hantam. Untunglah berhasil diredakan.
Menurut Pastor Yustinus Rahangiar Pr, Ketua Dekenat Moni-Puncak Jaya, pemetaan ini perlu karena masyarakat tidak memiliki batas yang jelas, apalagi pemerintah. ”Lebih baik konflik dari sekarang ketimbang nanti setelah adanya perusahaan pertambangan dan kabupaten baru,” ujar Pater Yustinus.
Akses jalan
Selama ini Sugapa termasuk daerah terisolir. Untuk mencapai Enarotali, kota terdekat, penduduk memerlukan waktu 3 hari melintasi gunung, sungai, dan hutan. Ada pesawat perintis yang melayani rute Sugapa, tapi harga tiketnya tidak terjangkau. Tiket pesawat yang bersubsidi berkisar antara Rp 250.000 – Rp 350.000.
Jalan beraspal mulai dibangun dari Sugapa menuju Enarotali. Nantinya masyarakat yang masih banyak menggunakan koteka dan sabo tentu akan berinteraksi dengan dunia luar. Dampaknya tentu tidak kecil. Apalagi ada rencana pembentukan kabupaten baru yang tentu mengudang hadirnya investor. Hal ini mendorong Dekenat Moni-Puncak Jaya merumuskan kondisi dan situasi masyarakat ke depan lewat musyawarah pastoral (Muspas).
Pertemuan yang dihadiri Uskup Timika John Philip Saklil ini, membahas persoalan
yang selama ini melingkupi masyarakat di daerah pedalaman, seperti masalah adat
dan budaya yang berseberangan dengan iman, kehidupan sosial ekonomi, posisi
perempuan yang masih rendah, pendidikan, kawin paksa, dan lain lain.Contoh lain diceritakan seorang dosen dan peneliti yang enggan disebut namanya. Dia mengatakan kayu yang paling mahal di dunia adalah kayu di Papua. ”Ya, kayu palang namanya. Harganya bisa MM-an. Kayu itu panjangnya sekitar 1-3 meter yang dipasang memalang oleh orang yang masih menganggap tanah itu miliknya. Dia tidak mau melepas palang itu sebelum mendapat ganti rugi,” ujarnya.
Di Sugapa setiap anggota fam memiliki sebidang tanah berdasarkan garis laki-laki (patrilineal system). Tanah tersebut bisa dijadikan tempat tinggal atau sebagai lahan untuk berkebun. Ada juga bidang-bidang tanah lain yang dimanfaatkan bersama seperti hutan yang menghasilkan kayu, rotan, air dan tempat-tempat keramat. Setiap fam sudah mempunyai bidang tanah dengan batas-batas yang hanya jelas bagi mereka sendiri. Batas itu berupa hutan, sungai, gunung, mata air, pohon, batu, dan lain lain. Bahkan, di satu tempat, konon batas tanahnya berupa suara yang akan muncul dari dalam tanah setelah suara siulan orang tertentu.
Perang suku yang disebabkan masalah kepemilikan tanah belum pernah terjadi di Sugapa. Memang saat tim PKPM Unika Atma Jaya melakukan pemetaan tanah adat di Sugapa, sempat terjadi ketegangan masalah batas desa. Penduduk dari dua desa yang berbatasan saling mengklaim batasnya. Ketegangan berubah menjadi baku hantam. Untunglah berhasil diredakan.
Menurut Pastor Yustinus Rahangiar Pr, Ketua Dekenat Moni-Puncak Jaya, pemetaan ini perlu karena masyarakat tidak memiliki batas yang jelas, apalagi pemerintah. ”Lebih baik konflik dari sekarang ketimbang nanti setelah adanya perusahaan pertambangan dan kabupaten baru,” ujar Pater Yustinus.
Akses jalan
Selama ini Sugapa termasuk daerah terisolir. Untuk mencapai Enarotali, kota terdekat, penduduk memerlukan waktu 3 hari melintasi gunung, sungai, dan hutan. Ada pesawat perintis yang melayani rute Sugapa, tapi harga tiketnya tidak terjangkau. Tiket pesawat yang bersubsidi berkisar antara Rp 250.000 – Rp 350.000.
Jalan beraspal mulai dibangun dari Sugapa menuju Enarotali. Nantinya masyarakat yang masih banyak menggunakan koteka dan sabo tentu akan berinteraksi dengan dunia luar. Dampaknya tentu tidak kecil. Apalagi ada rencana pembentukan kabupaten baru yang tentu mengudang hadirnya investor. Hal ini mendorong Dekenat Moni-Puncak Jaya merumuskan kondisi dan situasi masyarakat ke depan lewat musyawarah pastoral (Muspas).
Dalam Muspas disepakati dibentuknya Dewan Adat yang menjadi wakil masyarakat dalam penyelesaian masalah yang muncul sekaligus mempersiapkan masyarakat menghadapi perubahan yang akan terjadi. Dengan demikian diharapkan Dewan Adat mampu membuat masyarakat tidak tersingkir dari tanahnya sendiri. Pun, jangan sampai masyarakat menjadi miskin di tengah tanahnya sendiri.
A. Sudarmanto/A. Bobby
Peneliti Lepas PKPM Unika Atma Jaya