Oleh : Firman Yursak*
Destruksi keragaman-hayati,
degradasi lingkungan dan pemanasan global selama ini telah mengancam keamanan
setiap negara. Kesimpulan penting riset Military Advisory Board (MAB) ini
diajukan ke Senat Amerika Serikat (AS) tahun 2007. Ada saling-pengaruh antara
konflik-konflik berdarah di berbagai zona dunia dengan perusakan lingkungan.
(Military Advisory Board, 2007) Zona Papua bukan kekecualian dari kajian MAB
tersebut. Hal ini antara lain dapat dilihat dari angka “biaya keamanan”
perusahan Freeport McMoRan Copper & Gold Inc.
(Freeport) di Papua. Freeport
membayar ongkos keamanan sebesar 5,9 juta dollar tahun 2003, 5,6 juta dollar
tahun 2002, dan 4,7 juta dollar tahun 2001.(Annual Report Freeport, 2003)
Sekitar 160 orang tewas dibunuh periode 1975-1997 di zona Freeport dan
sekitarnya. Freeport menghabiskan 35 juta dollar untuk infrastruktur keamanan
seperti barak, jalan, markas, mes hall, 70 Land Rovers dan Land Cruiers yang
diganti setelah beberapa tahun.
Risiko keamanan ini terjadi di saat
kerusakan lingkungan akibat penambangan oleh Freeport terungkap. Misalnya,
hasil riset ahli geokimia asal Australia, Stuart Mill, tahun 2003 menyebutkan,
aliran rimbah acid (limbah)dari Freeport pertamakali sejak tahun 1993. (The New
York Times, 2005) Kementerian Lingkungan Hidup RI merilis satu laporan bahwa
limbah limbah Freeport mengandung 37.500 miligram per liter ketika air mengalir
ke dataran rendah dan 7.500 miligram per liter ketika air mengalir ke Luat
Arafura.
UU Lingkungan RI melarang solids
melebihi 400 miligram per liter. Pipaniasi sejauh 60 mil sepanjang pegunungan
untuk membawa bahan bakar, emas, dan tembaga, memicu risiko kerusakan
lingkungan. (J. Perlez & R. Bonner, 2005) Pada tahun 1997, Kementerian
Lingkungan RI mengingatkan Freeport bahwa perusahan ini melanggar UU Lingkungan
Hidup RI. Karena limbah perusahan Freeport berkisar 6 miliar ton atau lebih
dari dua kali lipat ekskavasi Terusan Panama. Limbah itu masuk ke sungai dan
mengancam wetlands dekat Lorentz National Park—a pristine rain forest standar
PBB.
(Mining International, 2011). Oleh karena itu,
dalan rangka negosiasi ulang dan kaji-ulang kontrak Freeport, tidak hanya
melihat aspek distribusi nilai sosial-ekonomi bagi Negara RI, rakyat Papua,
tetapi juga nilai stabilitas ekosistem Papua saat ini dan masa-masa datang.
Distribusi Nilai Ekonomi Ada dugaan bahwa krisis Papua saat ini berkaitan
dengan distribusi nilai ekonomi dari penambangan hasil-hasil alam di Papua
secara tidak adil, kurang menghargai nilai-nilai tradisi Papua, dan belum
konsisten arah kebijakan Pemerintah Pusat RI. (Asia Times, 2006) Maka krisis
Papua merupakan “a minefield of Jakarta’s own making”. (John McBeth, 2006)
Freeport merajut kemitraan saling menguntungkan dengan Presiden Soeharto tahun
1967-1991.
Formula itu menguntungkan
penanda-tangan kontrak kerja Freeport-Pemerintah RI dengan menutup-rapat akses
publik dan media ke Freeport. Freeport membiayai jutaan dollar AS untuk
politisi, akademisi, media dan organisasi nirlaba di AS guna mengamankan
penambangan Freeport di Papua. (Robert Bryce, 1996) Sejak terjadi kerusuhan
tahun 1996 di Papua, Freeport menyalurkan bantuan satu persen pendapatan
tahunannya untuk pembangunan sekolah, jasa layanan kesehatan, dan infrastuktur
jalan, program kontrol malaria dan AIDS di Papua.
Freeport memberikan saham perusahan
dan beberapa juta dollar AS untuk suku Kamoro dan Amungme sebagai kompensasi
lahannya dipakai oleh Freeport. Akhir tahun 2004, Freeport menghabiskan dana 152
juta dollar AS untuk dana pembangunan masyarakat Papua. (The New York Times,
2005) Periode 1992-2004, Freeport menyumbang benefit sekitar 33 miliar dollar
AS langsung maupun tidak langsung ke Pemerintah RI. Jumlah itu berkisar 1,6% -
2% PDB RI. Total sektor penambangan menyumbang 11,9% PDB. (BPS, 2011) Freeport
membayar satu miliar dollar AS ke Pemerintah RI atas kepemilikan 9,36%
Freeport.
Sekitar 30 juta dollar membiayai
program lingkungan dan 50 ribu mangrove di Papua tahun 2004. (Jane Perlez &
Raymond Bonner, 2005) Butir ke-7 Kesepakatan Roma (Italia) 2 April tahun 1962
antara Pemerintah RI, Belanda, dan AS menyatakan: “The United State of America be
responsible to make an investment through Indonesian State Companies for the
Exploration of mineral, petroleum and other resources of West Papua.” Presiden
RI Soekarno dengan paham “Go to hell with your aid”, mempertahankan kepemilikan
60% untuk BUMN dalam penambangan hasil alam di Papua. Paham Presiden Soekarno
itu tidak diadopsi dalam kontrak kerja antara Freeport-Presiden RI tahun 1967
dan tahun 1991 berdasarkan UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 untuk masa
kontrak 30 tahun. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001 juga tidak
memasukkan kewenangan dan hak daerah memungut pajak perusahan asing seperti
Freeport.
Opsi Negosiasi Ulang Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun
2012 tanggal 21 Februari 2012. PP ini berisi regulasi kepemilikan asing dalam
setiap usaha penambangan di zona Negara RI, yang mewajibkan perusahaan tambang
asing menjual 51% saham ke pihak Indonesia.
Peserta Indonesia mencakup
pemerintah pusat, provinsi, daerah kabupaten/kota, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau swasta nasional. PP No. 24/2012
merevisi PP No. 23 tahun 2010. Sekitar 51% saham perusahan asing bidang
pertambangan wajib dimiliki oleh peserta Indonesia maksimal tahun kesepuluh
perusahan beroperasi. Rincian diverstasinya mencakup divestasi 20% tahun
keenam, 30% tahun ketujuh, 37% tahun kedelapan, 44% tahun kesembilan, dan 51%
tahun kesepuluh operasi perusahan.
Saat ini Freeport menguasai 90,64% saham
perusahan PT Freeport Indonesia—termasuk 9,36% saham milik PT Indocopper
Investama sesuai kesepakatan Pemerintah RI-Freeport tahun 1991. Sisanyak 9,36%
merupakan saham milik Pemerintah RI. Melalui PP No. 24/2012, terbuka empat opsi
negosiasi ulang antara Pemerintah RI-Freeport yaitu royalti, luas lahan
penambangan, diverstasi, dan pengolahan tambang. Saat ini, Freeport mengelola
eksplorasi, produksi, pengolahan, hingga pemasaran perak, copper, dan emas di
Grasberg, Papua.
Dua opsi lain yang jauh lebih
penting ialah distribusi nilai sosial-ekonomi dari usaha penambangan di
Grasberg, Papua, dan pelestarian lingkungan. Sehingga kontrol dari Freeport
terhadap cadangan terbukti dan potensi sekitar 102 miliar pon copper, 400 juta
ons emas, dan 266 juta ons perak di Greasberg, Papua, (Industry Week, 2011)
tidak memicu konfflik dan ketidakadilan di Papua. Maka setiap upaya negosiasi
ulang kontrak Freeport – Pemerintah RI perlu melibatkan dan mengadopsi
kepentingan rakyat Papua.
Selain itu, penambangan Grasberg
memicu risiko kerusakan lingkungan sejauh lebih dari 28 km2 dari hutan hujan
Papua. Ini hasil audit lingkungan Dames & More tahun 1996. Laporan itu juga
menyebutkan bahwa selama penambangan itu sekitar 3,2 juta ton waste rock ---
sebagian besar menghasilkan acid—mengalir ke sungai.
Akibatnya, overburden (waste rock)
dari penambangan telah mencemari lingkungannya karena acid mine drainage.
(Robert Bryce, 1996) Kerusakan lingkungan akibat penambangan di Grasberg,
Papua, lembaga dana pensiun Pemerintah Norwegia (The Government Pension Fund of
Morway) mengeluarkan Freeport dari portofolio investasinya sejak tahun 2006.
Ini hasil rekomendasi badan etik lembaga dengan nilai investasi 56 miliar
dollar AS tahun 2006. (Monitor, 2011).
Data lain dari The Political Economy
Research Institute (PERI) memasukan Freeport pada ranking ke-22 di AS, sebagai
korporasi yang menghasilkan polusi airborner sebesar 4 juta pon tahun 2005 dan
toksik. (PERI, 2005) Melihat kondisi ini, Pemerintah RI dapat mengajukan
tuntutan ganti-rugi jutaan dollar terhadap Freeport dalam rangka pemulihan
lingkungan dan pembangunan masyarakat di Papua atau bahkan mengakhiri kontrak
dengan mencabut izin usaha Freeport.
*** *Koordinator Forum Komunikasi
Alumni Pelajar Papua di Jakarta, Lahir dan Besar di Jayapura, Papua. Firman
Yursak /firmanyursak Pecinta Keadilan, Gooner Selengkapnya...
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/firmanyursak/peluang-mencabut-izin-usaha-freeport_550ed56ca33311bc2dba8283